HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 17 Maret 2011

Mulai Gilchrist Sampai WikiLeaks

Kamis 17 Maret 2011 WIB


ETHAN Hunt menerima pesan yang dibungkus dalam sebuah mortir tanpa hulu ledak yang ditembakkan beberapa meter di depannya. Sebuah kacamata hitam yang tersimpan dalam selongsong mortir dipakainya untuk membaca instruksi misi rahasia yang harus dilakukan Hunt. Di akhir pesan, Hunt diminta untuk menjaga kerahasiaan misinya. Kalau bocor, Kementerian Luar Negeri akan menyangkal semua aksinya.

Cuplikan adegan itu diambil dari film Mission Impossible I (1996) di mana aktor Tom Cruise memerankan jadi Ethan Hunt, agen rahasia andalan dinas intelijen Amerika Serikat (AS). Sebagaimana judul filmnya, misi Ethan Hunt selalu berakhir sukses dan tak pernah mendapatkan penyangkalan dari Kementerian Luar Negeri AS.

Hal yang dipertontonkan dalam film itu sebetulnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini, terutama soal penyangkalan informasi yang termuat di dalam data intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks. Seperti diberitakan oleh koran The Age dan Sydney Morning Herald, WikiLeaks menguak penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Para petinggi Indonesia ramai-ramai membantahnya. Bahkan Presiden SBY pun pada 14 Maret 2011 secara resmi meminta agar media dan masyarakat menghentikan semua polemik tentang WikiLeaks. 

“Tidak perlu kita terus menerus ikut dalam kegaduhan ini. Banyak yang lebih penting soalnya,” kata SBY seperti dikutip dari laman berita Vivanews.com.

Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS sendiri tak pernah secara resmi menyampaikan penyangkalan atas informasi yang termuat di dalam data yang dibocorkan oleh WikiLeaks kepada dua koran besar di Australia itu. Alih-alih menyangkal isi dokumen, Duta Besar AS Scot Marciel malah memberikan keterangan bagaimana mereka mendapatkan informasi. 

“Tak hanya pejabat pemerintah setempat, tapi juga cendekiawan, jurnalis, politisi, masyarakat awam dan lain-lain. Kami berbicara dan bertukar pikiran atas segala hal yang menjadi perhatian masing-masing pihak,” kata Marciel, beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Vivanews.com.

Kontroversi kebocoran informasi intelijen ini bukanlah yang pertama dalam sejarah di Indonesia. Pada 16 September 1963 sejumlah massa yang mendemo dukungan Inggris terhadap Federasi Malaysia (Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak) menyerbu Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Mereka mengobrak-abrik dan menjarah kedutaan Inggris yang terletak tak jauh dari Bundaran Hotel Indonesia itu. Pada saat itulah ditemukan dokumen yang memuat informasi strategis hasil kajian Kedubes Inggris di Jakarta tentang friksi internal Angkatan Darat.

“Tetapi, paling mengejutkan, Kartono Kadri dan Rubijono menemukan analisis pribadi dari Dubes Sir Andrew Gilchrist, “...posisi Presiden Soekarno sekarang bagaikan tikus terpojok,” tulis Julius Pour dalam bukunya, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang.

Kartono Kadri adalah petinggi di Badan Pusat Intelijen (BPI) sedangkan Rubijono yang disebut oleh Julius Pour adalah Rubijono Kertapati, dokter pribadi Presiden Sukarno. Temuan itu mereka laporkan kepada Perdana Menteri I Djuanda Kartawidjaja, namun dia tak melaporkannya pada Presiden Sukarno karena khawatir presiden marah.

Pada Mei 1965 sejumlah anggota Pemuda Rakyat yang menyerbu vila milik Bill Palmer, distributor film Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat yang diduga jadi mata-mata CIA. Saat itu para pemuda juga menemukan dokumen yang memuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dengan Angkatan Darat Indonesia (Our local Army friends) serta rencana gabungan Inggris-AS untuk mengintervensi Indonesia. Dokumen itu kemudian dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist”.

Dokumen terakhir menyingkapkan keterlibatan segelintir perwira Angkatan Darat yang dianggap tak loyal kepada Presiden Sukarno dalam soal konfrontasi dengan Malaysia. Dokumen yang sempat diragukan keasliannya itu dilaporkan oleh Kepala BPI Soebandrio kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno panik dan memanggil seluruh panglima angkatan. Dalam pertemuan itu seluruh pimpinan angkatan menyangkal tuduhan yang disebutkan dalam dokumen Gilchrist.

Seiring waktu, isu itu menggelinding bak bola liar dan memunculkan dugaan adanya Dewan Jenderal yang berencana mengudeta Presiden Sukarno. Situasi politik pun semakin memanas dan kemudian berujung pada peristiwa G.30.S/1965. Sukarno disebut-sebut akan dikudeta pun terjungkal dari kursi kepresidenannya. Secara perlahan Soeharto mengambilalih kekuasaan sampai akhirnya diangkat sebagai presiden definitif pada 27 Maret 1968.

Pada saat Dokumen Gilchrist itu ditemukan dan menjadi bahan pemberitaan di media massa, tak sedikit orang yang meragukan keaslian informasi di dalamnya. Sejumlah keraguan muncul karena susunan tata bahasa Inggris yang digunakan dalam dokumen itu tak mencerminkan gaya bahasa seorang diplomat Inggris. Bahkan Soebandrio sendiri sempat meragukan validitas dokumen tersebut dan meminta Kepala Staff BPI Soetarto untuk membandingkan jenis kertas dokumen dengan kertas yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris.

Tapi sejarah punya cerita lain. Dokumen Gilchrist yang menyebutkan adanya kerjasama beberapa perwira Angkatan Darat dengan pihak Inggris dalam urusan konfrontasi Malaysia itu kelak terbukti dengan adanya fakta bahwa perwira tinggi di Angkatan Darat tak berminat menjalankan instruksi Sukarno secara serius. Jamie Mackie dalam bukunya, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 menulis tentang kekhawatiran Brigjend. Supardjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, yang merasa ada upaya sabotase dalam operasi itu untuk tak meningkatkan eskalasi konflik dengan pihak Malaysia.

Dugaan adanya upaya kudeta dari segelintir perwira Angkatan Darat terhadap Sukarno, bila merujuk pada apa yang terjadi, pun terbukti di kemudian hari. Struktur kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto, sebagaimana digambarkan oleh David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983, hampir sepenuhnya didominasi oleh para jenderal. Usaha untuk mengambilalih kekuasaan lewat penyingkiran kekuatan politik pendukung Sukarno, seperti PKI, dengan sendirinya “terkesan” membenarkan apa yang pernah disebut-sebut dalam dokumen itu.

Dugaan keterlibatan asing dalam penggulingan kekuasaan Sukarno semakin menguat ketika pada April 2001 pemerintah AS memublikasi dokumen Departemen Luar Negeri AS yang selama 30 tahun lebih dirahasiakan. 

Dokumen itu menguak peran AS pada periode transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Uniknya dokumen yang sempat terpublikasi lewat situs resmi National Security Archieve itu tiba-tiba ditarik kembali atas campur tangan CIA begitu Megawati Sukarnoputri dilantik menjadi Presiden Indonesia akhir Juli 2001. Kabarnya Pemerintah AS tak enak pada Megawati dan khawatir relasi Indonesia-Amerika akan terganggu.

Namun dokumen bertajuk Foreign Relations of the United States (FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines, Volume XXVI itu terlanjur tersebar luas. Bahkan penerbit Hasta Mitra menerjemahkannya dan menerbitkan bundel dokumen itu dengan judul yang provokatif: Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965 dengan kata pengantar dari Joesoef Isak, wartawan yang pernah ditahan Pemerintah Soeharto selama sepuluh tahun tanpa pengadilan. Tidak ada penyangkalan dari pihak pemerintah Amerika atas informasi yang terdapat di dalam dokumen-dokumen itu, kecuali beberapa bagian yang mereka hitamkan, menunjukkan tingkat kerahasiaan informasi.

Dari dokumen itu juga Tim Weiner menulis buku Legacy of Ashes: A History of CIA yang sempat menghebohkan publik di Indonesia pada pengujung 2008 karena menyebut-nyebut nama Adam Malik sebagai agen CIA di Indonesia. Banyak tokoh membantah tulisan Tim Weiner, termasuk Jusuf Kalla yang saat itu masih menjabat wakil presiden.

Pemerintah AS sendiri memiliki peraturan untuk membolehkan dibukanya arsip-arsip penting (dan rahasia) setelah berumur 30 tahun (declassified). Arsip-arsip itu dianggap telah bersifat statis karena peristiwanya sudah lama berlalu dan sebagian besar orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu sudah meninggal dunia. 
Sementara itu arsip yang masih bersifat dinamis, di mana proses dan kontinuitas peristiwanya masih berlanjut, diberi label Top Secretdan tak mungkin dibuka untuk umum. Masuk akal bila sekarang, saat WikiLeaks membocorkan dokumen-dokumen rahasia milik Pemerintah AS yang masih bersifat dinamis, ada upaya untuk menutupinya.

Seperti sebuah gosip, informasi intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks itu terletak di wilayah abu-abu. “Informasi itu bisa disebut sebagai hoax (isapan jempol-red) kalau sudah terbukti bohong. Tapi yang sekarang terjadi adalah tak ada pihak yang bisa membuktikan kalau itu bohong atau benar adanya,” kata antropolog LIPI Dr. Fadjar Ibnu Thufail.
Sumber: Historia.Id 

Rabu, 09 Maret 2011

Perjuangan seorang Komunis Muslim

Mar 09, 2011 by Hasan Raid 
Partai Komunis Indonesia, atau Partai Komunis Indonesia, pada satu titik partai komunis terbesar di luar Blok Soviet. Pada tahun 1965, ratusan ribu, jika tidak jutaan, anggotanya dibunuh secara sistematis di bawah pengawasan dan persetujuan militer yang didukung CIA Suharto. Para sejarawan memperkirakan bahwa antara 500.000 dan 2.000.000 komunis tewas, menjadikannya genosida komunis terbesar dalam sejarah .
Hasan Raid adalah anggota Partai Komunis Indonesia tetapi secara ajaib selamat dari tragedi itu. Pada tahun 2001, sembilan tahun sebelum kematiannya, ia menyelesaikan otobiografinya yang berjudul Pergulatan Muslim Komunis[Perjuangan Komunis Muslim] . Di bawah ini adalah kutipan dari salah satu pidatonya, secara singkat menguraikan pandangannya tentang hubungan antara Islam dan komunisme. - Ahmad Fuad Rahmat
Orang, atau kelas, akan tetap ditindas jika mereka tidak berjuang, jika mereka tidak melawan atau menolak penindasan yang ditimpakan pada mereka oleh para penindas mereka. Inilah esensi perjuangan kelas.
Perjuangan seperti ini sejalan dengan Surat Al-Rad ayat [11], yang mengklaim bahwa "Tuhan tidak akan mengubah kondisi orang kecuali mereka pertama kali mengubah diri."
Bagian ini ditujukan kepada keadaan sosial saat itu. Saat itu masyarakat terbagi tajam pada garis rasial dan kesukuan. Ini adalah masa jahiliya , sebuah masyarakat bangsawan dan budak, tuan dan pelayan, dan seterusnya.
Melalui perikop tersebut, Allah menyatakan bahwa masyarakat belum mencapai tingkat masyarakat tauhidi , karena ia tetap terpecah di sepanjang garis kelas dan kesukuan. Adalah kewajiban ummah Muslim untuk merekonstruksi masyarakat untuk mencapai negara tauhidi itu , sebuah umat yang dipersatukan, seperti yang dinyatakan dalam Surah Al-Mu'minun ayat 52. (The Ayah membaca: “Dan tentunya ini adalah umatmu . 1 )
Ini adalah merekonstruksi umat yang bersatu, masyarakat yang benar-benar tauhidi , bahkan masyarakat tanpa kelas, bahwa Partai Komunis Indonesia menyerukan perjuangan kelas. Masyarakat tauhidi adalah masyarakat yang menolak segala bentuk diskriminasi, baik itu diskriminasi rasial, etnis, atau keluarga, baik itu diskriminasi oleh kekayaan atau kekuasaan. Ia memandang semua manusia sebagai setara. . . .
. . . Ini sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam Surat Al-An'am ayat 145, yang melarang memakan darah makhluk lain. 2 Untuk melakukannya, untuk mengeksploitasi kerja orang lain, seperti yang dilakukan kapitalis terhadap proletariat, adalah membuat kekayaan secara tidak adil, adalah salah dan bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 188. 3Surat Al-Humazah ayat [ ayat-ayat] 1-3 4 mengutuk kapitalis yang telah memperoleh kekayaannya dengan mengambil darah mengalir dari makhluk lain, dengan mendapatkan kekayaan secara tidak adil, dan sebagainya.
Sosialisme adalah panggung menuju masyarakat tanpa kelas, masyarakat tauhidiatau masyarakat komunis. Jelas bahwa tujuan Partai Komunis Indonesia adalah jalan yang sama dengan iman Muslim, yaitu untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan di semua bidang sehingga tidak akan ada lagi pengambilan darah seseorang oleh orang lain.
Catatan Penerjemah:
1 Bacaan itu berbunyi sebagai berikut: “Ini [komunitas] sebenarnya adalah satuummah [komunitas] dan saya adalah Tuhanmu. Karena itu, selalu takut pada-Ku. ”
2 Ini mungkin dibaca sebagai interpretasi yang agak kreatif terhadap ayat Alquran tetapi kita juga harus mengingat metafora vampir Marx untuk menggambarkan kapitalisme di Das Kapital .
3 Bacaan itu berbunyi sebagai berikut: “Dan janganlah memakan milik orang lain secara tidak adil (dengan cara ilegal apa pun, misalnya mencuri, merampok, menipu, dll.), Juga tidak memberikan suap kepada para penguasa (hakim sebelum mengajukan kasus Anda) bahwa Anda mungkin secara sadar makan bagian dari milik orang lain dengan penuh dosa. ”
4 Bacaan itu berbunyi sebagai berikut: “1. Celakalah bagi setiap fitnahan dan penindas. 2. Siapa yang mengumpulkan kekayaan dan menghitungnya, 3. Dia berpikir bahwa kekayaannya akan membuatnya bertahan selamanya! ”

Terjemahan oleh Ahmad Fuad Rahmat .
Sumber: MR Online

Selasa, 01 Maret 2011

Kecil di Digul Muda di Buru

Bonnie Triyana | 1 Mar 2011, 00:00

Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun penahanan di Pulau Buru.  



RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam. Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya. 
“Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi. 
Lelaki itu adalah Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah menghalanginya untuk beraktivitas. Tri melek teknologi. Dia tak gagap menggunakan komputer dan akrab dengan internet. Sampai hari ini dia aktif sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi pengalaman hidupnya di berbagai mailing list. Semangatnya tak pernah pudar. 
“Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.

Senyumnya selalu mengembang saat bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Boven Digul, Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27 Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah Merah, Digul. Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.

Kamp Boven Digul dibangun oleh pemerintah kolonial pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI yang terlibat pemberontakan 1926. Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial memindahkan 1.308 lebih mereka yang terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang ditahan di sana antara lain Ali Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, tokoh PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten. Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan sebagai tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan Sjahrir.

Menurut Bung Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980) waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua. 
“Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta. 
Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih untuk tak bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena menerima jatah makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam bentuk 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limun minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig” yang bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.

Sementara golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang sejak datang kali pertama ke Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan penguasa setempat. Bahkan mereka menolak untuk membersihkan pekarangan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka tak mau membangun rumah atau pun kampung sendiri dan memilih untuk tinggal di satu barak yang telah disediakan.  “Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken” – menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi, kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.

Tri dan orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan masuk ke dalam golongan naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan memutuskan untuk jadi “daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan Bung hatta, upah yang diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per hari. Tri kecil dan kawan sebayanya sering bermain mengunjungi rumah Bung Hatta untuk belajar bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir dan kerapkali mendapatkan cokelat darinya.
“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri.  
Hatta dan Sjahrir tak lama berada di Digul. Mereka datang pada Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda Neira pada November 1935.

Para tahanan politik Digul selalu merayakan peringatan pemberontakan PKI setiap 12 November. Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan kawan sebayanya saat itu menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti
“Dua Belas November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”. 
“Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati  itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana. 
Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yag menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”
Lukman yang dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh PKI dan dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman. Seperti Tri, Lukman pun turut ke Digul beserta kedua orang tuanya. Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam perlawanan terhadap Belanda di tahun 1926.
Setelah insiden perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah Tinggi, daerah pembuangan buat golongan “die hard”.

Sedangkan BS yang dimaksud Tri kemungkinan besar adalah Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang Sjahrir Bung Hatta menyebutnya Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia menulisnya dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan dianggap telah tunduk pada pemerintah.
Ketika Jepang datang, Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan.

Sebagian tahanan politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat di mana pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya. Pada 1942 Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang, Tri bersaudara diboyong terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya. 
“Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.
Pada 1944 Tri ikut pelatihan militer dan lulus sebagai perwira yang bertugas di Kalimantan Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri melarikan diri bersama puluhan anak buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian kalah perang. Indonesia merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.

Tri kemudian bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank. Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji dan tunjangan yang mencukupi hidupnya.
“Kemapanan” itu hanya berlangsung beberapa saat saja, sampai kemudian, pada suatu hari di bulan Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang pernah tinggal bersama di Tanah Merah beberapa tahun sebelumnya. Sembari bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih hidup sebagai pegawai bank.
“Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu. 
“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan.
Setelah pertemuan itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia memilih untuk bergabung dengan tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI.

Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di pavilyun kontrakan milik Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari bilik kontrakan itu pula Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan partai yang sempat luluh lantak setelah peristiwa Madiun 1948. Tri yang alumnus Universitas Waseda, Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai redaksi saya kerjakan semua.”

Pada masa-masa awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya mengelola penerbitan berkala. Untuk mencetak perlu izin dari kementrian penerangan berupa Surat Izin Pembelian Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar untuk mencetak secara resmi.
“Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri. 
Budiardjo adalah suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965 meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak azasi manusia.

Seiring waktu kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto dan Lukman mulai mengadakan pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun berpindah dari Gang Kernolong 4 yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX No.18, Jakarta Pusat. Tri mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh dari tempatnya beraktivitas. Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan menawari Njoto untuk tinggal bersamanya.
“Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.
Tri punya kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951 kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula ketika segerombolan orang tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu kantor polisi di Tanjung Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari sebelum kejadian, Tri mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah.
“Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia.
“Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum. 
Aidit juga lepas dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di bilangan Tanjung Priok untuk beberapa waktu lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu Aidit melarikan diri ke luar negeri. Razia tersebut menjadi salah satu rintangan berat yang dihadapi oleh mereka di saat merintis kembali kekuatan partai yang sempat terserak.

Dalam kolomnya di Majalah TEMPO edisi khusus Aidit, 1 Oktober 2007, sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit beserta Njoto dan MH Lukman mengambilalih kepemimpinan partai.
“Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU. 
Tri masih tetap aktif mengelola penerbitan dan sukarela berkegiatan di partai yang telah memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya 81. Tapi dia tak pernah sengaja mendaftar jadi anggota PKI. 
“Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul. Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
“Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya. 
Pada 1962 Tri berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Waseda, salah satu universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun itu juga dia berangkat ke Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya yang tetap tinggal di Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S 1965 meletus. Ribuan pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri, Njoto, pun hilang tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai studi pada 1967, Tri memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak padanya.

Salah seorang kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI Digul, telah pulang ke Indonesia. Polisi pun segera menangkapnya. Setelah penangkapan itu siksaan demi siksaan diterimanya. 
Tri dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dengan lecutan ikan pari dan bogem mentah sampai babak belur. 
Tak hanya itu, interogator yang terdiri dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD dan seorang interogator sipil menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri. Siksaan itu masih harus ditambah lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung jempol kakinya.

Setiap kali dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia mengakuinya.
“Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,”  tutur Tri mengisahkan penyiksaannya.
Jawaban itu ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri tak sadarkan diri.
Belakangan, saat Tri berada di pulau Buru, tahu kalau interogator sipil itu adalah tokoh organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan PKI.
“Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya
Pada 1971 Tri ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di Unit 14. 
“Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.
Tri dibebaskan pada 20 Desember 1977.  Setibanya di Jakarta dia mendapatkan kabar kalau istrinya telah menikah lagi dan memperoleh seorang anak dari perkawinan itu. 
“Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya. 
Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih tinggal di rumah salah satu kerabatnya.

Dia tak ingin menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah, Tri keliling Menteng, menjajakan keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu hari di jalan Pekalongan seorang perempuan memanggilnya dan meminta Tri mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya rumah datang ke rumah dan turun dari mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang baru diasah dan bergumam dalam bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil asahan Tri.
“Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.
Pertemuan itu pun membawa kemujuran buat Tri. Dia diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang ternyata bekerja untuk stasiun televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan sebagai penerjemah dan kemudian dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter NHK.
Lepas dari NHK, Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus bahasa Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya yang sempat bersuamikan orang lain.   

Kini Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku manusia dalam sejarah membuat Tri Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun yang menyebabkan hidupnya menderita. 
“Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.
Sumber: Historia