Rabu, 29 Juni 2016

Tidak Ada Karpet Merah Untuk Dokumenter


29th Jun 2016 
 

Hujan turun di antara pohon-pohon, orang berteduh di bawah payung sambil melihat ke satu arah. Seorang perempuan setengah baya menerobos hujan menuju kerumunan orang yang tampak sedang menggali tanah. Dia melihat dengan seksama lubang yang digali, seperti mencoba mencari sesuatu yang penting tanpa memperdulikan hujan. 
Di dalam lubang itu beberapa orang terlihat sedang berusaha mengeluarkan tulang dari dalam tanah. Kelak kita tahu itu adalah proses penggalian kuburan massal korban pembunuhan tragedi 1965 di sebuah desa di Wonosobo. Perempuan yang menerobos hujan dalah anak salah satu korban yang mencari tulang bapaknya yang menjadi salah satu korban.

Adegan di atas adalah pembuka film ‘Massgrave’ yang dibuat oleh Lexy J. Rambadeta. Film itu saya tonton pada awal tahun 2000 di sebuah pusat kebudayaan di Yogyakarta. Setelah bertahun-tahun hanya tahu film dokumenter membosankan yang disajikan oleh televisi, ‘Massgrave’ memberikan sebuah pengalaman menonton dokumenter yang berbeda, saya bisa terlibat secara emosional dengan karakter yang ada di film ini, bahkan bertahun-tahun kemudian, saya masih teringat dengan ekspresi dan nuansa yang dibangun oleh film ini. 
Yang lebih penting lagi, sebagai gerenasi yang dibesarkan dalam hegemoni pemerintah orde baru, film ini memberikan perpektif yang baru dalam hal cara melihat tragedi 1965. ‘Massgrave’ adalah film pertama yang membuat saya tergugah untuk menjadi pembuat film dokumenter.

Kesempatan untuk menyutradarai film dokumenter pertama saya datang pada tahun 2005 melalui program Eagle Award yang digagas oleh In-Docs (Indonesia Documentary) dan Metro TV. In-Docs adalah salah satu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk mempromosikan film dokumenter serta memberikan pelatihan untuk pembuat film dokumenter pemula di Indonesia. 
Sejak tahun 2002, In-Docs sudah mengadakan lokakarya di 13 kota di Indonesia. Dari lokakarya tersebut, In-Docs menemukan bakat-bakat baru yang kualitasnya diakui di tingkat nasional dan internasional. Saat ini, In-Docs memperluas cakupan ruang kerja mereka, tidak hanya bekerja untuk mempromosikan dan mendukung pembuat film dokumenter di Indonesia tetapi mencoba pada lingkup Asia Tenggara karena ada kesamaan persoalan yang dihadapi pembuat film dokumenter di wilayah itu, yaitu kurangnya infrastruktur dan dukungan untuk membuat film dokumenter yang berkualitas.
Mulai tahun 2016, bekerjasama dengan BRITDOC membuat program Good Pitch2 Southeast Asia, juga program ‘Dare to Dream’ adalah yang merupakan kerjasama dengan STEPS, sebuah lembaga nirlaba, berbasis di Afrika Selatan yang dijalankan oleh Don Edkins dan Iikka Vehkalahti, dua orang paling berpengaruh di lanskap dokumenter dunia.

Dokumenter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh televisi, bentuk dan temanya seragam, dengan anggaran yang sangat kecil, dokumenter televisi dibuat dalam waktu yang singkat dengan waktu syuting yang singkat. Bagi kebanyakan orang, ketika kita menyebut film dokumenter, maka yang mereka bayangkan dalah acara televisi berupa kehidupan liar, profil pariwisata sebuah daerah, proses pembuatan barang-barang tradisi seperti batik dan sejenisnya. 
Tema kearifan lokal, benturan tradisi dan modernisme juga paling sering diangkat. Tidak ada cerita, karakter dan emosi dalam film-film seperti ini, yang diberikan hanyalah informasi, penonton dianggap entitas yang pasif yang hanya bisa menerima tanpa diberi ruang untuk menafsir dan ‘mengalami’. Pendekatan ini yang membuat film dokumenter dianggap membosankan dan tidak populer, padahal film dokumenter bisa kaya akan tema dan bentuk pendekatan. Dokumenter bisa juga intim dan puitis.

Beberapa tahun belakangan film dokumenter di Indonesia mulai mengenalkan dan merespon bentuk-bentuk baru dalam pembuatan film dokumenter. Salah satu yang mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan ini adalah program yang dibuat oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Goethe-Institut Indonesien yang menghasilkan film ‘Denok & Garenk’, ‘Layu Sebelum Berkembang’ dan ‘Negeri di Bawah Kabut’. 
Film ini menggunakan pendekatan observasional. Tanpa adanya wawancara sebagaimana sangat umum di film dokumenter tradisional, tiga film ini terlihat seperti film cerita ketimbang film dokumenter. Film ini berhasil mengaburkan batas antara fiksi dan dokumenter. Ketiga film ini berhasil mecatatkan diri menjadi film pertama dari Indonesia yang pernah berkompetisi di seksi bergengsi di beberapa festival dokumenter terbesar di dunia seperti seksi First Appearance di International Documentary Film Festival Amsterdam dan Young Cinema Competition di Dok-Leipzig di Jerman.

Kekuatan dokumenter adalah ia berangkat dari sebuah realitas, tetapi harus difahami bahwa dokumenter bukan fotokopi kehidupan. Dokumenter adalah perlakuan kreatif terhadap realitas. Karena berangkat dari realitas, dokumenter menjadi mempunyai dampak yang berbeda ketika kita menontonnya. Ia mempunyai kemampuan persuasif yang lebih kuat dibandingkan film cerita sebab kita sadar bahwa ketika menonton dokumenter, kita menonton sebuah cerita yang sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata, dengan karakter yang nyata, bukan cerita rekaan yang dimainkan oleh aktor.

Dokumenter yang baik adalah yang mampu menggambarkan kedalaman sebuah tema atau karakter, mempunyai dimensi cerita yang membuat penontonnya mampu memahami lebih jauh apa yang hendak disampaikan oleh film tersebut, karena itu film dokumenter yang baik mampu menepis stereotype terhadap etnis tertentu yang banyak diproduksi dan direproduksi oleh media arus utama. Karena berangkat dari realitas, dokumenter juga akan memberikan emosi dan ekspresi yang tulus dari karakternya, bila dalam film cerita, hanya aktris sekelas Christine Hakim yang bisa mencapai kualitas emosi dan ekspresi itu.

Saat ini saya sedang membantu sebuah produksi film dokumenter di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibuat oleh sutradara lokal. Bercerita tentang lelaki 27 tahun bernama Nokas yang ingin menikahi pacarnya yang bernama Ci. Ci bekerja sebagai pengurus kandang ayam potong di dekat rumahnya. 
Bayangkan kalau film ini dibuat dalam format film cerita, maka adegan mereka pacaran adalah di sebuah lokasi yang romantis, misalnya di tepi pantai saat sunset atau di pegunungan saat kabut turun. Dalam film dokumenter ini, Nokas dan pacarnya pacaran di kandang ayam. Inilah salah satu kekuatan lain dokumenter, sementara televisi, film dan media arus utama terus memproduksi cerita dan karakter yang terprediksi yang membuat selera dan cara hidup penontonnya seragam, dokumenter seringkali bisa menawarkan kesegaran dalam melihat sebuah persoalan melalui pendekatan dan karakter-karakternya. Adegan dan percakapan antar karakter sering tidak terpikirkan oleh penulis skenario film cerita terbaik sekalipun sebab dokumenter tidak sedang kompromi dengan pasar. Dokumenter mampu menyajikan sebuah kenyataan yang seringkali tidak muncul di media arus utama.

Dokumenter menjadi penting untuk negara sebesar dan seluas Indonesia. Dengan lebih dari 1.300 suku, lebih dari 700 bahasa daerah, dokumenter yang baik bisa menjadi catatan sejarah sebuah realitas pada sebuah tempat dan waktu, bisa menjadi dokumentasi kebudayaan dan tradisi tanpa menjadi membosankan. Dokumenter bisa menjadi medium preservasi atas bahasa dan cara bertutur sebab dalam dokumenter, penutur adalah orang asli. Dalam dokumenter tidak akan terjadi salah dialek seperti yang terjadi di film cerita karena, misalnya film yang syuting di Nusa Tenggara Timur tetapi menggunakan dialek dari Papua. Dengan itu dokumenter bisa menjadi medium untuk saling mengenal antar wilayah di Indonesia yang berpuluh tahun dihegemoni oleh kebudayaan Jawa.

Riset yang baik adalah kunci sebuah dokumenter yang bagus. Terlepas proses syuting akan memakan waktu sepuluh tahun, atau sepuluh bulan atau hanya sehari, riset yang dalam sangat penting. Dengan riset kita mengetahui kekuatan karakter dan potensi cerita. Dengan itu kita akan mengetahui apa saja yang dibutuhkan untuk membuat film ini, berapa hari yang dibutuhkan untuk syuting, peralatan dan berapa uang yang dibutuhkan. Anggapan bahwa dokumenter cukup mengambil kamera dan mulai merekam adalah salah. 
Sebagaimana produksi film cerita, proses pra-produksi sangat penting, bahkan lebih penting sebab dalam dokumenter kita tidak bisa memprediksi seratus persen apa yang akan terjadi. Dengan pra produksi yang matang, kita bisa melakukan improviasi untuk mencapai kualitas film yang kita inginkan.

Sebagai pembuat film dokumenter, wajib untuk menonton sebanyak mungkin film untuk memperkaya referensi, apalagi kalau kita tidak sekolah film. Kita bisa belajar banyak dari film yang dibuat orang lain, juga supaya kita bisa tahu apa yang sudah dibuat di luar sana. ‘Negeri di Bawah Kabut’, misalnya, sangat dipengaruhi oleh film dari Prancis berjudul Etre et Avoir. 
Sebelum syuting, saya juga banyak menonton film yang menggunakan pendekatan visual seperti yang saya inginkan untuk mempelajari bagaimana mereka merekam film itu. Dengan mempunyai referensi film, kita akan lebih mudah mengkomunikasikan dengan kru film seperti apa yang akan kita buat.
Sekarang, untuk mendapatkan film dokumenter berkualitas sudah sangat mudah. Banyak situs yang menyediakan jasa menjual film baik dengan streaming atau donwload. Misalnya dafilms.com yang dikelola oleh tujuh festival film dokumenter di Eropa. Vimeo juga sudah menyediakan jasa tersebut, juga yang paling umum dan populer seperti iTunes. 
Bisa juga datang ke festival film seperti Festival Film Dokumenter di Yogyakarta, Denpasar Film Festival, Arkipel – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, atau mendatangi ruang pemutaran seperti Kineforum, Paviliun 28 dan Kinosaurus di Jakarta, Minikino di Denpasar, Kineruku di Bandung. Pemutaran serupa juga sering diadakan di lembaga kebudayaan seperti Goethe-Institut dan IFI atau di kampus-kampus.

Pada perhelatan Oscar tahun ini, Louise C.K. yang bertugas membacakan pemenang pada kategori Dokumenter Pendek Terbaik mengatakan dengan satir, bahwa film dokumenter bisa mengubah hidup orang, tetapi pembuat filmnya tidak akan pernah kaya selama mereka masih hidup dan membuat dokumenter. Iya, sebagian besar pembuat film dokumenter itu bekerja karena kecintaannya pada subjeknya, pada sebuah isu yang ingin dia angkat dan pada bentuk dokumenter itu sendiri. Jangan memilih dokumenter kalau ingin kaya, sebab seringkali pembuat film dokumenter harus membiayai filmnya sendiri. 
Di Indonesia, belum ada dukungan terstruktur dari negara untuk film dokumenter. Betul, bahwa saat ini ada dukungan di tingkat pusat oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat film dokumenter pendek, tetapi dukungan ini tidak punya sistem yang jelas untuk perkembangan film dokumenter dalam jangka panjang. Program ini terlihat sporadis dan terkesan sebagai program untuk menghabiskan uang pada akhir tahun anggaran. Pembuat dokumenter di Indonesia masih sangat bergantung pada kemurahan hati para lembaga donor atau lembaga kebudayaan seperti Goethe-Institut dan Ford Foundation. Tentu saja hal ini tidak sehat dalam jangka panjang sebab ada ketergantungan terhadap bantuan lembaga asing tersebut. Peran pemerintah belum terlihat sama sekali. Negara-negara di Eropa terutama negara-negara Skandinavia adalah contoh yang bagus dimana dukungan untuk pembuat film dokumenternya sangat kuat. Setiap negara mempunyai dana santara lima sampai dua puluh lima milyar setiap tahun. 
Sekitar sepuluh persen dari anggaran itu bahkan bisa diakses oleh negara lain termasuk Indonesia. Tetapi prosesnya tetap rumit. Maka kesabaran dan kecintaan pada dokumenter adalah kunci menjadi pembuat film dokumenter yang tangguh.

Membuat dokumenter adalah sebuah jalan yang sunyi. Bila mengejar popularitas jangan memilih dokumenter. Tidak ada gelaran karpet merah dengan hujan cahaya dari kamera yang menyilaukan di festival film dokumenter, tidak ada wawancara dengan media terkenal dan jauh dari gemerlap selebritas. [SS]

- Dimuat di majalah Rollingstone Indonesia bulan April 2016. Versi tanpa edit jadi caur as usual.
- Foto oleh Manuel Alberto Maia

http://hujantropis.com/post/146644769616/tidak-ada-karpet-merah-untuk-dokumenter

0 komentar:

Posting Komentar