Kamis, 23 Juni 2016

Menyusuri Gua Pembasmian PKI di Gunungkidul

Febriana Shinta Sari
Kamis, 23 Jun 2016 12:30 WIB

“Saya dengar ada tembakan saat sudah selesai dan saat membunuh ada tembakan dor..dor.. Di tepi jurang mereka disuruh berjejer kemudian ditembak."
Bibir Gua Brubug, tempat orang-orang korban 1965 ditembak dan dilempar ke dalam. Foto: Febriana Sinta.

Gunung Kidul - Setengah abad yang lalu, Dusun Jetis Wetan, Desa Pancarejo Semanu, Gunungkidul, diliputi ketakutan. Kala gelap tiba, tak ada satu pun warga yang berani keluar rumah. Bahkan saking mencekamnya, ada yang sampai mengungsikan istri dan anak mereka ke lain dusun. 

Situasi itu terjadi selama hampir dua tahun; 1966-1968 –masa di mana orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap dan dibantai. Dan di Dusun Jetis Wetan, ada satu lokasi pembantaian; Gua Grubug.

“PKI itu dibawa ke Grubug dekat Gua Jomblang. Saat jam malam, saya disuruh menyalakan obor dari utara sampai selatan jalan desa. Pernah ada yang teriak tolong..tolong.. di pertigaan gardu dekat jalan masuk desa, kemudian orangnya dipukul pakai sekop. Saya tidak tahu apakah mati atau tidak, yang pasti orangnya tidak bergerak kemudian dipapah sama tentara. Saya langsung masuk ke parit karena takut,” jelas Koko.
Koko, bukan nama sebenarnya. Ia bertugas menyiapkan oncor –obor yang terbuat dari pohon bambu. Dulu, tiap kali pengurus kecamatan menyambangi Dusun Jetis Wetan, Koko langsung menyalakan oncor dan meletakkannya di depan rumah. Itu jadi tanda bagi warga, adanya jam malam dan petunjuk iring-iringan tentara datang dengan membawa puluhan orang yang dituding anggota PKI.

Jam malam itu, kata Koko, dimulai pukul 10 malam. Tapi meski hari masih sore, warga memilih berdiam di rumah. Hingga jam bergerak ke angka 11, suara letusan pelor terdengar tiga kali. Itu artinya, truk tentara yang mengangkut orang-orang PKI sudah tiba di ujung dusun.
"Kalau jam malam itu orang-orang langsung ndelik (bersembunyi-red) dan ada bunyi dor..dor.. Kalau berani melihat dari jauh. Mereka tentara seragam lengkap dan pakai topi besi, tapi mereka berhentinya di jalan besar. Kemudian mereka di arak ke sini. Turun dari truk jalan, mata mereka ditutup, tangan diikat," kata salah satu saksi, Bimo. 
Dusun Jetis Wetan berjarak lima kilometer dari pusat kota Kabupaten Gunungkidul. Waktu 1960-an, jalan itu hanya bisa dilalui satu orang. Di sepanjang jalan itu pula, bebatuan besar menyembul dari dalam tanah. 

Dengan mata tertutup, mereka lantas diarak ke Gua Grubug. Tapi untuk sampai ke sana, mereka harus berjalan sejauh tiga kilometer melewati hutan Ngrakung. 


"Hanya seperti ini jalannya seperti jalan menuju ke ladang, sempit sekali. (Berarti sulit jalan ya karena matanya ditutup?) Iya tapi jalannya dibantu tentara," kata Koko.
“Mereka diam juga karena mulut mereka ditutup pakai lakban, jadi tidak bisa bersuara. Di sini (telinga-red) sudah ditutup agar tidak mendengar, mata dan mulut juga. Kemudian kalau ada yang nakal dua tentara memegang kedua lengan mereka untuk dipaksa berjalan. Kalau nurut hanya dikawal satu tentara saja. Mereka jalannya juga tidak ramai–ramai seperti rombongan. Mereka jalannya satu-satu, tidak ada suaranya,” sambungnya. 
Begitu sampai di Gua Grubug, para tawanan tentara itu dijejerkan di bibir gua. Di sanalah, mereka dipukuli dan disiksa sebelum disuruh melompat ke gua sedalam 98 meter. Bagi yang menolak, kata Koko, ditembak seketika. 
“Saya dengar ada tembakan saat sudah selesai dan saat membunuh ada tembakan dor..dor.. Di tepi jurang mereka disuruh berjejer kemudian ditembak. Kalau mayatnya tidak dapat menggelinding ke dalam gua, mereka ambil sekop terus dimasukkan ke gua. Mereka juga membersihkan dengan sekop daging dan otak yang berceceran di tanah dan di pohon-pohon. Tapi anehnya sesudah penembakan itu pasti hujan deras sehingga mayat-mayatnya langsung hilang terbawa hujan deras,” jelas Koko.
Pembunuhan itu tak berlangsung lama. Kasno masih ingat, tak sampai satu jam, pembantaian itu diselesaikan.

Pembantaian, tak sekali dilakukan di dusun mereka. Pria sepuh ini masih ingat, dalam satu malam, pernah ada tiga rombongan tentara datang secara beruntun. Kalau sudah begitu, aksi para tentara berlanjut sampai pagi. 
“Tentara semua, bawa senjata dan pistol komplit petugasnya. Zaman dulu pernah dalam waktu satu malam datang tiga kali, jumlah yang dibawa lebih dari 100 orang. Warga yang mau ke pasar tidak boleh, harus berhenti karena tentara belum selesai di gua. Padahal hari sudah sangat terang yang mau ke pasar dicegat tidak boleh berjalan,” kenangnya. 
Masih membekas pula di ingatannya, siapa saja yang menjadi korban pembantaian. Koko ingat, di antara para korban itu ada laki-laki dan perempuan. Dengan truk mereka diboyong pada tengah malam. 

Sudah lima puluh tahun berlalu, Gua Grubug tak banyak berubah. Tepi gua tertutup dedaunan dan akar pohon. Jika melongok ke dalam, nampak batu-batu besar diselimuti lumut. Di sana, aliran sungai mengalir deras. Menurut warga setempat, sungai itu bermuara ke Pantai Baron. Menurut rencana, Gua Grubug akan disulap menjadi tempat wisata susur gua. (qui)
 

Sumber: KBR.ID 

0 komentar:

Posting Komentar