Senin, 13 Juni 2016

Krisis Ekonomi Sebagai Buah Politik Anti-Komunisme Soeharto

Oleh: Sulangkang Suwalu

Pudjo Suharso (pengamat politik, mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga) melalui renungan Proklamasi 17 Agustus 1945 "Dari Kemerdekaan Negara Menuju Kemerdekaan Rakyat" (Republika, 15/8) 
antara lain mengatakan bahwa pada masa Orde Baru penyimpangan terjadi hampir pada semua aspek, mulai politik, ekonomi, sosial, budaya. 
Secara politik berkembang sistem monolitik yang mengharuskan rakyat menjunjung loyalitas pada negara tanpa reserve. Negara dan pemerintahan-nya seakan berkembang dengan menganut prinsip state or government can do no wrong
Secara ekonomi berkembang korupsi, kolusi dan nepotisme, yang amat parah sehingga mendorong keambrukan ekonomi saat ini.

Secara budaya, terjadi penyeragaman dan mengingkari pluralitas dan pada aras sosial terjadi pengebirian fungsi-fungsi sosial masyarakat oleh negara. Sejalan dengan tulisan Pujo Suharso ini, Tajuk Republika (15/8) berjudul "Kemerdekaan Yang Suram" antara lain mengatakan bahwa krisis ekonomi masih mencekam. Pembangunan ekonomi yang dibangga-banggakan Orde Baru telah luluh-lantak, berganti menjadi gelombang kenaikan harga, ancaman PHK, juga meningkatnya kejahat-an. Ancaman yang tak terbayangkan di masa Orde Baru pun muncul. Bahaya disintegrasi bangsa. Friksi politik yang kian tajam serta tuntutan referendum di Timtim dan makin meningkatnya desakan separatisme di Irian Jaya adalah bukti ancaman itu.

Tajuk Republika seterusnya me-ngatakan bahwa sekarang kita sadar betapa semu kemerdekaan yang kita raih. Pengorbanan para pahlawan hingga proklamator ternyata kita bayar dengan segenap kerapuhan bangsa. Demokratisasi tersendat-sendat, hukum yang terinjak-injak bahkan kita pun telah menyerahkan kedaulatan untuk mengatur negara sendiri kepada negeri lain. Menurut Soebadio Sastrosatomo ("Politik Dosomuko Orde Baru"), krisis yang terjadi sekarang ini, bukan murni krisis ekonomi. Krisis ekonomi merupakan akumulasi kegagalan sistem politik hasil rekayasa rezim Orde Baru. Kalau pembangunan menipu rakyat, ya, hasilnya juga menyengsarakan rakyat (hal: 20-21). Kesimpulan Soebadio yang demikian, tentu saja menimbulkan pertanyaan: Sistem politik apa yang direkayasa Orde Baru yang telah menyengsarakan rakyat itu?


Sistem Anti Komunisme

Menurut Oetomo Darmadi dalam seminar "Masalah Tapol & Napol Dari Perspektif Konstitusi" 4 tahun lalu, bahwa kalau kita ingin secara jujur, mari kita bertanya: pemerintahan sekarang ( Soeharto-pen ) ini dalam membangun bangsa dan negara mengambil sistem apa? Sistem kapitalis tidak, sistem kolonialis tidak, sistem otoriter tidak, sistem militerisme tidak, Pancasila tidak, namun ada " bau-baunya" dari semua sistem itu. Jadi, ini merupakan suatu sistem yang bukan sistem atau sistem awut-awutan (hal:40).

Selanjutnya Oetomo Darmadi mengatakan sekarang pemerintah anti komunisme, tapi merangkul kapitalisme. Padahal kapitalisme itu mbahnya komunisme. Akibatnya kita anti komu-nisme, tapi tidak tahu bahaya datang dari mana. Tahu-tahu bahaya sudah bertengger di tengkuk kita, berupa, kesenjangan sosial kemelaratan, ketidak-adilan. 
Padahal masa lalu, kata Uetomo Darmadit para pendiri RI ini menggunakan marxisme sebagai pisau analisis. Baik Bung Karno dan Bung Syahrir, HOS Cokroaminoto, semuanya menggunakan marxisme sebagai pisau analisa. Sekarang ini, kita tidak menggunakan pisau analisis yang tepat, akibatnya amburadul. Sistem yang tidak tepat diterapkan (hal 53).


Mengapa Soeharto Terapkan Sistem Yang Tak Tepat?

Soeharto adalah mantan anggota KNIL (serdadu kolonial Belanda). Penjajah Belanda senantiasa menanamkan ideologi penjajah kepada serdadunya, yaitu harus membenci semua kaum pergerakan nasional yang berJuang untuk mencapai kemerdekaan, terutama terhadap kaum komunis, yang berani secara terang-terangan melakukan pem-berontakan terhadap penjajah belanda. Komunisme merupakan bahaya laten bagi penjajah Belanda.

Penjajah Belanda menanamkan kepada serdadunya untuk membenci kepada semua kaum pergerakan nasional, terutama kaum komunis, supaya nanti ketika saatnya untuk menumpas habis mereka itu, serdadunya jangan ragu-ragu, jangan bimbang-bimbang atau setengah hati. Nasution sebagai seorang mantan KNIL juga mendapat pendidikan ideologi anti-komunisme.

Karena itu sikap anti-komunisme, baik dari Soeharto maupun Nasution itu adalah hasil pendidikan yang mereka terima tatkala masih menjadi anggota KNIL (tentara kerajaan Hindia Belanda ). Ya, seperti penjajah Belanda , Soeharto juga menganggap komunisme merupakan bahaya laten bagi usahanya untuk berkuasa dan untuk mempertahankan orde barunya. 
Dengan politik anti komunisme itulah Presiden Soekarno berhasil digulingkannya dari kekuasaan dan dia naik menjadi orang pertama di lndonesia selama 32 tahun.
Sekadar ilustrasi dari politik anti-komunisme yang dijalankan pemerintahan Soeharto selama berkuasa, bisa dikemukakan di sini: Soeharto menanamkan komunisme merupakan bahaya laten bagi Orde Baru; pegawai negeri harus dicegah bergaul dengan orang yang berfaham komunis; kelompok gerakan pro-demokrasi, hak asasi dan keterbukaan dipertakuti sebagai komunis generasi keempat; Untuk memudahkan menindas gerakan pro-demokrasi, hak azasi dan keterbukaan dise-barkan isu OTB (komunis gaya baru); dan yang lebih meriah lagi kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya difitnahnya sebagai pelaksanaan teori Mao Ze-dong: desa mengepung kota! Mari lah kita cermati.


Komunisme Merupakan Bahaya Laten Bagi Orba

Sebuah buku, dengan judul "Sekitar Padnas, Bahaya Laten & Tapol G.30-S PKI" diterbitkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional, memuat 16 buah tulisan yang menyoroti bahaya laten komunisme dan sisa-sisa kekuatannya bagi Orde Baru. Buku ini menjelaskan keruntuhan komunis-me, tidaklah dengan sendirinya membawa kelum-puhan pada kekuatan sosial yang berorientasi ke-pada marxisme, karena ada 4 faktor pendukung:

Pertama, masalah sosial ekonomi yang diiden-tifikasikan dan dideskripsikan oleh analis marxis sebagai kritik sosial, tetap menarik, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan eksploitasi tenaga manusia. 
Kedua, janji kesanggupan marxisme untuk mengubah nasib hidup menuju emansipasi. 
Ketiga, perangkat teori marxisme sebagai disiplin ilmu serta metodologi yang mendukungnya, telah berkembang menjadi daya tarik tersendiri, terutama di Barat. 
Keempat, komunisme sebagai sistem, ajaran, metode dan gerakan tetap menarik dan dapat saja dimanfaatkan oleh siapapun dalam mencapai tujuannya, tanpa yang bersanskutan menjadi komunis. Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, tidak menghilang dengan runtuhnya sistem komunisme.

Menurut Manai Sophian dalam " Kehormat-an bagi yang berhak", karena terdapatnya 4 faktor pendukung untuk tetap hadirnya marxisme, menyebabkan mantan tapol G30S dinilai tetap merupakan bahaya laten. Untuk itu lah berbagai hak asasi ratusan ribu orang yang pernah ditahan karena kasus itu direnggut dengan Instruksi Mendagri No 32/1981, dimana ditetapkan banyak ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan sebagian kecil saja saja, antara lain:

1. Ketentuan mencantumkan kode ET (eks tapol) pada KTP. Pencantuman kode ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan mencari pekerjaan dan semua pasar kerJa akan takit menerimanya.

2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka menjadi dosen/guru, wartawan, LBH, pendeta dsb yang tidak diperinci hingga sangat elastis.

3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin menim-bulkan kerawanan di bidang sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan kamtibmas.

4. Untuk bepergian dalam negeri mening-galkan kelurahan/desa tempat domisilinya lebih dari 7 hari harus dengan izin khusus. Harga biasa tidak memerlukan ijin itu.

5. Untuk bepergian keluar negeri, atau melakukan ibadah haji, harus mempunyai konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/ instansi yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.

Dengan Instruksi Mendagri No 32/1981 maka mantan tapol yang telah bebas itu, sesungguhnya belum bebas, masih ditahan dalam bentuk bermacam ketentuan tersebut. Hak sipil dan perdatanya dicabut bukan berdasarkan putusan pengadilan, mereka ditempatkan sebagai warga kelas II atau dipariakan.

Padahal bagi mantan tapol yang bukan dari PKI, seperti tapol Islam Tanjung Priok misalnya, bila mereka telah bebas, benar-benar bebas. Intruksi Mendagri No 32/1981 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Agar Lusus Litsus Pegawai Negeri Tak Boleh Gaul Dengan Orang Berpaham Komunis

Untuk lebih memencilkan kaum komunis dalam pergaulan di masyarakat, maka Ketua Bakorstanas pada tahun 1990, yaitu Try Sutrisno, memunculkan sebuah istilah "keterpengaruahan" dalam berhubungan dengan mantan tapol PKI, Untuk itu diperlukan litsus (penelitian khusus) untuk pegawai negeri. Karena pada dasarnya interaksi dalam pergaulan dalam masyarakat akan membawa akibat adanya yang terpengaruh. Dan tidak ada manusia yang kedap terhadap pengaruh masyarakat sekitarnya.

Dengan adanya keputusan Bakorstranas tersebut, maka siapa saja yang menunjukkan sikap dan ucapan, tulisan atau perbuatan yang senada, atau yang menguntungkan garis politik atau strategi PKI, mereka itu lah antara lain yang akan dijaring dengan ketentuan penelitian khusus sekarang ini.
Oleh Brigjen Todo Sihombing dijelaskan bahwa dalam melaksanakan litsus akan diteliti secara khusus tentang pergaulan dengan orang-orang yang terlibat G30S dan penganut paham komunis. Yang dimaksud dengan yang terlibat ialah keterlibatannya dalam kegiatan yang mendahului (prolog), keterlibatannya dalam pemberontakan itu sendiri, keterlibatannya dalam kegiatan lanjutan.

Penelitian khusus terhadap pegawai negeri yang bergaul dengan orang-orang yang terlibat G30S atau yang berpaham komunis,mengandung dua hal. Pertama, sebagai peringatan kepada semua pegawai negeri "agar jangan bergaul dengan orang-orang yang berpaham komunis. Nanti terpengaruh". 
Peringatan ini mengandung penghinaan pada semua pegawai negeri, karena menganggap mereka tidak berdaya dalasn bergaul dengan orang komunis. Padahal dalam pergaulan bisa saja terJadi, justru orang yang berpaham komunis akan terpengaruh oleh keterangan pegawai negeri. Tentu bila keterangannya bisa diterima akal dan benar. Peringatan itu mengandung pengakuan bahwa pegawai negeri yang dikatakan Pancasilais tersebut ternyata tidak mampu berdialog dengan ideologi lain. Hanya menunjukkan kekerdilan Pancasila itu sendiri.

Kedua, untuk memencilkan lebih lanjut orang-orang komunis yang telah belasan tahun ditahan tanpa proses hukum. Memencilkan itu ternyata tak mencapai tujuannya, karena dalam praktek yang dipencilkan tidak saja yang berpaham komunis, tetapi-juga pejuang-pejuang gerakan pro-demokrasi, hak azasi manusia dan keterbukaan.

Menakuti Gerakan Pro-Demokrasi Sebagai Komunis Generasi Ke Empat
Meski pun mantan tapol PKI tetap diper-lakukan sebagai "tahanan" dalam bentuk baru, melalui Instruksi Mendagri No 32/1981; 
Dan sudah ada ketentuan akan diadakan litsus bagi pegawai negeri yang bergaul dengan orang yang berpaham komunis; namun gerakan perlawanan menentang tindakan-tindakan anti demokrasi dan hak asasi manusia dari penguasa terus berjalan dan makin meningkat. Untuk menakut-takuti para pejuang gerakan pro-demokrasi, hak asasi manusia supaya mundur dari barisannya, maka Try Sutrisno selaku Pangab, pada apel komandan-komandan Korem se-Indonesia tanggal 16 November 1992, berkata sebagai berikut, "Unsur-unsur komunis generasi ke empat telah berusaha mengubah aksinya melalui jalur konstitusional, yaitu dengan jalan memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu melalui isu keterbukaan, demokratisasi, hak azasi manusia, lingkungan hidup, dikotomi sipil militer, pri dan non-pri, depolitisasi ABRI dan berbagai isu kekinian lain." 
Komunis generasi ke empat yang dimaksud Try Sutrisno, tentu bukan komunis yang telah ditahan belasan tahun tanpa proses hukum (di masa lalu), tapi adalah generasi baru: komunis. Generasi komunis yang lahir sesudah PKI dipukul.

Keterangan Try Sutrisno ini mempunyai dua arti. Yaitu sebagai pengakuan bahwa sistem Orde Baru kapitalis, yang berdiri di belakang merk UUD 1945 dan Pancasila ternyata bukannya telad mematikan komunisme, malah melahirkan generasi ke empat komunis.Ya, komunis memang anak jaman yang akan melahirkan jaman. Juga sebagai peringatan bagi kelompok-kelompok tertentu agar jangan meny-uarakan lagi suara keterbukas demokratisasi, hak azasi manusia, dst supaya tidak sampai dicap sebagai komunis generasi keempat. Sekali dicap sebagai komunis, tentu akan disikat habis.
Intrik Dan Intimidasi OTB

Meski pun telah dipertakut-takuti akan dicap sebagai komunis generasi ke empat, bila para pejuang gerakan pro-demokrasi dan hak asasi manusia melanjutkan perjuangannya, namun para pejuang demokrasi tersebut tetap dengan gigih meneruskan perjuangannya. 
Makin lama daya juangnya makin tinggi. Untuk melumpuhkan tuntutan-tuntan demokratisasi, hak asasi manusia, keadilan sosial, keterbukaan dan sebagainya, maka Presiden Soeharto (menurut Haryono Isman) melemparkan isu bahwa gerakan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) dilakukan door to door untuk menjejali kalangan mahasiswa dengan ajaran Marxisme. 
Menurut Harian Merdeka (15/10), Soehardiman segera menyambar persoalan OTB tersebut. Soehardiman mengemukakan bahwa OTB itu terdiri dari berbagai kelompok anti kemapanan, pengangguran elite politik, sampai ke elite frustrasi serta yang melancarkan balas dendam terhadap kepemimpinan Orde Baru. Dengan metode sarang laba-laba mereka menyusup keberbagai jalur infrastruktur maupun suprastruktur mulai dari birokrasi, parpol dan golkar, ABRI, DPR bahkan sampai ke Mahkamah Agung dan DPA serta ormas-ormas. Berikutnya Letjen Suyono (Kasum ABRI, saat itu) dan Kapuspen ABRI Brigjen TNI Suwarno Adiwijoyo menjelaskan bahwa OTB mulai terdengar di masyarakat dikatakan sebagai kelompok-kelompok komunis gaya baru (KGB). 
Mereka tidak memiliki organisasi yang formal, namun anggotanya disusupkan dalam berbagai organisasi di masyarakat (Kompas, 12/10/95). 
Kemudian Soesilo Sudarman (Menko Polkam) menambahkan bahwa OTB itu tak ubahnya seperti Casper atau Ghast sehingga menyusup keseluruh sendi kehidupan tanpa ada yang mensetahui. Dia mengingatkan pada dasarnya orang di balik OTB sangat pandai dan jeli dalam memanfaatkan dan menggunakan situasi dan peluang yang ada di masyarakat dalam menyebarkan kebencian pada pemerintahan (Kompas, 13/10/95). Menanggapi isu OTB tersebut , Megawati mengatakan, "Saya membaca tentang OTB malah pusing. Yang namanya organisasi itu sudah pasti mempunyai bentuk. 
Maka masyarakat akan bertanya-tanya bila sekarang ada organisasi tanpa bentuk." (Kompas, 12/10/95).

Sedang Sutan Ali Asli mengatakan" Rasanya sudah seperti siluman saja (Merdeka, 14/lO). Handjoyo Putro (Fraksi PDI di DPR) menge-mukakan: Mafia saja yang sudah pasti gerakan di bawah tanah, punya organisasi. Kok ada organisasi tanpa bentuk( MI, 18/10).

Mungkin karena tak jelas tentang ada atau tidak adanya OTB tersebut, maka di Jawa Tengah muncul plesetan: O(mongan) T(entara) B(ingung). Dilemparkannya isu OTB hanya mencerminkan kepanikan pihak yang berkuasa karena OTB dirasanya telah menyusup kesemua infrastruktur maupun suprastruktur. Artinya mereka sudah diserbu sampai kesarangnya sendiri.
Isu OTB dilemparkan sebagai intrik dan intimidasi untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat, agar jangan berani-berani mengeluarkan suara yang bertentangan dengan pendapat penguasa. Bila berani me-ngeluarkannya harus siap untuk ditindak sebagai OTB.


Teori Mao-Zedong di Tasikmalaya?

Sungguh pun sudah dilemparkan isu OTB bagi yang bergerak menentang difasiskannya Indonesia oleh pemerintah Orde Baru, namun tak dapat dicegah kerusuhan juga terjadi di Situbondo dan di Tasikmalaya. Dengan tujuan meluluh lantakan yang bergerak melawan aparat di Tasikmalaya tersebut, maka dilemparkan lah isu bahwa di belakang kerusuhan itu berdiri teori Mao Ze-dong, Desa mengepung kota.

Hal itu diucapkan Presiden Soeharto ketika menerima berturut-turut 70 pengurus koperasi pondok pesantren dan para pengurus baru Parisada Hindu Dharma Lndonesia (PHDI) Pusat di Istana Merdeka ( 17/1/96), sebagai berikut:

"Karena kelompok yang hendak mengganggu stabilitas kecils maka cara yang dilakukannya ialah dengan menghasut, memanfaatkan setiap kesempatan, membesar-besarkan kesenjangan, korupsi, pungutan liar, masalah antar agama. Ini betul-betul perlu diwaspadai. Mereka rupa-rupanya ada yang mempunyai pikiran dan keinginan mewujudkan strategi Mao Ze-dong dulu.
"Presiden Soeharto menunjukkan ketika mengalahlan Kwo Min-tang dulu, Mao Ze-dong menggunakan teori kota-desa. Alam teori itu yang dilakukan ialah mengacau desa, kemudian me-ngacau kota, atau menguasai desa, kemudian me-nguasai kota,merebut kekuasaan." (Kompas,/1/96)

Apa yang dikatakan Jenderal Besar Soeharto "Teori Kota-Desa" Mao Ze-dong itu hanya merupakan akal-akalan Soeharto saja, guna mempunyai alasan untuk menumpas habis para perusuh Tasikmalaya tersebut. Akal-akalan anti-komunis. Yang terJadi di Tiongkok dulu ialah TPR (Tentara Pembebasan takyat) membebaskan desa lebih dulu, kemudian baru membebaskan kota. Bukan mengacau desa dan kemudian kota. Dan di Tasikmalaya tidak ada TPR. Bagaimana mungkin berlaku teori Mao Ze-dong. Itu hanya sebuah fitnah yang telanjang terhadap komunisme.


Kesimpulan

Dengan dalih untuk mewujudkan kemak-muran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka pemerintahan Orde Baru Soeharto menjalankan politik anti komunis dengan semangat yang tinggi. Asal ada suara yang menentang kebijaksanaanya, segera dicap komunls dan ditindas. Dengan politik anti komunisnya, maka leluasa lah Soeharto menjalankan korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga memungkinkan lahirnya ratusan kong-lomerat di lndonesia, termasuk semua anak-anaknya menjadi konglomerat. Kesenjangan sosial makin menajam. 
Dan puncaknya terjadilah krisis ekonomi di Indonesia.
Untuk membela pembangunan KKN, maka pemerintahan Orde Baru mengerahkan aparat keamanannya untuk menindas terhadap setiap gerakan pro-demokrasi dan hak asasi manusia. Berjatuhan lah korban: ditangkap, dipenjara dan terakhir aktivis gerakan pro-demokrasi diculik.

Meski pun dibawah ancaman yang bengis, gerakan prodemokrasi terus meningkatkan perju-angannya dan puncaknya tampilah mahasiswa de-ngan gerakan keprihatinannya yang menuntut dila-kukan reformasi secara total di segala bidang kehidupan. Gerakan mahasiswa untuk reformasi total yang didukung rakyat inilah yang telah mampu "mengusir" Soeharto dari tahta kekuasannya , yang telah digenggamnya selama 32 tahun.

Tapi Soeharto berhasil menjadikan BJ Habibie (muridnya yang pandai) jadi presiden Republik Indonesia meskipun dikecam sebagai tidak konstitu sional. BJ Habibie berJalan terus. Gaya politik Soeharto dilanjutkannya. Bila politik anti-komunis Soeharto dilanjutkannya, maka akan tiba pula saatnya bagi Habibie untuk diusir dari kekuasaan, seperti nasib yang menimpa guru politiknya (Soeharto).

Apakah sejarah akan berulang? Sejarah lah nanti yang akan menjawabnya.

***
Artikel diatas pernah di muat dalam M-List SiaR dengan subjekt: Istiqlal (28/9/98)#Krisis Ekonomi..

http://www.oocities.org/capitolhill/3925/sd9/krisis_9.html

0 komentar:

Posting Komentar