Kamis, 16 Juni 2016

Pancasila Sebagai Jargon Rehabilitasi Golongan Kiri

Oleh: Setya Indra Arifin*

 ill: sasikirana

Abstrak
Pancasila hari-hari ini dipergunakan untuk melakukan suatu—meminjam istilah Bung Karno—perihal yang kontra-revolusioner. Hal ini membawa kita kembali pada masa rezim otoritarian Orde Baru; ketika setiap perlawanan dianggap sebagai ancaman dan seketika dianggap komunis. 
Petani, mahasiswa, aktivis buruh, pengacara, yang melakukan kegiatan progresif dianggap saja sebagai perbuatan subversif yang merongrong Pancasila. Penulis beranggapan, bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap kekejian rezim yang luar biasa tersebut, perlu untuk melakukan rejuvinasi (peremajaan) daripada makna Pancasila itu sendiri, atau dengan kata lain, merebut istilah Pancasila untuk kembali pada rel revolusi proklamator kita: Bung Karno, kembali pada semangat persatuan antara golongan yang bahkan saling berseberagan alih-alih mengeliminirnya, kembali pada Nasakom. 
Lebih spesifikya, paper ini akan megulas bagaimana pertarungan wacana digunakan bukan untuk melanggengkan kebencian, melainkan untuk merehabilitasi mereka yang telah dibantai; yaitu pada golongan kiri.



Pengantar
Ekstrem kiri sebagai sebuah stigma negatif yang selalu melekat pada golongan Komunis, wacana-wacana penggulingan pemerintahan yang sah lewat organisasi-organisasi rakyat yang dikenal secara luas di jaman orde baru dengan istilah OTB (organisasi tanpa bentuk), isu-isu pengkafiran yang dilakukan oleh kaum Komunis dengan menjauhkan rakyat dari semangat bertuhan, semua itu karena mereka, sekali lagi memang tak pernah mengenal Tuhan. Begitulah keyakinan sekaligus merupakan kebenaran yang selama ini dipegang begitu kuat oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, sebagai sesuatu yang tak boleh didiskusikan, tak bisa dibantah dan sudah barang tentu menjadi haram hukumnya mempertanyakan kebenaran tersebut.
Pancasila, sejak orde baru dan masih hingga saat ini, bak moralitas final yang siapapun tak pantas mendekatinya dengan persoalan etika macam apapun. Pancasila harus tunggal dalam pengertiannya yang paling suci dan sacral. 
Siapa yang mencoba memperbaharui nilai-nilai yang dipahami sebagai moralitas final tersebut, apalagi hendak merevisi tafsiran tunggalnya, akan dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara yang barangkali menjadi boleh saja diperangi dengan pernyataan perang paling keras dari yang pernah ada, melebihi pernyataan-pernyataan yang bergulir pada seputar wacana-wacana dan isu-isu komunis itu sendiri. Dengan cara berpikir apapun, tentunya menuduh seseorang dan mengutuknya sebagai yang paling tak bertuhan dan paling halal dibunuh membuat wacana-wacana yang ada sangat mudah dipatahkan lewat pikiran jernih dan hati nurani yang bersih. 
Sebab bagaimanapun, adalah bertentangan dengan martabat kemanusiaan, yang dengan demikian, berlawanan pula dengan apa yang pada hari ini sering dituduh sebagai sesuatu yang kebablasan, yakni HAM (hak asasi manusia). 
Hak asasi manusia yang pokok ajarannya itu diturunkan langsung dari Tuhan sebagai sesuatu yang disebut kasih sayang. Sehingga HAM, pada dasarnya juga merupakan Kewajiban Asasi Manusia itu sendiri, untuk bisa saling menebar kasih sayang sesama manusia.

human-rights-every-human-has-rights
Berangkat dari fakta sosial yang terjadi di atas, di mana tak ada tempat bagi siapapun yang hendak melakukan pembaharuan terhadap tafsir Pancasila, maka segala wacana yang menyelimuti gagasan-gagasan progresif, yang ekstrem sifatnya itu, bagaikan tenggelam di tengah gelombang pertanyaan-pertanyaan besar yang tak kunjung berakhir. Apakah Pancasila memang benar adanya, sampai kapanpun tidak akan mengakui keberadaan komunisme di dalamnya? Akankah Pancasila, hanya akan memberi tempat bagi Agama-Agama yang pada fungsinya, seringkali menjadi dalil penenang bagi semangat-semangat perlawanan? Perlawanan yang bagi saya pribadi merupakan sebuah keniscayaan dalam hal terjadinya sesuatu yang bertentangan dengan keadilan, sebagai semangat manusia yang terus dicari dan diupayakan sepanjang hidupnya. Padahal menurut histori, toh komunis itu pernah ada dalam konsepsi keberagaman di tubuh NKRI lewat seruan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis)-nya Sang penggali Pancasila.
Soekarno, sosok penggali Pancasila itu, memang tak ada habisnya menimbulkan kontroversi. Kepribadiannya yang kompleks di bawah simbol rasi bintang Gemini, menurut pendapatnya sendiri memberi corak beraneka-warna pada kepribadian itu[1]
Jika sampai hari ini Indonesia mengakuinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi, tentunya persoalan Soekarno membawa konsekuensi pada persoalan bangsa kita sendiri. Jika bangsa ini pada hari ini sibuk mencari jati diri, mempertanyakan siapakah aku saat ini, bukankah sudah sepatutnya mereka juga bertanya tentang siapa Soekarno pada masa yang lalu itu? Siapa sebenarnya Pengibar Bendera Revolusi itu? Dan tentunya Revolusi itu sendiri, seperti apakah revolusi Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno dan—yang secara konsekuen juga barang pasti—diinginkan oleh rakyat Indonesia. Kecuali jika bangsa kita, tak ada ubahnya dengan kompleksitas kepribadian Gemini yang sering menimbulkan kontroversi, tak pernah mau mengakui sejarahnya sendiri, tentang siapa sebenarnya bangsa Indonesia ini. Dan jikalau mau jujur maka sesungguhnya: “kita amatlah kiri”.

Memenangkan Jargon
Soekarno tak pernah menginginkan revolusi berhenti atau padam. Hal itu harus selalu diupayakan agar jangan sampai hangus terbakar, di mana yang tersisa kemudian hanyalah abu. Dan kini, revolusi itu nampaknya memang telah usai. Kalaulah setidaknya revolusi masih menyisakan abu, entah abu revolusi milik siapa yang saat ini diambil oleh bangsa kita. Semangat revolusi yang digunakan sebagai alat melawan penindasan, justru menjadi alat penguasa untuk melanggengkan penindasan. 
Imperialisme dan Kapitalisme yang digugat habis-habisan karena memiliki watak merusak dan selalu haus untuk melakukan penindasan terhadap rakyat[2], sebaliknya selalu saja mendapat tempat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang diberi kuasa oleh rakyat itu. Penindasan itu, hingga kini bahkan sampai menyentuh segi paling dasar dari kemanusiaan, yakni kemampuan manusia dalam berpikir dan menyatakan kehendak. Sayangnya, hal tersebut justru dilakukan dengan satu jargon: Pancasila.
Pancasila, tepatnya sejak rezim orde baru berkuasa, secara nyata pernah  digunakan sebagai alat untuk memukul orang-orang komunis dengan cara-cara yang tidak jarang melibatkan kekerasan hingga kekejaman. Pada giliran berikutnya, dengan alat yang sama pula Pancasila digunakan untuk melekatkan sebuah predikat yang sampai hari ini selalu identik dengan satu golongan yang dengan berbagai caranya hendak merebut kekuasaan yang sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Mereka itulah golongan kiri, golongan yang sampai hari ini begitu dikhawatirkan, bahkan ditakuti layaknya hantu gentayangan (karena toh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai representasi dari golongan kiri memang sudah tidak lagi hidup di negeri ini).
Komunis-komunis itu, yang hingga ketiadaannya pun tetap diyakini, akan selalu saja ingin mengganti dasar dan ideologi tunggal Negara, Pancasila. 
Namun sepertinya kita harus kembali bertanya, benarkah demikian adanya?
Komunisme dianggap bertentangan dengan Pancasila, salah satunya dan terutama terhadap nilai-nilai ketuhanan yang menjadi sila pertama Pancasila. 
Dengan salah satu logika tersebut, maka sudah pasti Pancasila=Anti-Komunisme. Logika ini bagaimanapun telah memenangkan pikiran rakyat Indonesia sejak sekian lama. Bahwa Komunis hendak menghapuskan Agama dari kehidupan masyarakat Indonesia, yang dengan demikian Indonesia menjadi Negara tak bertuhan. Atau juga dengan logika lain yang mengetengahkan bahwa komunisme mengingkari adanya Negara yang sah sehingga membahayakan bagi keutuhan bangsa dan Negara. 
Jargon-jargon inilah yang terus dipakai sampai hari ini. Jargon yang juga telah beralih fungsi, melebur ke dalam berbagai macam tujuan yang sayangnya kebanyakan dari tujuan-tujuan itu digunakan untuk motif-motif merebut kekuasaan. Alih-alih mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, jargon tersebut justru digunakan demi melenyapkan golongan lain yang dianggap berbeda tujuan dengan kekuasaan itu. Pancasila dengan kata lain lebih berfungsi sebagai instrumen koersif yang digunakan sebagai sumber legitimasi dalam menentukan mana pahlawan, mana pengkhianat, mana bajingan yang harus dibasmi, dan mana yang akan selamat. Akankah kemenangan semu ini akan terus menerus dibiarkan begitu saja?
Kenyataan yang terjadi pada hari ini menunjukkan bahwa di mana setiap ada aksi penolakan dan perlawanan warga masyarakat terhadap segala jenis kebijakan pemerintah yang bernuansa korup dan tidak benar, anehnya di situlah cap-cap Komunis (=golongan kiri) itu kembali dimunculkan ke permukaan oleh pihak-pihak yang merasa paling pantas disebut pahlawan. 
Lagi-lagi, alih-alih ingin mempertahankan NKRI, yang terjadi justru tindakan-tindakan represif aparat-aparat keamanan dan juga pertahanan Negara beserta simpatisannya, dengan berusaha mencegah lahirnya kesadaran akan pentingnya nilai dan semangat utama Pancasila: “gotong royong”. 
Maka komunisme, sebagai inti pokok ajaran Marxisme yang dimaksud dalam tulisan ini, pada dasarnya tidak hanya dipahami sebagai sebuah gerakan ideologis semata, lebih dari itu merupakan sebuah gagasan atau semangat kegotong-royongan untuk bersama-sama melawan setiap ketidakadilan.
Dari itulah maka jalan satu-satunya untuk mengembalikan Pancasila kepada khittahnya, tentu tidak lain dengan jalan meraih kembali kemenangan yang sempat direbut dengan menempatkan jargon Pancasila itu kepada arah yang sesungguhnya. Sebagaimana Soekarno selalu mengatakan bahwa arah revolusi kita menuju lebih jauh lagi dari hanya sekedar mengusir penjajah-penjajah Belanda dari Indonesia. Pertanyaannya, tindak lanjut apa yang semestinya kita ambil kemudian? Setidaknya dari sini, bahwa apa yang perlu dijadikan pegangan untuk sama-sama kita yakini adalah dengan me-rejuvinasi Pancasila yang sudah terlalu lama memberikan pengaruh dan arahan tafsir tunggalnya kepada hal-hal yang pada dasarnya tidak patut lagi untuk terus-terusan diyakini di jaman yang penuh kedamaian ini.

Pancasila untuk Golongan Kiri
Lewat jalan yang ditawarkan di atas, maka dengan ini saya mengajak kepada kita semua untuk mengingat kembali kepada salah satu pidato (Amanat) PJM Presiden Soekarno di hadapan para anggota Golongan Karya Nasional di Istana Bogor pada tanggal 11 Desember 1965. Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa Pancasila itu sama sekali tidak Anti-Kom. Lebih lanjut bila kita memahami pesan dari Bung Karno kepada seluruh penerus bangsa dengan mengatakan bahwa dia, tak ingin punya anak yang hanya mendaku anak Soekarno namun tidak punya semangat kiri. Pidato lengkapnya sebagaimana berbunyi:
“Jangan kira, saudara-saudara, kiri is allen maar antiimperialisme. Jangan kira kiri hanya antiimperialisme, tetapi juga anti uitbuiting. Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de lhomme par l home, tetapi kiri. Oleh karena itu maka saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de lhomme par lhomme. Pancasila adalah anti exploitation de nation per nation.

Karena itulah Pancasila kiri.  Pancasila dipakek untuk sebetulnya mendemonstrir anti kepada Kom. Padahal Pancasila itu sebetulnya tidak anti-Kom. Kom dalam arti ideologi sosial untuk mendatangkan disini suatu masyarakat yang sosialistis. Kalau dikatakan, ya aku Pancasila, tetapi dalam hatinya anti-Nasakom, Komnya ini, Pancasila juga dipakai untuk mengatakan aku Pancasila tetapi anti Nas. Aku Pancasila tetapi anti A. Ya apa tidak? Pancasila adalah pemersatu, adalah satu ideologi yang mencakup segala. Dan aku sendiri berkata, aku ini apa? Aku Pancasila. Aku apa? Aku perasaan daripada Nasakom. Aku adalah Nasionalis, aku adalah A, aku adalah sosialis, kataku. Tetapi banyak orang memakai Pancasila itu sebagai satu hal yang anti (…). Karena itu aku menegaskan hal ini saudara-saudara.

Pendek kata kalau saudara-saudara mengaku atau menamaken dirimu anak Bung Karno, saya tidak mau punya anak yang tidak kiri. Ya, saya tidak mau punya anak yang tidak kiri, kalau yang cuma mulutnya saja progresif revolusioner, tetapi di dalam hatinya sebetulnya kanan”.
Berdasar kepada amanat Bung Karno lewat pidatonya tersebut, nampak adanya sebuah kontradiksi antara pemahaman Pancasila sebagaimana disampaikan Soekarno sendiri dengan pemahaman-pemahaman yang berlaku selanjutnya (bahkan hingga saat ini). 
 Sekalipun memang jika pada prinsipnya tersemat bahwa komunisme (golongan kiri) itu tidak mengakui segala tesis tentang ketuhanan, atau tidak mengakui pula pelbagai sebuah simbol kenegaraan, toh dalam kenyataannya komunisme di Indonesia melebihi komunisme-komunisme lain di pelbagai belahan dunia. 
Komunisme yang dalam dirinya tetap mengakui keberadaan Tuhan dan dengan demikian agama-agama, juga komunisme yang dalam tindak-tanduknya disertai dengan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa. Komunisme yang di dalamnya tertanam iman agama, komunisme yang di dalamnya tersemai benih cinta tanah air dan bangsa, komunisme yang, menjadi bagian tak terpisahkan dari Pancasila.

dc88f79d49b60f546930ef2b9b5e68b2-087776500_1447314252-4
Setelah sedemikian rupa kita memahami bahwa pada dasar dan prinsipnya, tidak ada pertentangan antara komunisme dan agama, tidak ada pertarungan komunisme dan nasionalisme, dan tentunya tidak ada pula perihal yang bertolak belakang antara komunisme dan Pancasila, maka bagaimanakah seharusnya Pancasila itu ditempatkan dalam hati dan pikiran kita saat ini, juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibingkai lewat UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan juga Bhineka Tunggal Ika? 
Akankah “golongan kiri”—sebagai salah satu bukti bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragam dan tidak senang pada segala macam bentuk penjajahan di muka bumi—akan terus-menerus dijadikan stigma bagi langkah dan arah perjuangan kita dalam membawa Indonesia di masa yang akan datang?

Kembali ke Bung Karno: Pengakuan Diversitas Ideologi
Di akhir bagian ini, tinggallah kita yang tersisa untuk bagaimana menentukan dan menetapkan langkah ke depan. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah diajukan dalam tulisan ini, akankah hanya akan sekedar menjadi tanya tanpa jawab? Atau justru lebih parah lagi, hilang tanpa ada sedikitpun tersisa bagai selembar tissue tanpa abu? Semua itu tentu tidak dapat dipaksakan, sebab pemaksaan kehendak dalam bentuk apapun pada kenyataannya pernah sampai harus mengorbankan golongan-golongan yang kehendaknya berbeda. 
Namun, jika kita mau kembali kepada rel-nya revolusi sebagaimana senantiasa ditancapkan oleh Bung Karno dalam tiap perjumpaan kepada rakyatnya, maka sekali lagi, tidak ada pilihan lain selain melakukan peremajaan terhadap diri Pancasila.
Pancasila, yang pada akhirnya hanya sekedar alat legitimasi untuk melenyapkan golongan-golongan lain yang berbeda termasuk di dalamnya golongan kiri, tentu bukanlah Pancasila sebagaimana diharapkan oleh para orang tua yang melahirkannya. Pancasila yang dihasilkan dari proses-proses yang lagi-lagi menurut Soekarno bersifat romatis, dinamis dan dialektis atau dalam bahasa yang lebih sufi merupakan sunnatullah yang tidak boleh dimandekkan, dijumudkan oleh pandangan-pandangan yang hanya mengakui keunggulan diri yang tunggal, tak boleh tertandingi dan tak mengakui keberadaan yang lain. Semua itu, pada dasarnya jika kita mau kembali pada kisah-kisah penciptaan manusia di bumi, tidak lain merupakan sifat dan sikap yang dimiliki oleh Iblis dan Setan yang penuh keangkuhan. Untuk itulah maka pada akhirnya mau tidak mau, suka dan tidak suka, dengan meyakini bahwa kurangnya penerimaan kita pada sesuatu pada dasarnya takkan mengubah sesuatu itu menjadi benar menjadi salah atau sebaliknya, maka kita harus kembali kepada diversitas ideologi sebagai satu-satunya pilihan dalam mencapai harmoni yang satu, harmoni Pancasila, Pancasila yang harmoni. []
______________________________________
[1] Onghokham, Soekarno: Mitos dan Realitas dalam Rakyat dan Negara, (Jakarta: PT Grafitas), 1983, hal. 9.
[2] Ir. Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka, ditulis Soekarno pada tahun 1933. Soekarno menjelaskan bagaimana imperialisme tua telah menjelma menjadi imperialism modern, yang keduanya tidak lain berasal dari ideologi yang sama, kapitalisme.

IndraSetya Indra Arifin
Seorang Nahdliyyin muda nan tulen. Selain pernah menjabat sebagai Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Menteri Kesma BEM Universitas Diponegoro, juga bergiat di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Di sela-sela kesibukannya di bidang riset, tulis-menulis, Setya Indra juga terlibat aktif di Front Nahdliyyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Komite Semarang.


http://komunitaspayung.org/pancasila-sebagai-jargon-rehabilitasi-golongan-kiri/

0 komentar:

Posting Komentar