Selasa, 28 Juni 2016

[memorial] Mendiang mBah Suti

catatan: Uchicowati Fauzia | Lilik HS
 

Kabar duka dari Boyolali: Ibu Hardjo Sutiyem yang sering dipanggil mBah Suti usia 93 tahun meninggal dunia Selasa, 28 Juni 2016, malam dan akan dikebumikan Rabu 29 Juni 2016, pukul 13.00 wib dari rumah duka rumah pak Subagyo di Desa Tembalang, Kecamatan Musuk, Kab. Boyolali.

Mbah Suti, adalah aktivis perempuan anggota Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang kemudian menjadi Gerwani. Semasa muda mbah Suti adalah Ketua Gerwani Boyolali. Pernah ditahan oleh pemerintah Orba. Suaminya meninggal bunuh diri pada peristiwa 65.  

Penderitaan yang berat ini membuat mBah Suti hidup sebagai perempuan yang kuat dan tegar. Hingga usia 90 masih hidup sendiri dan mengurus warung yang kecil namun lengkap. 
 Ia juga mendirikan kelompok usaha Wiji Asih.

Satu per satu para pejuang ini meninggalkan kita. Sementara itu penuntasan kasus pelanggaran HAM terutama terkait Peristiwa 65 belum jua selesai.
Mari kita tundukan kepala, untuk mBah Suti, Penyintas Tragedi 1965 yang tidak pernah berhenti berjuang untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM. Selamat jalan Bu Suti....
_______

Usianya 95 tahun, tinggal di desa Musuk, Boyolali. Suaranya yang semula lemah berangsur meninggi. Dengan sorot mata berbinar dan bahasa tertata, ia berkisah: 

Sejak tahun 1951 aktif di GERWIS (Gerakan Wanita Istri Sedar), cikal bakal organisasi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). 
Kemudian terpilih sebagai Ketua Anak Cabang (setingkat kecamatan) Gerwani Kecamatan Musuk, Boyolali. Nyaris saban hari ia jalan kaki keliling ke ranting-ranting di wilayahnya, untuk ceramah dan mengecek perkembangan organisasi, mendirikan TK Melati, bikin kursus-kursus, dan gerakan PBH (pemberantasan buta huruf). 
Semua dilakukan secara cuma-cuma. Gurunya, dari kader-kader Gerwani; juga tidak dibayar. Semua guyup dan penuh semangat. 
(Heiii…pada 31 Desember 1964, penduduk Indonesia usia 13-45 tahun, kecuali di Irian Barat, dinyatakan bebas buta huruf. Ibu-ibu inilah salah satu ujung tombaknya!) 

Tahun 1965, Suti dan suaminya, mBah Hardjo, ditangkap dan diseret ke penjara. Bertahun-tahun kemudian, saat ia pulang dari kantor tentara untuk laporan rutin; didapatinya mBah Hardjo tewas; gantung diri. 
Dibantu oleh sedikit orang (yang lain masih takut bersentuhan dengang orang PKI), mBah Suti mengubur suaminya. Ia terpukul, nyaris gila bertahun lamanya. 
Tapi mBah Suti enggan menyerah. Ia ikut kegiatan PKK di kampungnya, meski suara-suara tetangga terus berdengung di kupingnya: 
“Kamu ndak tak boleh ngomong, ndak boleh usul, ndak boleh jadi pengurus.”

mBah Suti‘mbudheg. Cuek. 
“Yang penting bisa srawung (bergaul) sama tetangga. Nggak ngelangut, nggak kepikiran macam-macam,” katanya.

Di usia 95 tahun, ia hidup sendiri. Anaknya semata wayang yang tinggal di lain desa menawarinya tinggal serumah. 
Ia menolak : ”Saya masih kuat apa-apa sendiri. Gak enak bikin repot”.

Di lereng gunung Merapi, yang berhawa dingin dan tiap hari berlapis kabut, siang itu ia leyeh-leyeh di sofa butut sambil menatap layar tivi. 
Serombongan anak usia SD mengetok warung kecilnya, beli sebungkus mie, permen dan makanan kecil plastikan plainnya. 
Tiap hari, untung bersih yang diperolehnya tak lebih dari Rp. 10 ribu.

0 komentar:

Posting Komentar