Selasa, 21 Juni 2016

Kisah Seorang Pengawal Sukarno

Maulwi Saelan (mengenakan baret) sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.

MAULWI Saelan, 87 tahun, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, masih ingat suatu hari di tahun 1966. Sambil membawa secarik surat dia menghadap Presiden Sukarno. “Saya lapor pada bapak kalau saya dipanggil untuk kembali ke korps.Itu pertemuan terakhir kalinya dengan Bung Karno,” kata Maulwi Saelan ditemui di Sekolah Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan, Jum’at (21/06).

Waktu itu Maulwi berpangkat kolonel CPM. Ditarik dari penugasannya sebagai wakil komandan Tjakrabirawa. Selang beberapa lama setelah peristiwa G30S 1965, ring satu yang mengitari Presiden Sukarno mulai dipreteli. Limabelas menteri dalam Kabinet Dwikora ditangkap. Pengawalan terhadap Presiden Sukarno perlahan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali bersamaan pembubaran Tjakrabirawa.

“Fasilitas untuk presiden mulai dikurangi. Pengawalan hanya dilakukan oleh CPM seadanya. Presiden tidak boleh lagi menggunakan helikopter, hanya boleh menggunakan mobil,” kenang Maulwi.

Pascabubarnya Tjakrabirawa pada 1967, pengawalan Presiden Sukarno diserahkan kepada Pomad AD yang pro Soeharto. Sementara untuk keperluan pribadi Presiden, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang dipimpin oleh Letkol. Polisi Mangil Martowidjojo, tetap bertugas seperti biasa. Detasemen itu sudah berdiri semenjak awal masa kepresidenan Sukarno.

Menurut Maulwi, para pengawal dari DKP itu mengalami tekanan batin yang sangat mendalam ketika mengawal Sukarno di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan kendati sekadar menjalankan kewajiban saja.

Pernah seorang anggota DKP mengawal Bung Karno ke Bogor dan membukakan pintu mobil setibanya di Istana Bogor. Seorang perwira Satgas Pomad langsung membentak dan melarang anggota DKP membukakan pintu mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. “Biar dia buka sendiri, kamu kultus!” kata Maulwi mengutip kesaksian seorang anggota DKP bernama Suwarto.

Perlahan Presiden Sukarno makin dikucilkan. Kendati sempat menghadiri berbagai acara di mana dia memberikan pidato, tak satu pun media yang menyiarkan pidatonya. Setelah Pidato Nawaksara 10 Januari 1967 ditolak MPRS, Sukarno resmi diberhentikan. Jadi tahanan rumah dan tinggal di Wisma Yaso sampai nyawa menjemputnya pada 21 Juni 1970.

Bagaimana nasib pengawal-pengawalnya? Pada 1967, Maulwi diinterogasi di markas Kopkamtib. Ditanyai seputar keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa G30S 1965. Maulwi sendiri yakin Sukarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu.

“Waktu itu (1 Oktober 1965 – Red) begitu Bung Karno turun dari mobil di Slipi, di rumahnya Haryati (istri kelima Sukarno –Red) dia langsung bilang wah! Ik ben overrompeld (wah saya kaget). Mukanya kelihatan bingung,” kata Maulwi. “Saya yakin dia tidak tahu menahu kejadian itu.”

Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata berujung pada pemenjaraan. Pada hari yang sama, setelah diinterogasi Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih kemudian. “Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang sampai lima tahun lebih,” katanya.

Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi. “Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.

Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen. Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.

Tak terima perlakuan semena-mena, begitu dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak? Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya tak terlibat,” tuturnya, memutar kembali ingatan ke masa lalu.

Kini Maulwi Saelan mengisi hari-harinya dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang-Red). Lelaki yang diangkat jadi anak ke-13 oleh Buya Hamka itu kini tengah menyiapkan terbitnya sebuah biografi yang bakal diluncurkan Oktober tahun ini. 
 “Sejarah harus diluruskan,” pungkasnya.
 

0 komentar:

Posting Komentar