HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 September 2019

Mencari suara yang dibungkam


  • Wawancara dengan Francisca C. Fanggidaej


Francisca C. Fanggidaej
Foto dari koleksi pribadi

Lahir di pulau Timor pada tahun 1925. Ia adalah seorang wartawan, turut mendirikan Yayasan Studi Asia di Amsterdam dan menjadi salahsatu pengurusnya.

Fanggidaej adalah anak seorang pegawai tinggi yang bekerja untuk Belanda di jaman kolonial dan yang dirumah hanya boleh berbicara dalam bahasa Belanda.

Setelah Perang Dunia II, ia aktif dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Pada tahun 1949 ia menjadi ketua organisasi pemuda yang bernama Pemuda Rakyat. Tak lama sesudah itu, ia memulai karirnya sebagai wartawan yang memungkinkannya untuk melakukan perjalanan ke seluruh dunia.

Pada tahun 1957 ia ambil bagian dalam Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mewakili golongan karya (bukan partai politik). Dengan fungsi ini Francisca Fanggidaej dikirim ke Chili pada tahun 1965 untuk menghadiri kongres organisasi wartawan internasional.

Dalam perjalanan ini, di Indonesia telah terjadi kudeta sehingga Francisca tak mungkin kembali ke tanah-airnya. Sebagai seorang eksil mula-mula ia berdiam di Cina selama duapuluh tahun. Sejak tahun 1985 ia tinggal dan bekerja di Negeri Belanda.

Dengarlah beberapa fragmen dari wawancara ini:
Bagian 1 - tentang Pesindo, 25 sec. (mp3, 403 Kb)
Bagian 2 - tentang perubahan dalam Pesindo, 51 sec. (mp3, 804 Kb)
Bagian 3 - tentang World Youth Festival II, 1951, 52 sec. (mp3, 825 Kb)

Ahmad Jadau: Komandan TLRI dalam Pusaran Peristiwa Madiun 1948


Oleh: Petrik Matanasi - 30 September 2019

Jenderal Soedirman. FOTO/ wikipedia

Kisah Ahmad Jadau, mantan komandan TLRI Divisi Panembahan Senopati yang terlibat Peristiwa Madiun 1948.

Pada 2 Juli 1948, Divisi Panembahan Senopati kehilangan komandannya, Letnan Kolonel Soetarto.

Komandan Brigade VIII divisi tersebut, yakni Letnan Kolonel Soejoto, lalu mengirim beberapa perwira—yang salah satunya Mayor Esmara Sugeng—untuk mencari komandannya. Namun, berdasarkan penelitian Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 110), Esmara Sugeng terbunuh oleh anggota Divisi Siliwangi atas tuduhan menculik istri prajurit Siliwangi, sementara perwira lainnya hilang.

Kejadian itu membuat Mayor Soetarno komandan batalyon dari Brigade TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) yang berada di bawah Divisi Panembahan Senopati mendatangi markas Siliwangi di Srambatan, Solo.

Dikawal oleh anggotanya dalam satu truk, Mayor Soetarno hendak meminta penjelasan. Namun, begitu ia dan pasukannya turun dari kendaraan, mereka diberondong tembakan. Ia dan beberapa anggotanya tewas.
Peristiwa tersebut membuat Letnan Kolonel Jadau, salah satu komandan Brigade TLRI di Divisi Penembahan Senopati, marah dan bersumpah akan mengusir Divisi Siliwangi dari Solo.

Sebagai catatan, karena saat itu armada perang laut ALRI terbatas, maka serdadu angkatan laut ikut bergerilya bersama angkatan darat di pergunungan. Mereka kemudian dijuluki sebagai ALRI Gunung. Selain itu, banyaknya pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville, membuat wilayah tersebut memanas dan kerap diwarnai kontak senjata antara Divisi Siliwangi dengan Divisi Panembahan Senopati.

Menurut Poeze, peristiwa "perang saudara" itu membuat Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman memanggil Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima Komando Jawa, dan Letnan Kolonel Abimanju selaku komandan Brigade dalam Divisi Siliwangi.

Soedirman memerintahkan kepada mereka berdua agar Divisi Siliwangi angkat kaki dari Solo. Namun, pasukan dari Jawa Barat itu bergeming. Panglima Besar kemudian menemui komandan Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Sadikin. Hasilnya sama, Siliwangi menolak angkat kaki, dan susana pun kian memanas.
“Ketika di Solo dalam keresahan Slamet Rijadi, Soeadi dan Jadau sudah pergi ke Madiun untuk minta bantuan Soemarsono,” tulis Poeze.
Soemarsono yang bekas pemimpin laskar dan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) memang punya sisa kekuatan untuk membantu mereka. Namun, imbuh Poeze, “Soemarsono mendapat perintah keras dari pimpinan PKI untuk melokalisasi konflik. Madiun harus tetap netral.”

Puncak perseteruan antara Divisi Siliwangi dengan Divisi Panembahan Senopati terjadi di pekan-pekan awal setelah terjadi Peristiwa Madiun 1948. Jadau dan sejumlah tentara dari divisi yang bermarkas di Jawa Tengah itu memang condong ke barisan orang-orang Kiri sehingga digempur oleh Siliwangi. Jadau berperang di sekitar Gunung Lawu.

Siliwangi berhasil melumat PKI dan orang-orang Kiri lainnya di Madiun serta sejumlah tokoh pentingnya seperti Musso dan Amir Sjarifuddin.

Setelah peristiwa itu, Jadau kabur dan dipecat dari TNI. Anak buahnya diajak Gubernur Militer di Solo, Kolonel Gatot Subroto untuk meninggalkannya. Orde Baru menyebut Jadau dan tentara dari TLRi yang terlibat Peristiwa Madiun sebagai “bekas dari tentara laut jang dibubarkan, karena tak ada gunanja”. Mereka juga disebut sebagai elemen pengacau di Divisi Penembahan Senopati.




Serdadu Kesayangan Bung Tomo dan Musso

Kiprah Jadau di dunia militer jauh sebelum ia bertempur melawan pasukan Divisi Siliwangi. Ia pernah berperang melawan Inggris dan Jepang di beberapa front sekitar Semarang.

Sebagai seorang petempur, Jadau pernah terluka dalam akibat terkena ledakan mortir hingga muntah darah. Namun setelah dirawat di rumah sakit di Salatiga ia maju lagi ke front pertempuran.

Di Semarang, ia pernah menjadi anggota Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo alias Sutomo. Di laskar tersebut, ia menjadi bawahan Mardjoeki, seorang bekas supir dan tukang catut yang dulunya buta huruf.

Ketika laskar ditentarakan, Bung Tomo selaku Jenderal Mayor mengusulkan Jadau dijadikan letnan kolonel dan Mardjoeki jadi kolonel. Karena Semarang adalah kawasan dekat pelabuhan, maka banyak anggota laskar yang bergabung dengan tentara itu masuk masuk ALRI, termasuk Jadau.

Setelah Agresi Militer pertama para Juli 1947, pasukan Mardjoeki dan Jadau berada di Solo. Pada saat itu, seperti dilaporkan Sin Po, Mardjoeki menajdi garong yang menyusahkan rakyat sehingga disikat oleh TNI, ia ditangkap dan dibunuh. Sementara Jadau menjadi pimpinan tertinggi komandan Brigade TLRI yang dimasukkan ke Divisi Penembahan Senopati.
“Bung Tomo (pimpinan BPRI 10 November 1945) dulunya amat sayang kepadanya, dan sekarang Musso yang sayang padanya,” tulis Sin Po saat terjadi Peristiwa Madiun 1948.


Si Pemilik Suara Tarzan

Jadau adalah anak seorang Digulis bernama Raden Markam Markoto yang masih kerabat Keraton Mangkunegara. Pada masa pendudukan Jepang, ia aktif di dunia kesenian, khususnya di dunia tarik suara. 
Ia Dia tahu teknik jadolen (menurunkan dan menaikan suara) seperti tengah menirukan suara Tarzan.

Menurut koran Sin Po (30/10/1948), ia seorang yang menggemari musik, pandai memetik gitar, dan suaranya merdu.
“Di zaman Jepang, Jadau seringkali memperdengarkan suaranya yang istimewa ini di atas panggung,” tulis Sin Po.
Nama asli Jadau adalah Ahmad. Karena pandai jadolen, ia pun dikenal sebagai Ahmad Jadolen dan orang-orang Jepang menyebutnya Ahmad Jadao.

Usai masa Revolusi, Jadau sempat terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota Konstituante wakil dari PKI. setelah itu, ia akhirnya kembali ke dunia seni seperti yang dilakukannya pada zaman pendudukan Jepang. Namun, kali ini ia tak lagi bernyanyi, melainkan menjadi sutradara film.

Film-film yang digarapnya, seperti dicatat JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005), antara lain: Badai Selatan (1961) dan Malam Tak Berembun (1963). Di masa-masa itu, ia tak lagi memakai nama Jadau, tapi Ahmad Wiro Sardjono alias AW Sardjono dan pernah menjadi bos CV Ibukota.

Pasca 1965, rumahnya di Jalan Oto Iskandar Di Nata dirampas tentara dan ia menjadi tahanan politik. Setelah dibebaskan, ia pernah sebentar jadi pemegang saham di PT Mondial Motion Pictures sebelum akhirnya mundur karena banyak tekanan.

Kemampuan Jadau tak hanya bertempur, bernyanyi, dan membuat film, ia juga mampu menulis esai kebudayaan yang dibukukan dalam Ismaya Tiwikrama (1965) dan Wayang Purwa (1977).


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

"Bung Tomo dulunya amat sayang kepadanya, dan sekarang Musso yang sayang padanya."
                                

Nestapa Eks Tapol PKI di Lokasi Penampungan Tanah Merah Gowa


Eka Hakim - 30 Sep 2019, 21:00 WIB

Ribut Sugiyo tinggal tanah merah, Dusun Moncongloe, Kabupaten Gowa yang dikenal sebagai kawasan penampungan para tapol PKI. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Gowa - Ribut Sugiyo, seorang eks tahanan politik (tapol) terkait PKI yang hingga saat ini masih memilih tinggal di daerah Tanah Merah, Dusun Moncongloe, Desa Paccelekang, Kecamatan Patallasang, Kabupaten Gowa yang dikenal sebagai kawasan penampungan para tapol terkait G30S/PKI.

Pada usianya yang menapaki 75 tahun, kakek asal Kota Madiun, Jawa Timur (Jatim) itu, mengisi hari-harinya bermain bersama cucu karena kondisi tubuhnya kini tak lagi mendukung untuk bekerja sebagai petani.
"Yah di usia sudah tua begini, enggak mungkin kuat lagi bertani. Tiap hari paling menemani cucu bermain," kata Ribut saat ditemui di rumahnya di kawasan Tanah Merah, penampungan para tapol terkait PKI, Minggu, 29 September 2019.
Masa kelam yang mewarnai kehidupannya dulu, telah ia lupakan dan kubur dalam-dalam. Ia mengaku ikhlas dengan apa yang menimpanya dan hanya ingin fokus beribadah untuk bekal di kehidupan akhirat kelak.
"Hingga saat ini saya tak tahu apa yang dituduhkan kepada saya. Semuanya tak pernah saya lakukan. Biarlah Tuhan yang membalasnya. Saya sudah ikhlaskan semuanya," tutur Ribut.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya berada di kawasan penampungan para tapol terkait PKI ini, sejak tahun 1978. Sebelumnya, ia menjalani hidup dalam sel tahanan Poltabes Makassar yang kemudian berlanjut dipindahkan ke sel Rumah Tahanan Militer (RTM). Semuanya, kata dia, terhitung 10 tahun lamanya.
"Tahun 1964, itu saya masih status anggota kepolisian pangkat kopral yang bertugas di Satuan Perintis Poltabes Makassar. Saya dituduh berafiliasi dengan PKI karena hanya akrab dengan seseorang teman yang katanya dia anggota PKI. Di situlah awal masa suram itu," ungkap Ribut.
Ia mengatakan saat itu dirinya bersama tiga orang rekannya sedang beristirahat di Asrama Polisi (Aspol) yang berlokasi di kawasan Pelabuhan Makassar usai menunaikan tugasnya di kantor.

Tiba-tiba datang beberapa orang yang mengaku dari CPM dan langsung memboyongnya naik ke atas mobil dan menjebloskannya ke sel tahanan Poltabes Makassar kemudian berlanjut memindahkan dirinya ke sel RTM yang berlokasi di Jalan Rajawali Makassar.
"Saya dipaksa mengaku apa yang mereka tuduhkan. Padahal, sama sekali saya memang tak tahu apa-apa soal itu, makanya saya tak pernah tanda tangan hasil BAP yang dimaksud. Jadi saya ini tak pernah melewati persidangan dan langsung dijebloskan ke penjara dan dibuang ke sini," terang Ribut.
Tanah merah, Dusun Moncongloe, Kabupaten Gowa yang dikenal sebagai kawasan penampungan para tapol PKI. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Selama di penampungan, Ribut mengaku hidup bersama dengan para tapol terkait PKI lainnya. Ia bertahan hidup dengan berkebun menanam ubi kayu di atas lahan Tanah Merah yang sangat gersang.

Fasilitas berupa satu unit traktor dan satu unit mobil truk transportasi yang disediakan Kodam untuk dimanfaatkan oleh para tapol terkait PKI di penampungan, awalnya sangat membantu. Namun belakangan, semuanya hilang secara misterius.
"Jadi selain kami diberi lahan 1 hektare dan gubuk tinggal, dulu juga ada traktor untuk menggarap dan truk transpor untuk digunakan ketika ingin mengambil uang ke Kodam yang berada di Kota Makassar. Tapi semuanya tidak tahu itu ke mana lagi. Hilang," kata Ribut.
Ia menceritakan perjuangan para tapol terkait PKI untuk bertahan hidup di penampungan Tanah Merah dulu sangat berat. Selain lokasi yang berada di tengah hutan, juga berada dalam bayang-bayang intimidasi kala itu.
"Kawasan ini dulu ramai perampok karena masih hutan. Tapi sekarang sudah banyak perubahan. Di depan dan belakang area penampungan sudah jadi perumahan. Ada beberapa warga penampungan sudah meninggal dunia dan mereka jual lahannya," ucap Ribut.

Dari Hidup Susah hingga Ketemu Jodoh

Tanah merah, Dusun Moncongloe, Kabupaten Gowa yang dikenal sebagai kawasan penampungan para tapol PKI. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Hari-hari kelam yang dijalani Ribut di daerah penampungan, perlahan berubah sejak kepemimpinan negara beralih dari tangan Soeharto.

Ribut bersama para tapol terkait PKI lainnya yang tinggal di penampungan kala itu, sudah dapat leluasa keluar menghirup suasana baru di luar penampungan. Sesekali ia ke Kota Makassar menemui kawan-kawan lamanya saat masih bertugas di kepolisian dulu.
"Saya juga ke Makassar biasanya ke Tempat Hiburan Rakyat (THR) yang saat itu kalau enggak salah berada di Jalan Kerung-Kerung. Di situlah saya juga ketemu ibu (istri)," ujar Ribut.
Ia mengaku butuh perjuangan berat untuk dapat meminang pujaan hatinya yang saat ini sekarang sudah berstatus sebagai istrinya, Ngadira (55).

Beratnya, kata dia, keluarga Ngadira yang berada di Kampung Wonomulyo, Kabupaten Polman yang saat itu masih bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) tak dapat menerimanya karena statusnya sebagai eks tapol terkait PKI.

Namun, karena rasa cinta yang begitu mendalam terhadap pujaan hatinya itu, Ribut terus berupaya menghadapi segala rintangan yang ada.
"Semuanya tak luput dari campur tangan Tuhan. Namanya jodoh yah tak mungkin lari ke mana. Saya akhirnya nikah sama ibu dan tinggal bersama di penampungan dan kami dikarunia 4 orang anak," ungkap Ribut.
Sejak hidup bersama keluarga kecilnya di daerah penampungan, Ribut semakin giat bercocok tanam dengan peralatan seadanya. Istrinya pun turut berperan membantu menopang perekonomian keluarga dengan berjualan nasi dan gado-gado di sekolahan dan markas TNI Zipur yang jaraknya tak jauh dari lokasi penampungan.
"Sekarang saya sudah gak beraktivitas seperti dulu lagi. Usia sudah tua. Ibu saja yang bantu dengan jualan nasi. Anak-anak juga sudah ada yang berkeluarga dan seorang lagi menempuh pendidikan di Negara Taiwan," Ribut menandaskan.
Ia mengaku cukup bersyukur atas karunia Tuhan, masa kelam yang mewarnai kehidupannya dulu berangsur hilang dan ia hanya ingin fokus menikmati usia tuanya dengan memperbanyak ibadah saja.
"Saya berharap generasi muda belajar dengan baik dan bangun negeri ini dengan jujur dan damai sehingga semuanya bisa sejahtera," harap Ribut.

Para Tapol dan Anjingnya


Oleh: Andri Setiawan

Kecintaan para tapol Pulau Buru pada anjing peliharaan mereka memicu "perang".

Tapol di Pulau Buru. (visualdocumentationproject.wordpress.com).
“Leo ini besok kita sembelih,” kata seorang tahanan politik (tapol) Pulau Buru kepada kawan-kawannya.
“Oh jangan! Leo ini kalau masuk hutan, di depan ada ular dia cepet. Jangan, jangan Leo!” sergah majikan Leo.
“Hercules kita potong,” usul yang lainnya.
“Jangan Hercules!” seru majikan Hercules.
Keributan pun terjadi. Setiap sebuah nama diajukan, selalu ada yang menolaknya. Leo, Hercules, dan nama-nama itu adalah nama anjing peliharaan para tapol Pulau Buru. Anjing mana yang akan disembelih besok, bisa menjadi topik perdebatan yang panas.
“Jadi setiap kita mau potong anjing, perang!” kata Lukas Tumiso, seorang bekas tapol Pulau Buru yang kini tinggal di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat.
Lukas Tumiso ditahan di Pulau Buru sejak Agustus 1969 hingga Desember 1979. Laki-laki berusia 79 tahun ini masih bisa bercerita panjang lebar tentang kondisi Pulau Buru saat ia ditahan, tentang kisahnya menyelamatkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, hingga yang tak kalah menarik, tentang bagaimana para tahanan mendapat asupan daging.

Salah satu sumber daging di kamp adalah dari anjing-anjing yang dipelihara di sana. Sayangnya, setiap anjing tentu saja punya cerita tersendiri bagi pemiliknya.

Ada anjing yang ditemukan dalam keadaan pincang dan dirawat hingga sehat. Ada anjing diberi makan seperti anak sendiri, bahkan mendapat makanan lebih enak dari pemiliknya. Sehingga untuk menyembelih satu ekor anjing saja, mereka harus "perang".
“Akhirnya kita buat arisan. Semua harus setuju arisan. Siapa yang enggak setuju? Kalau enggak, perang!” ujar Tumiso.
Menurut Tumiso, kecintaan mereka terhadap anjing-anjing peliharaannya memang luar biasa. Urusan makanan misalnya, pemilik anjing seringkali mendahulukan anjingnya. Ketika mendapat ikan yang kecil-kecil, para tapol biasanya masih mencari-cari daging ikannya barang cuma secuil. Sedangkan mereka yang punya anjing langsung memberikannya kepada anjing peliharaannya. Bahkan beberapa pemilik mengunyahkan makanan untuk anjingnya agar si anjing menurut.
“Nurutnya setengah mati, pinter, gemuk. Dia lebih cinta anjingnya, dia makan kuahnya aja. Daun singkong yang dihabisin, ikannya buat anjing,” ujar Tumiso.
Sumber daging biasa didapat pula setiap peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Setiap tapol mendapat jatah daging dan bisa memilih daging yang mereka inginkan. Sapi, kambing, atau anjing.

Satu ekor sapi, jelas Tumiso, cukup untuk 32 orang, satu orang biasanya mendapat satu rantang daging. Untuk satu ekor kambing, cukup untuk 12 hingga 16 orang, sama halnya dengan anjing.

Tumiso seringkali memilih antrean paling sedikit agar mendapat daging lebih banyak. Sementara itu, barangkali karena banyak tapol yang menyayangi anjing, antrean daging anjing biasanya paling pendek.
“Kambing ada 17, ah pindah sapi. Sapi, sapi berapa? Anjing? Anjing hanya 11 orang,” kata Tumiso, maka ia pun sering memilih antrean daging anjing.

Kecil di Digul Muda di Buru


Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun penahanan di Pulau Buru.  

Oleh: Bonnie Triyana



RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam.

Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya.
“Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.
Lelaki itu adalah Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah menghalanginya untuk beraktivitas. Tri melek teknologi. Dia tak gagap menggunakan komputer dan akrab dengan internet. Sampai hari ini dia aktif sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi pengalaman hidupnya di berbagai mailing list. Semangatnya tak pernah pudar.
“Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.
Senyumnya selalu mengembang saat bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Boven Digul, Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27 Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah Merah, Digul.

Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.

Kamp Boven Digul dibangun oleh pemerintah kolonial pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI yang terlibat pemberontakan 1926. Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial memindahkan 1.308 lebih mereka yang terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang ditahan di sana antara lain Ali Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, tokoh PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten.

Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan sebagai tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan Sjahrir.
Menurut Bung Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980) waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua.
“Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta.
Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih untuk tak bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena menerima jatah makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam bentuk 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limun minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig” yang bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.

Sementara golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang sejak datang kali pertama ke Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan penguasa setempat. Bahkan mereka menolak untuk membersihkan pekarangan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka tak mau membangun rumah atau pun kampung sendiri dan memilih untuk tinggal di satu barak yang telah disediakan. 
“Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken” – menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi, kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.
Tri dan orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan masuk ke dalam golongan naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan memutuskan untuk jadi “daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan Bung hatta, upah yang diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per hari.

Tri kecil dan kawan sebayanya sering bermain mengunjungi rumah Bung Hatta untuk belajar bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir dan kerapkali mendapatkan cokelat darinya.
“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri.  
Hatta dan Sjahrir tak lama berada di Digul.
Mereka datang pada Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda Neira pada November 1935.

Para tahanan politik Digul selalu merayakan peringatan pemberontakan PKI setiap 12 November. Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan kawan sebayanya saat itu menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Dua Belas November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”.
“Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati  itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana.
Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yang menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”
Lukman yang dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh PKI dan dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman. Seperti Tri, Lukman pun turut ke Digul beserta kedua orang tuanya.

Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam perlawanan terhadap Belanda di tahun 1926. Setelah insiden perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah Tinggi, daerah pembuangan buat golongan “die hard”.

Sedangkan BS yang dimaksud Tri kemungkinan besar adalah Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang Sjahrir Bung Hatta menyebutnya Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia menulisnya dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan dianggap telah tunduk pada pemerintah.

Ketika Jepang datang, Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan. Sebagian tahanan politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat di mana pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya.

Pada 1942 Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang, Tri bersaudara diboyong terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya.
“Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.
Pada 1944 Tri ikut pelatihan militer dan lulus sebagai perwira yang bertugas di Kalimantan Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri melarikan diri bersama puluhan anak buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian kalah perang. Indonesia merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.

Tri kemudian bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank. Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji dan tunjangan yang mencukupi hidupnya.

“Kemapanan” itu hanya berlangsung beberapa saat saja, sampai kemudian, pada suatu hari di bulan Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang pernah tinggal bersama di Tanah Merah beberapa tahun sebelumnya. Sembari bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih hidup sebagai pegawai bank.
“Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu.
“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan.
Setelah pertemuan itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia memilih untuk bergabung dengan tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI .

Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di pavilyun kontrakan milik Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari bilik kontrakan itu pula Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan partai yang sempat luluh lantak setelah peristiwa Madiun 1948.
Tri yang alumnus Universitas Waseda, Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai redaksi saya kerjakan semua.”
Pada masa-masa awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya mengelola penerbitan berkala. Untuk mencetak perlu izin dari kementrian penerangan berupa Surat Izin Pembelian Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar untuk mencetak secara resmi.
“Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri.
Budiardjo adalah suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965 meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak azasi manusia.

Seiring waktu kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto dan Lukman mulai mengadakan pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun berpindah dari Gang Kernolong 4 yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX No. 18, Jakarta Pusat. Tri mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh dari tempatnya beraktivitas. Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan menawari Njoto untuk tinggal bersamanya.
“Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.
Tri punya kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951 kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula ketika segerombolan orang tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu kantor polisi di Tanjung Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari sebelum kejadian, Tri mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah.
“Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia.
“Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum.
Aidit juga lepas dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di bilangan Tanjung Priok untuk beberapa waktu lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu Aidit melarikan diri ke luar negeri. Razia tersebut menjadi salah satu rintangan berat yang dihadapi oleh mereka di saat merintis kembali kekuatan partai yang sempat terserak.

Dalam kolomnya di Majalah TEMPO edisi khusus Aidit, 1 Oktober 2007, sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit beserta Njoto dan MH Lukman mengambilalih kepemimpinan partai.
“Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah.
Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU.
Tri masih tetap aktif mengelola penerbitan dan sukarela berkegiatan di partai yang telah memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya 81. Tapi dia tak pernah sengaja mendaftar jadi anggota PKI.
“Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul.
Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
“Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya.
Pada 1962 Tri berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Waseda, salah satu universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun itu juga dia berangkat ke Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya yang tetap tinggal di Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S 1965 meletus. Ribuan pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri, Njoto, pun hilang tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai studi pada 1967, Tri memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak padanya.

Salah seorang kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI Digul, telah pulang ke Indonesia. Polisi pun segera menangkapnya. Setelah penangkapan itu siksaan demi siksaan diterimanya. Tri dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dengan lecutan ikan pari dan bogem mentah sampai babak belur. Tak hanya itu, interogator yang terdiri dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD dan seorang interogator sipil menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri. Siksaan itu masih harus ditambah lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung jempol kakinya.

Setiap kali dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia mengakuinya.
“Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,”  tutur Tri mengisahkan penyiksaannya. Jawaban itu ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri tak sadarkan diri.
Belakangan, saat Tri berada di pulau Buru, tahu kalau interogator sipil itu adalah tokoh organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan PKI.
“Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya
Pada 1971 Tri ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di Unit 14.
“Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.
Tri dibebaskan pada 20 Desember 1977.  Setibanya di Jakarta dia mendapatkan kabar kalau istrinya telah menikah lagi dan memperoleh seorang anak dari perkawinan itu.
“Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya. Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih tinggal di rumah salah satu kerabatnya.
Dia tak ingin menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah, Tri keliling Menteng, menjajakan keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu hari di jalan Pekalongan seorang perempuan memanggilnya dan meminta Tri mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya rumah datang ke rumah dan turun dari mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang baru diasah dan bergumam dalam bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil asahan Tri.
“Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.
Pertemuan itu pun membawa kemujuran buat Tri. Dia diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang ternyata bekerja untuk stasiun televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan sebagai penerjemah dan kemudian dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter NHK. Lepas dari NHK, Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus bahasa Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya yang sempat bersuamikan orang lain.
  
Kini Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku manusia dalam sejarah membuat Tri Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun yang menyebabkan hidupnya menderita.
“Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.

Ingin Kembali ke Pulau Buru


40 tahun berlalu. Lukas Tumiso, bekas tahanan politik itu, ingin kembali ke Pulau Buru.

Oleh: Andri Setiawan

Lukas Tumiso. (Youtube Falcon).

Lukas Tumiso telah meninggalkan kamp tahanan Pulau Buru 40 tahun yang lalu. Sejak sebuah kapal membawanya menjauh dari dermaga Pelabuhan Namlea pada Desember 1979, ia merasa kembali menjadi manusia bebas.

Tumiso ditangkap pasca peristiwa 1965 karena bergabung dalam Resimen Mahasurya yang dianggap pro-Sukarno. Dengan kapal ADRI 10, ia diangkut ke Pulau Buru pada April 1969. Selama sepuluh tahun, ia hidup di pengasingan hingga dibebaskan pada 1979.

Sejak 2004, Tumiso menjalani hidup di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Di Panti yang dari tahun ke tahun mulai sepi penghuni itu, Tumiso seringkali teringat kawan-kawannya di Pulau Buru. Hingga pada 2016, ia kembali menginjakkan kaki ke Pulau Buru.

Pada kunjungan pertama, ia menyempatkan diri mencari makam teman-temannya. Ia merasa miris karena makam teman-temannya ditemukan dalam kondisi tidak terawat. Bahkan beberapa sempat tidak ditemukan.
“Makam teman-teman saya itu terletak di tengah-tengah hutan jati, di tengah-tengah padang rumput,” terang lelaki berusia 79 tahun itu.
Dari kunjungan pertama itu, Tumiso berkeinginan untuk memperbaiki pusara kawan-kawan. Baginya, itu salah satu hal berguna yang bisa ia lakukan di sisa hidupnya.

Tumiso pun berangkat ke Pulau Buru untuk kedua kalinya. Kali ini, Tumiso sangat terkejut karena mendapati makam teman-temannya telah berubah menjadi kubangan celeng (babi hutan). Hal ini membuat Tumiso berbulat tekad untuk mengeksekusi rencananya.

Ia pun mengumpulkan teman-temannya di Jakarta dan meminta bantuan dana. Dana terkumpul sekitar 30 juta dan ia pun berangkat ke Pulau Buru untuk ketiga kalinya. Di Buru, ia bertemu dengan beberapa transmigran untuk meminta izin memperbaiki makam.
“Pak ini kuburan mau saya perbaiki, pendapat bapak bagaimana?” tanya Tumiso kepada Kabul, seorang transmigran Buru.
“Lho jangan tanya saya, tanya sama penghuni,” jawab Kabul.
“Penghuninya siapa?” tanya Tumiso lagi.
“Tanya saja yang di dalam kubur. Coba sampean tanya besok dia sudah njawab,” ujar Kabul.
Tumiso pun mengikuti usulan Kabul. Keesokan harinya, Kabul berkabar, “wonge klecang-kleceng, ngguya ngguyu, seneng (orangnya senyum-senyum, tertawa-tertawa, senang). Eksekusi!”

Tumiso pun langsung bergegas memperbaiki makam-makam itu. Pertama-tama, ia membuat saluran air supaya air yang menggenangi areal makam bisa surut.
“Besok sudah ada informasi dari kubur, penghuni lepas baju kipas-kipas ngguya-ngguyu. Jadi bajunya dilepas dia tertawa-tawa,” kata Tumiso.
Selama sepuluh hari memperbaiki pemakaman, “informasi” dari dalam kubur itu keluar. Tumiso tidak mempermasalahkan benar tidaknya informasi itu. Baginya, hal itu adalah tanda bahwa apa yang dilakukannya itu memiliki arti.
“Tapi apa yang dia ceritakan, satu persatu persona yang ada di sana itu adalah temen-temen saya yang satu, disruduk sapi, mati kena tanduk sapi, ada yang tenggelam, ada yang minum racun, itu muncul semua,” jelasnya.
Pasca perbaikan makam teman-temannya  itu, Tumiso berpikir untuk memperbaiki makam dari unit lain.
“Kalau hanya teman saya yang saya perbaiki makamnya betapa jeleknya nama saya,” kata laki-laki yang dulu menghuni unit 3 bersama Pramoedya Ananta Toer itu.
Kali ini, untuk menjalankan keinginannya, Tumiso berharap bisa sekaligus tinggal di Pulau Buru.
“Akan lebih baik kan kalau kuburan teman-teman saya perbaiki semua dengan catatan saya tinggal di sana. Secara fisik saya masih mampu,” ujarnya.
Menurut Tumiso, terdapat 23 titik lokasi pemakaman tapol di Pulau Buru. Beberapa lokasi yang dekat dengan penduduk transmigran masih terawat, sedangkan pemakaman yang berada jauh di padang rumput dan hutan kondisinya sangat memprihatinkan.

Kini, ia tengah mempersiapkan proposal pembiayaan beternak sapi di Pulau Buru yang hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki makam dan hidup sehari-hari di sana.

Di Panti Jompo yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid itu, ia bersemangat menjelaskan tentang jenis sapi apa yang akan ia ternak, tentang menanam rumput untuk pakan di tebing sungai sekaligus untuk mencegah erosi, serta tentang memanfaatkan jerami yang melimpah pasca panen. Bahkan ia sudah menghitung kebutuhan asupan garam sapi-sapinya nanti.

Tumiso lalu juga bercerita tentang menanam cabai, tomat, terong, mentimun hingga soal mengolah pohon-pohon kelapa yang sudah tua.
“Ambisius ya?” ujarnya tak butuh jawaban. Lukas Tumiso benar-benar ingin kembali ke Pulau Buru.

Palu Arit Selalu Bikin Sengit


Oleh Hendri F. Isnaeni

Palu arit melambangkan kaum pekerja industri dan petani. Ia terlarang di masa kolonial dan Orde Baru, bahkan hingga kini.

Pertemuan PKI cabang Batavia (Jakarta), 1925. Foto: public domain/en.wikipedia.org.

PUTERI Indonesia 2015, Anindiya Kusuma Putri, bikin heboh di media sosial. Penyebabnya, fotonya yang menampilkan dirinya mengenakan kaos merah bergambar palu arit, yang didapatnya dari rekan asal Vietnam dalam pertukaran pelajar semasa kuliah.

Palu arit dan bintang merah adalah lambang negara Vietnam. Sebaliknya, palu arit sebagai lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) terlarang di Indonesia. Palu arit sebagai lambang komunisme muncul ketika Revolusi Rusia pada 1917. Palu melambangkan pekerja industri dan arit mewakili para petani.

Paham marxisme-komunisme dibawa Henk Sneevliet ke Hindia Belanda pada 1913. Dia mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) yang kemudian berubah menjadi PKI pada 23 Mei 1920. PKI melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada 1926, namun gagal. Karena itu, pemerintah kolonial melarang PKI terhitung 3 Mei 1926.

Menurut Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia, PKI secara efektif menjadi gerakan bawah tanah, keanggotaannya terlarang bagi pegawai negeri, dan mereka tidak dapat menggelar pertemuan dan tidak dapat menyatakan diri secara terbuka.
“Bahkan sarung dengan motif palu arit dilarang oleh hukum yang baru,” tulis McVey. Seorang anggota partai telah membuat desain batik palu arit pada pertemuan PKI Desember 1920 di markas Sarekat Islam Semarang.
Menariknya, lanjut McVey, pakaian batik dengan motif palu arit atau bintang dan bulan sabit (emblem Sarekat Rakyat, perubahan dari Sarekat Islam Merah), yang dibuat industri batik di Surakarta, disukai kalangan pendukung Mua′alimin (kelompok komunis dari kalangan Islam). Sarung serupa juga menarik minat orang-orang di pesisir barat Sumatra. Padahal, “Terlarang untuk menjual ataupun memakai sarung dan batik ini,” tulis McVey.

PKI baru muncul dan menjadi partai resmi setelah Indonesia merdeka dengan keluarnya Maklumat X oleh Muhammad Hatta pada Oktober 1945 tentang pendirian partai-partai politik. PKI keluar sebagai salah satu partai besar setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama, berdasarkan hasil pemilu pertama 1955. Hingga akhirnya PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang pasca-Peristiwa 30 September 1965.

Pasal 2 Tap MPRS No. XXV/1966 menyebutkan bahwa “setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.” Namun, ketetapan tersebut mengizinkan “kegiatan mempelajari secara ilmiah komunisme/marxisme-leninisme seperti pada universitas-universitas...”

Ternyata, aparat pernah mengizinkan penggunaan lambang palu arit untuk keperluan film Soe Hok Gie (2005). Badan sensor, yang memeriksa film tersebut selama 3-4 hari, juga meloloskan adegan yang menampilkan PKI dengan lambangnya, bendera palu arit.

Menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal, pembuat film tentang Soe Hok Gie harus meminta izin polisi untuk menggunakan bendera palu arit sebagai perlengkapan dan menyerahkan bendera-bendera itu kepada polisi untuk segera dibakar sesudah pembuatan film selesai.

Yang Terpisah Karena 1965


Oleh Nur Janti



Setelah penangkapan besar-besaran di Yogyakarta, anak-anak Mia Bustam terpaksa hidup berpencar.

Sri Nasti Rukmawati di kediamannya. (Fernando Randy/Historia).

SRI Nasti Rukmawati (72) tak pernah lupa hari-hari setelah Peristiwa 1965. Baginya, hari-hari itu merupakan hari melelahkan, mengerikan, dan menakutkan. Yang lebih penting, hari-hari itu membalikkan nasibnya, nasib orangtuanya, nasib adik-adiknya, dan entah nasib berapa ratus ribu orang lain yang dicap kiri
“Kami hidup sudah seperti pelarian. Menumpang di rumah kerabat-kerabat,” kata Nasti.

Kala Nestapa Tiba  

Yogyakarta, 20 Oktober 1965. Tedja Bayu pamit pada ibunya, Mia Bustam, untuk tugas jaga di Gedung Chung Hwa Tsung Hui (CHTH). Baru beberapa langkah diayunkan Tedja Bayu dari pintu depan, ibunya memanggil. Seketika itu, Tedja Bayu dipeluk dan dicium ibunya.

Itulah momen terakhir kali Tedja Bayu dan Mia Bustam bertemu sampai akhirnya berpisah selama 14 tahun. Tedja dan kawan-kawannya yang menjaga Gedung CHTH diangkut dan ditahan di Penjara Wirogunan. Seperti dikisahkan Mia Bustam dalam Dari Kamp ke Kamp kala itu, usia Tedja masih 21 tahun.

Mia Bustam di usia senja. (Koleksi pribadi Sri Nasti Rukmawati).

Tedjalah orang pertama dalam keluarga Mia Bustam yang ditangkap. Mia dan keluarga was-was atas penangkapan itu. Selain Mia merupakan anggota Lekra, anak kedua Mia, Sri Nasti Rukmawati (adik Tedja Bayu), merupakan anggota non-aktif CGMI. Mereka pun khawatir sewaktu-waktu diciduk.
“Rumah kami yang dari bambu (gedheg, red.) dihuni ber-15 orang, keluarga sendiri 8 ditambah teman-teman yang lain,” kata Nasti pada Historia.
Beberapa teman Nasti menganggap rumah Mia Bustam di Papringan, Sleman cukup aman untuk sembunyi. Rumah itu ditinggali oleh Harno, Mojito, Waham, Dono, Kirnadi, Pujo, Wasito, Natangsa, Sampeten, Supandi, Harni, Proletari, dan seorang mahasiswi. Para perempuan tidur di dalam, sementara anak lelaki tidur di luar dengan menggelar tikar.

Pada 23 November 1965, Mia hendak ke pasar untuk belanja keperluan ulang tahun Watu Gunung yang ke-17. Saak akan berangkat, tiba-tiba di luar terdengar suara truk tentara. Satu per satu anak-anak yang tinggal bersama Mia pun lari tunggang-langgang. Sebagian besar lari dan sembunyi di kali.

Kirnadi, rekan Nasti di CGMI yang menumpang di rumahnya, langsung melepas kemeja dan celana panjangnya begitu tentara datang. Dengan hanya mengenakan singlet dan kolor, Kirnadi berpura-pura sebaga jongos, lalu menyapu-nyapu di kandang ayam. Menyaksikan hal itu, Watu Gunung langsung tanggap. Ia pun ikut bersandiwara.
“O… Kerjone mbok sing bener!” (Kerja yang benar, red.)
Ketika hampir semua penghuni rumah Mia Bustam diangkut ke truk, salah satu tentara menanyai anak-anak Mia yang usianya di bawah 17 tahun, seperti Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, kembar Daya dan Gawe, dan Abang Rahino (Rino). Rino kala itu masih 9 tahun, Kelas 3 SD sementara Watu Gunung kelas 2 SMA.
“Kamu kalau ibumu ditangkap untuk hidup sementara gimana? Sama siapa?” tanya si tentara.
“Ada kakak,” jawab salah seorang anak Mia.
“Di mana kakakmu?”“Itu, di atas truk.”“Yang namanya Sri Nasti Rukmawati turun. Jaga itu adik-adikmu!” kata si tentara.
Seketika Nasti turun dari truk, batal diciduk. Ketika pencidukan itu, Nasti berusia 18 tahun.

Saat itu banyak tersiar kabar gadis-gadis yang keluarganya jadi tahanan politik akan dibujuk oleh tentara agar mau jadi istri atau lebih parah, istri muda. Nasti yang ketakutan lantas mengungsi ke rumah kerabatnya di Klitren sementara adik-adiknya tetap tinggal di Papringan.
“Saya takut sekali waktu itu. Jadi saya tinggalkan mereka, pindah tempat. Tapi sampai sekarang masih tersisa rasa bersalah, kenapa saya tinggalkan mereka,” kata Nasti.
Nasti kemudian diungsikan ke rumah Pak Djadi Wirosubroto, anggota DPR dan mantan ketua BTI, di Jayengprawiran, Klitren. Pak Djadi pun kemudian ditangkap karena keterlibatannya dengan BTI. Selama tinggal di Jayengprawiran, Nasti hanya bisa berkirim kabar dan pesan kepada adik-adik melalui rekannya. Dalam kondisi penuh teror tersebut, jangankan bertemu langsung, berkirim surat saja sudah menimbulkan kekhawatiran.
“Cerita dari adik saya, ketika tinggal di Papringan selepas penangkapan ibu, itu sulit sekali. Kadang mereka kelaparan, makan daun pepaya sudah enak,” kata Nasti. Pasca-penangkapan pada 23 November itu, Watu Gunung mengalami shock sehingga lebih banyak merenung di rumah.
Dalam keadaan seperti itu, Sekar Tunggal-lah yang kemudian mengambil-alih peran berbagi tugas rumah tangga dengan adik-adik lainnya.

Hampir tiap malam, ada saja tentara yang mengetuk pintu rumah mereka. Suara khas sepatu lars, prok-prok-prok, selalu mendahuluinya. Satu kali, mereka mengaku sebagai Aidit, Njoto, dan tokoh-tokoh PKI lain. Mereka berpura-pura tidak tahu Mia Bustam telah tertangkap sehingg menyebut-nyebut namanya seolah minta tempat mengungsi. Enam bersaudara anak Mia pun sepakat untuk tidak membukakan pintu malam-malam. Sepanjang itulah mereka mesti menahan diri dari rasa takut yang muncul dari balik tiap ketukan pintu. 
“Sampai saat ini, adik saya Sekar Tunggal masih trauma jika mendengar suara sepatu lars atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa 1965,” kata Nasti.
Situasi anak-anak Mia yang terpencar dan hidup sendiri itu membuat Suhardo Harjodisastro, ipar sepupu Mia yang bekerja di Departemen Kehakiman, merasa iba. Dia lalu datang ke Yogya. Mulanya Hardo mengunjungi Mia di Wirogunan, lantas mengunjungi anak-anak Mia di Papringan. Hardo menyatakan bersedia menampung mereka.

Ketujuh anak Mia, yakni Nasti, Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, Daya, Gawe, dan Rino akhirnya sepakat ikut Hardo tinggal di Jakarta. Transistor dan barang-barang lain mereka jual untuk bekal ke Jakarta. Rino dan Shima berangkat lebih dulu, diantar Ali putra Pak Djadi. Nasti beserta adik-adiknya yang berkumpul di Stasiun Tugu menyusul kemudian.

Sesampainya di rumah Hardo,  anak-anak Mia lalu dipencar agar tidak menumpuk di satu kerabat. 
“Terus Ibu Hardo itu bilang, ‘sebelum kamu tinggal di rumah kerabat yang lain, ada baiknya kamu pamit dulu dengan bapak’,” kata Nasti menirukan bibinya.
Nasti menceritakan kembali tragedi 1965 yang memisahkan keluarganya. (Fernando Randy/Historia).

Anak-anak Mia pun menemui Sudjojono. Kala itu Sudjojono sudah menikah lagi dengan Rose Pandanwangi dan tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ketika Nasti meminta izin untuk tinggal di rumah kerabatnya, Sudjojono keberatan. 
“Kalian kan anak-anakku. Untuk apa tinggal di rumah kerabat lain? Tinggallah di sini saja bersama adik-adik,” kata Sudjojono, ayah Nasti.
Rumah Sudjojono cukup ramai saat itu. Selain ada dua anak Sudjojono bersama Rose, tinggal pula di sana tiga anak Rose dari pernikahan sebelumnya. Ditambah tujuh anak Sudjojono-Mia, maka total ada 12 anak di rumah tersebut.

Nasti menyadari bahwa ayahnya bukan orang kaya. Hanya lukisan modalnya untuk menghidupi 12 anak. Kalau sedang tak punya uang, Sudjojono akan datang ke Adam Malik untuk menawarkan lukisan karyanya. Untung Adam Malik pasti membeli lukisan itu.

Setelah sekira satu tahun tujuh bersaudara tinggal di rumah ayahnya, pada 1967 satu persatu anak Mia-Sudjojono mulai hengkang dari Pasar Minggu karena ada beragam faktor dan konflik. Nasti, Sekar Tunggal, dan dua adik kembarnya menuruti perintah Sudjojono tinggal di rumah nenek di Semarang.
 “Saya tahu bapak pasti berat. ‘Koe kudu ngerti, nderek eyang aja di Semarang!’ (Kamu harus paham. Ikut nenek saja, red.).
Sementara eyang (bibi Mia bustam yang kemudian jadi ibu tirinya, red.) di Semarang jarak umurnya dengan ibu saya hanya enam tahun dan masih punya lima anak untuk diurus,” kata Nasti.

Watu Gunung, Sri shima, dan Rino tetap tinggal di Pasar Minggu. Namun satu per satu dari mereka lalu juga pergi dari rumah ayahnya. Watu Gunung yang pertama, dia memilih tinggal di rumah temannya yang Tionghoa.

Watu Gunung bekerja jadi loper koran. Suatu hari ketika sedang menjajakan koran, dia bertemu dengan adik ibunya, Bibi Mimies. Watu Gunung pun kemudian ikut bibinya tinggal di Manggarai.

Sri Shima menumpang ke rumah Jenderal Sarwono, tetangga Sudjojono, setelah keluar dari rumah ayahnya. Oleh si jenderal, ia kemudian diantar ke rumah Mimies. Tak lama, Shima pun dikirim ke Semarang, ke tempat eyangnya.

Sementara, Rino tetap tinggal di Pasar Minggu sampai 1973. Ketika dijenguk Nasti di Pasar Minggu pada bulan Juni, Rino menanyakan alamat Nasti di Semarang. Dengan dibantu teman perempuan Watu Gunung (kemudian hari jadi isterinya), Rino lalu kabur ke Semarang. “Kebetulan sekolah (kelak) istrinya Watu Gunung dan Rino itu lapangannya sebelahan di PSKD,” kata Nasti.

Rino mulanya ke rumah Mimies. Dari Manggarai Selatan, dia baru berangkat ke Semarang untuk tinggal bersama Nasti yang sudah menikah. Rino kemudian disekolahkan di STM Ukir di Jepara, padahal keinginannya ialah belajar sejarah.
“Akibat dari 65 itu macam-macam. Soal pendidikan pun kami tak bisa berbuat banyak. Kuliah saya tidak bisa dilanjutkan. Minat adik-adik saya tak bisa disalurkan,” kata Nasti.
Dia dan adik-adiknya menjadi satu dari sekian nasib keluarga dalam pusaran konflik politik besar negara. Masa kecil mereka ada di bawah bayang-bayang teror, sementara mereka tak punya banyak daya di hadapan negara.
“Peristiwa 65 itu bikin kami tak berdaya, korban yang hidupnya ditentukan oleh orang lain,” sambungnya.

Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: 'Saya minta maaf'


Heyder Affan, BBC Indonesia - 30 September 2019

Sebagai penebusan kesalahan ayahnya yang menjadi algojo alias eksekutor orang-orang yang dituduh PKI di Blitar selatan pada 1968, sang anak menggelar rekonsiliasi dengan korban dan keluarga mereka yang dahulu dimusuhi ayahnya.

Farida Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farida) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. [BBC NEWS INDONESIA]

Pedang yang digunakan menggorok leher orang-orang yang dituduh anggota PKI di Blitar selatan itu pernah menghiasi dinding di salah-satu sudut ruang tamunya.

Hasim As'ari, sang pemilik pedang, menempatkannya di dekat pintu ruang tamu di rumahnya di Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, selama bertahun-tahun. Di sekitar 1968, Hasyim adalah aktivis Ansor - organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).
"Pedang itu menjadi alat untuk eksekusi orang-orang PKI," kata sang anak, Farida Masrurin menghela napas panjang, saat saya temui di rumahnya, awal September lalu.
Ibu satu anak itu adalah putri sulung pasangan Hasyim As'ari dan Uli Wafiah.

Lebih dari 50 tahun silam, persisnya bulan-bulan di awal 1968, di wilayah Blitar selatan, yang tandus itu, termasuk di Desa Bacem, ABRI (kini TNI) menggelar operasi untuk "membasmi sampai ke akar-akarnya" pimpinan, anggota, dan simpatisan PKI.

Anak 'algojo PKI' dan eks Tapol '65: 'Kita tidak benci dengan bapakmu'

Operasi Trisula, demikian sebutan resminya, seperti tercatat dalam sejarah, kemudian 'melibatkan' antara lain organisasi Gerakan Pemuda Ansor dengan salah-satu sayapnya, Barisan Serbaguna alias Banser.

Tidak pernah diketahui berapa jumlah persis korban mati di pihak PKI atau simpatisannya dalam apa yang disebut berbagai laporan independen sebagai pembunuhan massal.
"Bapak mungkin merasa bangga (membunuh orang-orang yang dituduh PKI) itu bagian dari jihad dan menjaga negara," ungkap perempuan kelahiran 1982 ini seraya menunjuk lokasi di mana pedang itu pernah dipajang.
Masrukin (suami Farida) menunjukkan sebilah pedang yang dulu digunakan mertuanya untuk membantai orang-orang yang dituduh PKI di Blitar selatan.
[BBC NEWS INDONESIAI]

Dan, tatkala film G30S wajib diputar di televisi setiap akhir September di masa Orde Baru, Farida teringat, ayahnya acap bercerita perihal perannya pada bulan-bulan 'panas' ketika operasi itu digelar.

Saat itu Farida, tentu saja, masih kanak-kanak hingga beranjak remaja.
"Kalau ada siaran televisi (film G30S), bapak lalu bercerita 'oh ya, aku dulu loh berjuang'," Farida menirukan ucapan almarhum ayahnya - meninggal delapan tahun silam.
Seperti diketahui film itu akhirnya tidak lagi wajib diputar setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998.

"Kalau ada siaran televisi (film G30S), bapak lalu bercerita 'oh ya, aku dulu loh berjuang'," Farida menirukan ucapan almarhum ayahnya - meninggal delapan tahun silam. (Foto Farid serta ayah dan ibunya saat dirinya wisuda sarjana strata satu). [BBC Indonesia]

Dalam atmosfer Orde Baru, di mana operasi pembersihan tokoh-tokoh PKI yang kabur ke Blitar selatan versi pemerintah menjadi sejarah tunggal, Farida kecil tumbuh besar di dalamnya.

Kelak, pengalaman seperti inilah membuatnya sempat bersikap reaktif ketika rekan-rekannya sesama aktivis NU menawarkan perspektif berbeda dalam melihat kekerasan di Blitar selatan yang melibatkan nama ayahnya.

Farida bersama suami dan putrinya yang berusia 10 tahun, sampai saat ini tinggal di rumah orang tuanya di Desa Bacem, Kabupaten Blitar - dulu secara sederhana disebut kawasan Blitar selatan.

Di salah-satu ruangan rumah itulah, ibunya mendidik anak-anak seumuran putrinya untuk belajar agama - nyaris saban sore. Di depan rumahnya berdiri musala, yang melalui pengeras suaranya, suara azan nyaring terdengar.
"Di desa ini, memang dari dulu basisnya NU," ujarnya. 
 Ini berbeda dengan desa-desa tetangganya, utamanya di kawasan perbukitan, yang dikenal sebagai basisnya "merah" - sebutan khas untuk menyebut kawasan yang dulu mayoritas warganya berafiliasi ke PKI.

"Bapak mungkin merasa bangga (membunuh orang-orang yang dituduh PKI) itu bagian dari jihad dan menjaga negara," ungkap Farida. [BBC News Indonesia]

Ketika saya dan juru kamera Anindita Pradana, mendatangi kediamannya, pedang milik ayahnya itu tak lagi menempel di dinding ruang tamu. Farida tidak mengetahui kapan persisnya pedang itu diturunkan dari dinding.

 Alasan penurunannya, dia pun tak tahu juga. Barangkali ketika rumahnya sedang direnovasi, katanya.

Apakah masih menyimpan pedang itu? Tanya saya, dan dijawab "masih ada", tetapi dia "lupa" di mana menyimpannya.

Belakangan, suaminya, Masrukin, mengetahui di mana pedang itu disimpan. Dia kemudian menunjukkannya kepada kami - lengkap dengan sarungnya, yang panjangnya kira-kira satu meter dan sudah berkarat.

Sore itu, di minggu ketiga September, ketika langit di atas desa itu perlahan berubah menjadi kemerahan, kisah horor di balik keberadaan pedang itu seperti tersamar oleh waktu yang terus beranjak.
"Kami belakangan pernah menggunakannya untuk menangkap tikus di rumah," Masrukin tertawa kecil, yang kemudian menular pada istrinya.
"Di desa ini, memang dari dulu basisnya NU," ujarnya. Ini berbeda dengan desa-desa tetangganya, utamanya di kawasan perbukitan, yang dikenal sebagai basisnya "merah". (Foto: Rumah orang tua Farida di Desa Bacem, Kabupaten Blitar). [BBC News Indonesia]
Sikap enteng hati Farida dan Masrukin terkait peruntukan pedang itu di masa lalu, tentu tidaklah segampang membalik tangan.

Ada proses panjang yang mereka lalui sehingga mereka kini memiliki cara pandang baru tentang memori kolektif kekerasan tragedi 1965 di wilayahnya.

Ide rekonsiliasi Gus Dur bergaung hingga ke Blitar selatan

Setahun setelah Suharto turun dari kursi presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh sentral Nadhlatul Ulama (NU), yang terpilih menjadi presiden, menawarkan ide-ide rekonsiliasi.

Dihadapkan memori kolektif yang terbelah dan hubungan sosial yang retak akibat warisan sejarah tragedi 1965, Gus Dur memilih membangun jembatan rekonsiliasi dengan para penyintas kekerasan '65 - dan gaungnya sangat terasa di kalangan nahdliyin, hingga ke sudut desa di mana Farida tinggal.

”Gus Dur sejak awal mendengungkan bahwa memanusiakan manusia itu lebih penting daripada yang lain," Farida menyebut Gus Dur sebagai orang pertama yang menginspirasinya. (Foto: Gus Dur, 7 Juni 1999).
PAULA BRONSTEIN/GETTY IMAGES
"Gus Dur sejak awal mendengungkan bahwa memanusiakan manusia itu lebih penting daripada yang lain," Farida menyebut Gus Dur sebagai orang pertama yang menginspirasinya, sekaligus secara perlahan menyadarkannya dalam melihat ulang sejarah kelam seputar konflik berdarah antara orang-orang NU dan pendukung PKI pada 1968 di tempatnya tinggal.
Dalam beberapa kali forum tidak resmi, Gus Dur - saat menjadi presiden - dilaporkan telah meminta maaf kepada penyintas kekerasan pasca Oktober 1965. Dia juga dilaporkan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.

Seperti diketahui, ketetapan ini menyatakan tentang pembubaran PKI dan organisasi terlarang, serta larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Walaupun pernyataan Gus Dur itu mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok Islam dan TNI, termasuk dari sebagian kalangan internal NU, toh idenya tentang rekonsiliasi terkait kekerasan 1965 tak berhenti sampai di situ.

Sejumlah aktivis NU muda menindaklanjuti ide rekonsiliasi Gus Dur dengan membentuk Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) awal 2000-an, yang dimotori Imam Aziz. (Foto: Acara Syarikat pada September 2015 di Yogyakarta). [BBC News Indonesia]

Sejumlah aktivis muda NU kemudian menindaklanjuti dan mengembangkannya, dengan membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat, di awal 2000-an, yang dimotori Imam Aziz dkk di Yogyakarta.

Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965: Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia (2016), organisasi ini menyebut dirinya sebagai jangkar dalam merajut kembali hubungan sosial di tingkat akar rumput yang hancur akibat tragedi '65.

Mereka berjejaring dengan sejumlah organisasi LSM, serta sesama aktivis muda NU, di berbagai daerah yang memiliki kepedulian yang sama - termasuk di Blitar, tempat Farida lahir dan tumbuh besar.

Ketika rekonsiliasi terkait warisan kekerasan 1965 di tingkat nasional "macet", Syarikat dan aktivis NU muda menggulirkan apa yang disebut sebagai rekonsiliasi di tingkat akar rumput.

Dan akhirnya "di tingkat akar rumput justru bisa berjalan, kendati terkadang tidak semulus yang diharapkan," demikian tim penulis buku tersebut menyimpulkan.

Ketika rekonsiliasi terkait warisan kekerasan 1965 di tingkat nasional "macet", Syarikat dan aktivis NU muda menggulirkan apa yang disebut sebagai rekonsiliasi di tingkat akar rumput. (Foto atas: Imam Aziz, pendiri organisasi Syarikat). SYARIKAT/FACEBOOK

Di Kabupaten Blitar, rekonsiliasi dengan penyintas kekerasan 1968, dirintis oleh aktivis muda NU - yang tergabung dalam Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, atau biasa disingkat Lakpesdam - pada awal 2000-an.

Salah-satu figur pentingnya adalah M Munif, Ketua Lakpesdam NU saat itu.
"Banyak cerita sangat menyesakkan"

Beberapa tahun kemudian, sekitar 2003, ketika terjun sebagai relawan Lakpesdam di Kabupaten Biltar, Farida mulai bersentuhan langsung dengan upaya rekonsiliasi tersebut. Semula hanya ikut diskusi kecil, dia kemudian "ikut senior-seniornya ke rumah para penyintas kekerasan 1965".

Sebagian para penyintas itu adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia.

Tapi tak sedikit yang menjadi korban lantaran ikut-kutan atau menjadi simpatisan semata - atau bahkan mungkin tidak tahu-menahu, tetapi terjebak dalam situasi.

Mereka pernah ditahan militer atau polisi, dan beberapa diantaranya dibuang ke pulau Buru.

Sebagian para penyintas tragedi 1965 adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia. (Foto atas: Seseorang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap oleh aparat militer Indonesia setelah 1 Oktober 1965). BETTMANN/GETTY IMAGES

Dua tahun kemudian, Farida dan suaminya mulai berinteraksi langsung dengan para penyintas. Ini terjadi setelah mereka terlibat penelitian tentang kekerasan pasca Oktober 1965 di wilayah Blitar Selatan, dengan berbasis isu perempuan.

Saat itu, Farida mengaku "belum selesai secara batin" terkait kasus kekerasan itu, lantaran belum mampu melepaskan dari perspektif sejarah ala Orba yang diterimanya selama belasan tahun.

Perlahan-lahan cara pandangnya makin meluas setelah mengikuti pelatihan di organisasi Syarikat tentang menganalisa persoalan dan, terutama, interaksinya secara mendalam dengan para ibu penyintas di Blitar selatan - diantaranya dengan Put Mu'inah, eks Ketua Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, Kabupaten Blitar.
"Di situ saya justru menemukan banyak cerita yang menurut saya sangat menyesakkan," Farida berkata dengan suara tercekat.
 Seorang anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965. BETTMANN/GETTY IMAGES

Dia menarik napas panjang dan matanya terlihat basah. "Ada penyiksaan (terhadap korban di pihak orang-orang yang dituduh PKI) yang luar biasa."

Fakta tentang kekerasan yang dialami ibu-ibu penyintas ini, ditambah pengalaman serupa para penyintas di kota-kota lainnya, menyadarkannya bahwa apa yang terjadi di desanya dan desa-desa lainnya di perbukitan gersang di wilayah Blitar selatan pada sekitar 1968, selama ini ditutup-tutupi.

Dilatari itu semua, Farida makin tertarik mendalaminya. Apalagi di sisi lain dia dibenturkan kenyataan bahwa ayahnya terlibat dalam kekerasan di sekitar tahun 1968.
"Apalagi saya kaitkan pengalaman saya dengan bapak," ujarnya lirih. Suaranya kembali tercekat. "Jadi, saya harus melakukan ini."
Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965. BETTMANN/GETTY IMAGES

Melanjutkan rintisan para seniornya di Lakpesdam yang membuka pintu rekonsiliasi kultural, Farida secara gamblang mengaku itu dilakukannya karena juga faktor apa yang diperbuat ayahnya.

"Putra eksekutor"
"Karena berposisi putra dari pelaku eksekutor dari tragedi '65, jadi membuat saya merasa sangat perlu untuk bagaimana cara menebus kesalahan yang pernah.... bapak lakukan itu, dengan proses rekonsiliasi," kata Farida dengan suara tercekat.
Dia menambahkan, "Itu penting dilakukan, karena dari kejadian kekerasan itu menumbuhkan banyak kebencian, banyak persoalan yang mungkin sampai hari ini belum tuntas."
Sejauh ini, sulit menemukan sosok seperti Farida, yang secara terbuka mengakui dan mengungkap kepada umum tentang keterlibatan ayahnya dalam tragedi kekerasan pasca Oktober 1965.

Bagi sebagian pihak, apa yang dilakukannya dapat dianggap membuka aib keluarga sendiri.

Beberapa orang merusak dan membakar kantor CGMI, onderbouw PKI, di Jakarta, 13 Oktober 1965. CAROL GOLDSTEIN/GETTY IMAGES
"Itu bukan aib," katanya. Menurutnya, apa yang dibanggakan ayahnya saat membunuh orang-orang yang disebut PKI, seharusnya bukan sebuah kebanggaan
Dia juga menekankan bahwa kesaksiannya tentang peranan ayahnya di masa itu adalah perwujudan dari "kebenaran yang harus diungkap".
"Agar penerus bangsa ini juga benar-benar tahu bahwa peristiwa itu memang ada kebohongan publik yang terstruktur sehingga membuat sejarah menjadi runyam, menjadi tidak jelas," jelasnya.

'Saya tidak mau seolah-olah menghakimi ayah'

Awalnya, Farida tidak bercerita kepada ayahnya tentang aktivitasnya mendampingi para penyintas kekerasan pasca Oktober 1965.

Para penyintas itu dahulunya - secara langsung atau tidak langsung - adalah musuh ayahnya ketika operasi pembersihan digelar pada 1968. 
"Saya tidak berani mengorek secara langsung (kepada ayahnya)," katanya. Dia takut ayahnya akan "terluka" dan lagi pula dia tidak mau seolah-olah menghakimi ayahnya.
"Karena berposisi putra dari pelaku eksekutor dari tragedi '65, jadi membuat saya merasa sangat perlu untuk bagaimana cara menebus kesalahan yang pernah bapak lakukan itu, dengan proses rekonsiliasi," kata Farida. (Foto: Farida (kiri) bersama seorang penyintas tragedi 1965 di Blitar selatan). BBC NEWS INDONESIA

Dia memilih bersikap pasif dengan harapan ayahnya yang bersikap aktif untuk bertanya perihal "sejarah baru" terkait operasi pembasmian orang-orang yang dituduh PKI pada 1968.

Namun lambat-laun, ayahnya akhirnya tahu tentang kegiatan anaknya lantaran Farida acapkali mengundang teman-temannya dari Lakpesdam dan Syarikat berdiskusi di rumahnya.

Ayahnya juga diam-diam membaca dokumen atau majalah terkait program pendampingan yang dilakukannya dan kawan-kawannya.

Dalam wawancara dengan saya, Farida mengaku meletakkan dokumen itu di ruang tamu, dengan harapan ayahnya membacanya.
"Mungkin proses itu, termasuk pergesekan, atau diskusi, dan sering komunikasi, antara saya dengan bapak, yang suatu saat membuat ayah saya meminta maaf," ungkapnya.
Farida menambahkan, "Meminta maaf dalam artian bahwa, apapun, membunuh itu merupakan perbuatan yang salah."

Ayah minta maaf, sesuatu yang luar biasa

"Saya tidak berani mengorek secara langsung (kepada ayahnya)," kata Farida. Dia takut ayahnya akan "terluka" dan lagi pula dia tidak mau seolah-olah menghakimi ayahnya. BBC NEWS INDONESIA

Kepada anaknya, sang ayah juga berulangkali meyakini bahwa orang-orang NU juga menjadi korban pada tragedi itu, sepertinya halnya para penyintas dari orang-orang yang dituduh PKI.
"Karena, ketika ditelisik, ternyata data yang diterima teman-teman Banser, itu dari siapa, itu juga tidak jelas sampai hari ini. Pihak penyintas '65 juga ternyata tidak tahu dari siapa catatan-catatan itu," katanya.
"Data"atau "catatan" yang dimaksud Farida itu adalah daftar nama orang-orang yang harus dibunuh, baik dari pihak PKI dan NU, seperti yang dia dengarkan dari para penyintas dan orang-orang NU.

Mengomentari kembali keputusan ayahnya untuk mengakui tindakannya salah dan kemudian meminta maaf, Farida menyebutnya sebagai luar biasa.
 "Dan membiarkan kami untuk berproses dan mendampingi para penyintas, itu juga luar biasa." Seperti sebelumnya ketika menyinggung sosok sang ayah, mata Farida terlihat berkaca-kaca.

Meminta maaf di hadapan penyintas
"Bagaimana reaksi eks tapol saat mengetahui ayah Anda adalah tukang jagal orang-orang yang dituduh PKI?" tanya saya ke Farida.
"Bukan saya yang bercerita," kata Farida, masih tersendat, dan matanya menerawang jauh. Maksudnya, Farida belum berani secara terbuka bercerita tentang keterlibatan ayahnya dalam pembunuhan massal di Blitar selatan.

"Saya meminta maaf atas nama bapak, atas nama keluarga." Hanya satu kalimat itu yang terucap dari mulutnya saat itu.
BBC NEWS INDONESIA

Di salah-satu forum Syarikat, yang dihadiri anak-anak muda NU dan para penyintas, Farida memilih diam dalam sesi berbagi pengalaman seputar terkait memori kekerasan pasca Oktober 1965.
"Saya belum berani mengutarakannya."
Justru peran ayahnya di seputar pembunuhan massal itu diungkapkan oleh rekan-rekannya dari Lakpesdam.

Di hadapan para penyintas, mereka menyebut sosok Hasim As'ari adalah eksekutor orang-orang PKI di Blitar selatan pada 1968.
"Saya tidak bisa membayangkan wajah para penyintas," ungkapnya, mencoba mengingat lagi apa yang ada di benaknya ketika peran ayahnya diungkit di forum itu.
Setelah kesaksian itu disampaikan melalui mulut rekan-rekannya, Farida - di hadapan forum - meminta maaf kepada para penyintas.
"Saya meminta maaf atas nama bapak, atas nama keluarga."
Hanya satu kalimat itu yang terucap dari mulutnya saat itu. Menurutnya, sampai di situ keberaniannya untuk mengutarakan permintaan maaf kepada eks tapol.

"Sudah, sudah, kita tidak benci kepada bapakmu. Kita tidak benci sama orang NU, kita sama-sama korban," kata Farida menirukan perkataan Sukiman. (Foto: Sukiman) BBC NEWS INDONESIA

Dalam suasana hening, salah-seorang penyintas bernama Sukiman (kini berumur 71 tahun), warga Desa Pasiraman, Kabupaten Blitar, berdiri mendekatinya, lalu merangkul Farida.

Eks anggota Lekra, yang pernah dipenjara dan pernah bersumpah membalas dendam kepada Ansor itu, mengeluarkan sederetan kalimat yang terus diingat oleh Farida sampai sekarang.
"Sudah, sudah, kita tidak benci kepada bapakmu. Kita tidak benci sama orang NU, kita sama-sama korban. "Kita tidak pernah tahu persoalannya, kita memang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kadang kita tak tahu."
Farida kaget mendengarnya. Dia tak pernah menyangka kalimat seperti itu bisa meluncur begitu saja dari mulut orang yang dulu termasuk dalam barisan yang diburu ayahnya.

Farida kemudian mengulangi permintaan maafnya.
"Karena apapun motif atau niatnya, membunuh itu sesuatu yang berdosa."
Semenjak saat itulah, dia tidak ada beban psikologis untuk mengungkapkan apa yang dilakukan ayahnya di masa-masa kelam 1968.

"Saya Sukiman, saya dulu anggota Lekra"

Pada hari kedua liputan kami di Blitar selatan, kami bersama Farida menaiki kendaraan roda empat, untuk menemui seorang pria kelahiran 1948, yang mengaku pernah dipenjara - tanpa diadili - karena dianggap menjadi penghubung, atau kurir, orang-orang yang dituduh melindungi pimpinan dan anggota PKI di desanya.

Kami melewati jalanan beraspal yang menanjak dan memutari perbukitan nyaris tanpa pepohonan alias gundul.

Di sepanjang jalur itu, hanya didominasi ilalang kering kecoklatan, sesekali pohon sengon yang sengaja ditanam berjejer, wajah kota Blitar di kejauhan, serta langit kebiruan pucat.

Kami melewati jalanan beraspal yang menanjak dan memutari perbukitan nyaris tanpa pepohonan alias gundul di wilayah Biltar selatan. BBC NEWS INDONESIA
"Semua dijarah, pohon-pohon jati itu dibabat habis setelah 1998." Farida bercerita dan menekankan bahwa penggundulan hutan itu membuat desanya nyaris selalu kebanjiran setiap curah hujan tinggi.
Dari dalam mobil, saya justru membayangkan mengapa sebagian pimpinan PKI memilih wilayah perbukitan Blitar selatan sebagai lokasi persembunyian.
Dahulu, ketika pohon-pohon jati masih rimbun dan jalanan masih berlumpur, tentu tidak mudah mengakses kawasan berbukit-bukit itu.
Description: Presentational grey line

"Ansor bantu mencari dan menangkap orang-orang PKI," Asmungi, eks Ketua Ansor anak cabang Wlingi, Kabupaten Blitar

"Saya tidak berperan apa-apa pada seputar Operasi Trisula 1968, kecuali hanya membantu ABRI (kini TNI) dan polisi, turut mencari dan menangkap orang-orang PKI.

Karena hanya membantu, Ansor hanya menyerahkannya kepada ABRI dan polisi. Jadi, Ansor tidak pernah berjalan sendiri. Kami bersama-sama ABRI dan polisi.

Beberapa anggota Ansor didampingi pasukan ABRI melakukan gropyokan (operasi) ke rumah-rumah warga untuk mengetahui apakah mereka menyimpan senjata atau menyimpan dokumen terkait PKI. Ternyata banyak sekali.

Anggota Ansor yang mau membantu diberi semangat mental, yaitu membaca shalawat, sehingga saat ditembak tidak mempan - Insya Allah.

"Beberapa anggota Ansor didampingi pasukan ABRI melakukan gropyokan (operasi) ke rumah-rumah warga..." kata Asmungi, eks Ketua Ansor anak cabang Wlingi, Kabupaten Blitar, pada 1960an. BBC NEWS INDONESIA

Senjata yang dirampas dari rumah masyarakat, sebagian besar buatan China, yang merknya Cung. Sebagian disimpan di Museum Brawijaya di kota Malang, Jatim.

Pada awal 1968 di Blitar selatan itu adalah pemberontakan PKI. Kita berperang, karena PKI juga mempunyai senjata. Pimpinan mereka ada yang tokoh-tokoh eks ABRI.

Di wilayah itu, banyak sukarelawan PKI dan mereka bersenjata. Kita intinya berperang, karena melawan mereka yang bersenjata. Generasi muda sekarang harus tahu bahwa PKI mau berontak terhadap negara.

Mereka diantaranya adalah pimpinan pusat PKI, seperti Ir Surachman dan Oloan Hutapea, dan banyak lagi, bersama eks ABRI berkumpul kembali di Blitar selatan.

Oloan mati dibunuh massa di tempat persembunyiannya dan Ir Surachman ditembak mati.

Operasi yang berjalan sampai Agustus 1968, berhasil menumpas habis orang-orang PKI. Ada yang tertembak, ada yang ditangkap, dan ada pula yang diadili.

Sekarang ada informasi yang menyebut PKI itu adalah korban. Ini tidak betul. Mereka bersenjata dan kita berperang. Hanya saja mereka kalah.

"Sekarang ada informasi yang menyebut PKI itu adalah korban. Ini tidak betul. Mereka bersenjata dan kita berperang. Hanya saja mereka kalah," kata Asmungi. BBC NEWS INDONESIA

Kalau ada upaya perdamaian atau rekonsiliasi dengan eks tapol yang masih hidup, pemerintah yang harus berperan. Kalau tidak dilakukan pemerintah, kedua pihak saling mengklaim paling benar.

Sekarang keluarga eks tapol sudah bisa menjadi pegawai negeri, sehingga tidak ada bedanya dengan masyarakat lainnya.

Keadaannya sudah normal seperti sediakala, sehingga silaturahmi sudah berlangsung dengan baik secara alamiah, dan tidak ada lagi saling mencurigai.

Sekarang sudah normal, saya tidak perlu takut kalau seandainya mereka membalas.

Saya sudah tahu peta di wilayah Wlingi, saya tahu wilayah yang dulu dikuasasi kelompok merah. Sekarang saya biasa saja mengikuti pengajian di wilayah itu.

Hubungan saya dengan mereka saat ini baik-baik saja. Kalau saya diundang pada hajatannya, saya datang. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada masalah.

Baik Ansor maupun eks PKI dan keturunannya sama-sama tidak merasa terancam, karena kedudukannya sudah sama di hadapan hukum.

Kalau memang ada yang mau mendamaikan, harus melibatkan pemerintah. Kalau tidak ada upaya itu, ya tidak apa-apa. Pokoknya jangan diungkit-ungkit lagi."

Kira-kira memakan waktu 30 menit, kendaraan kami menepi di rumah beton sederhana yang eksteriornya sudah bersentuhan dengan modernisasi.

Lokasinya di Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar.
Sekelebat pikiran saya membayangkan ketika ratusan tentara berbaris di depan rumahnya di bulan-bulan awal 1968 - lalu satu per satu tentara itu menggedor pintu rumah warga untuk mencari orang-orang PKI.

Yang ada di hadapan saya justru semilir angin dan suara menggelegar dari depan pintu.
 "Saya Pak Sukiman... Saat usia 18 tahun, saya berhimpun di organisasi Lekra..."
"Kakak-kakak saya hilang, mati. Sukadi, Sukemi, dan Duryadi, kakak ipar saya. Ada diantaranya yang dibuang ke Leuwung (gua) tikus," kata Sukiman - ayah tiga anak ini - mengutarakannya seperti tanpa beban. BBC NEWS INDONESIA

Lembaga Kesenian Rakyat, atau Lekra, adalah organisasi kesenian yang disebut merupakan onderbouw PKI.
 "Saya dulu bermain sendratari, yaitu tari Remong."
Berperawakan agak tinggi, kurus, bahu lebar, dan sebagian rambutnya sudah memutih, tapi pendengaran Sukiman masih tajam. Dia juga suka menebar tawa lebar di sela-sela menjawab pertanyaan.

Dia masih mampu mengingat peristiwa horor yang menimpa keluarganya pada 1968, ketika pasukan ABRI dibantu Banser NU melakukan operasi penangkapan orang-orang yang dituduh anggota PKI atau orang-orang dianggap membantunya.
"Kakak-kakak saya hilang, mati. Sukadi, Sukemi, dan Duryadi, kakak ipar saya. Ada diantaranya yang dibuang ke luweng (gua) tikus,"
Sukiman- ayah tiga anak ini - mengutarakannya seperti tanpa beban. Dia sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Ketika Operasi Trisula digelar, Sukemi sempat kabur ke Jombang dan Malang. Namun dia memilih kembali ke desanya, tetapi ditangkap karena dituduh menjadi kurir yang menghubungkan para pimpinan PKI dan pendukungnya di wilayah itu.
"Padahal, saya tidak tahu menahu tentang politik. Saya juga tak tahu isi suratnya."
'Saya dulu dendam dengan Ansor, tapi sekarang...'

Seperti kebanyakan penyintas '65 lainnya, dia mengaku disiksa dan kesulitan mendapatkan makanan secukupnya selama di penjara.

Setahun kemudian dia dikeluarkan dan diwajibkan wajib lapor ke instansi militer setempat.

Keluar dari penjara, seperti yang dialami eks tapol lainnya, Sukiman mirip pesakitan yang dianggap berbahaya oleh masyarakat lantaran pilihan politiknya dahulu.

Dia teringat putri sulungnya, Istini, yang pernah kesulitan berhubungan dengan lawan jenis, karena "latar belakang" ayahnya.

"Setelah ada rekonsiliasi, kita sudah berdamai," kata Sukiman, masih dengan nada perlahan. BBC NEWS INDONESIA

Di masa-masa itu, usai keluar dari bui, dia sempat bersumpah kepada dirinya sendiri untuk membalas dendam terhadap orang-orang Ansor - ormas kepemudaan onderbouw NU.
"Dendam kesumat, hutang darah dibayar dengan darah... Saya tahu segi tiga yang dinamakan Ansor," nada suaranya meninggi. Segi tiga yang dimaksudnya adalah bingkai pada logo Ansor yang berbentuk segi tiga.
Namun nada suara Sukiman kembali memelan, dan buru-buru menambahkan bahwa dirinya tidak lagi menaruh dendam kepada Ansor. Ini terjadi setelah dia mengikuti rekonsiliasi kultural yang ditawarkan anak-anak muda NU pada awal 2000-an.
"Setelah ada rekonsiliasi, kita sudah berdamai," kata Sukiman, masih dengan nada perlahan.
"Yang menyadarkan saya itu saudara Munif." Berulangkali Sukiman juga menyebut bahwa dirinya dan orang-orang Banser sebagai "sesama korban" karena keadaan dan hasutan pihak ketiga.
Munif adalah Ketua Lakpesdam NU pada awal 2000-an, yang ikut berperan mempertemukan pertama kalinya antara orang-orang yang selamat dari Operasi Trisula dan warga Nahdliyin yang menjadi Banser saat operasi tersebut.

Keluar dari penjara, seperti yang dialami eks tapol lainnya, Sukiman mirip pesakitan yang dianggap berbahaya oleh masyarakat lantaran pilihan politiknya dahulu. (Foto; Sukiman dan kakak perempuannya). BBC NEWS INDONESIA

Pada September 2001, seperti tercatat dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965, terbitan Syarikat dan Tifa (2016), Munif dan kawan-kawan mempertemukan mereka yang dulu bermusuhan itu dalam acara kesenian bertema Rukun Agawe Santoso.

Acara yang diisi sholawatan, pengajian, dan kentrung dan campursari itu digelar di pelataran Tugu Trisula di Desa Bakung, Kabupaten Blitar.
"Tidak ada pemisahan tempat duduk bagi kedua komunitas memori itu," ungkap Moh. Asrofi, dalam tulisan berjudul Merajut kembali ingatan masa lalu, salah-satu tulisan di buku itu.
Acara ini kemudian ditindaklanjuti oleh acara silaturahmi di antara kedua pihak - termasuk memanfaatkan halalbihalal Idul Fitri. Walaupun masih ada penolakan dari sebagian anggota NU, proses rekonsiliasi ini terus bergulir.

"Farida itu seperti anak saya sendiri"

Di ruangan tamu, usai wawancara, Sukiman terlihat bercengkerama dan sesekali bergurau dengan Farida - dalam bahasa Jawa.
"Farida itu seperti anak saya sendiri." Di lain sisi, Farid menganggap Sukiman sudah seperti ayahnya sendiri.
Suasana keakraban antara anak tokoh NU dan eks Lekra itu, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Kedua pihak yang pernah berseteru akan terus menyimpan amarah dan dendam, apabila upaya membangun jembatan untuk mendekatkannya tidak dirintis sejak awal.
"
Farida itu seperti anak saya sendiri," kata Sukiman. Di lain waktu, Farida menganggap Sukemi sudah seperti ayahnya sendiri. BBC NEWS INDONESIA

Saya pun membayangkan pula betapa tidak mudah bagi Farida dan, terutama, para pendahulunya dalam membangun komunikasi awal dengan Sukiman dan kawan-kawan.

Puluhan tahun mereka terjebak dalam memori kolektif yang terbelah dan hubungan sosial yang nyaris hancur akibat warisan kekerasan pasca Oktober 1965.
"Kami sempat bingung untuk mengawalinya," ungkap Moh, Asrofi, aktivis Lakpesdam NU Blitar, dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965. "Bagi kami, rekonsiliasi kultural itu adalah hal baru."
Menimba pengalaman dari diskusi dengan lembaga yang sudah melakukan langkah serupa, mereka lantas mencari sosok yang bisa menjadi pintu pembuka untuk menjadi jembatan ke pihak para penyintas.

Langkah ini akhirnya bergulir, dan Farida mengingat betapa tidak gampangnya untuk meyakinkan para penyintas dari kalangan perempuan untuk bercerita terbuka tentang apa yang mereka alami di masa-masa itu - pada awalnya.
"Kita pendekatannya secara pribadi, tidak melibatkan organisasi apapun," katanya.
Diawali dengan membangun kepercayaan yang antara lain ditandai dengan beberapa kali pertemuan silaturahmi, para penyintas barulah merasa nyaman untuk mulai berbagi informasi perihal pengalaman pahit mereka di masa lalu.

Dalam beberapa pertemuan berikutnya, mereka lantas saling membuka diri, lalu "saling menyadari" bahwa mereka adalah "sama-sama korban". Di momen-momen itulah, menurut Farida, kedua pihak secara terbuka untuk saling memaafkan.
"Bahwa saya, beliaunya, yang tak luput dari salah, maka kita membuka diri untuk saling memaafkan, tidak ada dendam, dan kita saling melakukan sesuatu secara bersama," katanya.
Untuk memelihara kedekatan itu, Farida dan anak-anak muda NU serta para penyintas berjanji untuk saling bertemu, termasuk di acara-acara keluarga.
"Ketika ibu-ibu itu mengawinkan anak-anaknya, kita datang ramai-ramai."

Lokasi pembantaian orang-orang PKI: Gua Tikus

Ketika saya mengutarakan ide untuk mengajaknya ke salah-satu lokasi eksekusi dan kuburan massal orang-orang yang dicap PKI, yaitu gua tikus atau luweng tikus di Dukuh Bokolan, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Farida tidak keberatan. 
"Saya belum pernah ke sana," katanya. Masrukin, suaminya, yang juga pernah aktif di Lakpesdam NU Kabupaten Blitar dan turun mendampingi para penyintas, kami ajak pula.
Kenyataannya lancar-lancar saja, kecuali medannya yang relatif berat. Mobil sewaan akhirnya kami titipkan ke rumah salah-seorang pegiat Lakpesdam, dan kami melaju ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor. BBC NEWS INDONESIA

Bagaimana dengan Sukiman, yang salah-satu anggotanya diduga dibunuh dan dibuang ke gua tersebut, apakah dia berkenan ikut serta? Dia mengiyakan dan bersemangat. 
 "Saya sudah berulangkali mengunjunginya."
Saya sempat khawatir kedatangan kami ke gua tikus itu akan ditolak aparat keamanan setempat. Maklum, lebih dari 15 tahun silam, upaya penggalian gua tikus oleh sejumlah LSM untuk kepentingan penyelidikan dugaan pembunuhan massal, ditolak Bupati Kabupaten Blitar, karena alasan "meresahkan masyarakat".

Kenyataannya lancar-lancar saja, kecuali medannya yang relatif berat. Mobil sewaan akhirnya kami titipkan ke rumah salah-seorang pegiat Lakpesdam, dan kami melaju ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor.

Dibiarkan menganga, tanpa pagar, dan dirimbuni pohon bambu di kedua sisinya, pintu masuk ke gua itu kira-kira berdiameter tiga dan dua meter. BBC NEWS INDONESIA

Memakan waktu sekitar 30 menit, kami melalui jalanan tanah berdebu, naik-turun, terkadang hanya jalan setapak, melintasi perbukitan gersang di tengah sengatan matahari di siang bolong.
"Itu lubang guanya," kata Markus, aktivis Lakpesdam setempat.
Dibiarkan menganga, tanpa pagar, dan dirimbuni pohon bambu di kedua sisinya, pintu masuk ke gua itu kira-kira berdiameter tiga dan dua meter.
Tidak pernah diketahui berapa jumlah orang-orang yang dituduh PKI dijagal, dibunuh dan dibuang ke dalam lubang yang terlihat gelap dari atas.

Hanya saja berhamburan cerita tentang bau busuk yang menyengat tidak lama setelah eksekusi, kisah-kisah menyeramkan di seputarnya, serta upaya penyelidikan siapa saja yang dibunuh di lubang itu yang akhirnya gagal.

Berdiri di dekat lubang mengerikan itu, Sukiman tetap berharap pemerintah agar serius menyelesaikannya. BBC NEWS INDONESIA

Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965, antara lain dengan mewawancarai saksi mata dan mendatangi sejumlah lokasi yang disebut sebagai kuburan massal.

Melalui penyelidikannya, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kasus kekerasan pasca G30S sebagai pelanggaran HAM berat. Para eks tapol itu kemudian disebut sebagai korban atau penyintas.

Empat tahun lalu, dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis (kini tidak lagi menjabat) mengatakan pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan kebenaran.

Namun upaya pengungkapan itu tak berlangsung mulus, karena mendapat tentangan dari sejumlah kelompok masyarakat dan kalangan dalam pemerintah sendiri. Akibatnya penyelesaiannya sampai kini terkatung-katung, tanpa ada kejelasan.

Adapun Farida (kanan) mengharapkan, siapapun yang dibunuh dan dibuang ke dalam lubang gua itu, untuk dikuburkan ulang secara layak. BBC NEWS INDONESIA

Berdiri di dekat lubang mengerikan itu, Sukiman tetap berharap pemerintah agar serius menyelesaikannya. Namun dia kurang setuju jika ada upaya penyelidikan siapa saja korban yang dibunuh di dalam gua itu.
"Itu sudah lampau, tidak penting. Sudah 50 tahun silam," katanya.
Dia mengusulkan agar pemerintah membuatkan jalan yang layak menuju ke gua ini, sehingga memudahkan keluarga korban yang ingin berziarah.

Adapun Farida mengharapkan, siapapun yang dibunuh dan dibuang ke dalam lubang gua itu, untuk dikub
"Siapapun mereka, seharusnya mereka dikuburkan secara layak," katanya.
Dengan tindakan seperti, pemerintah sudah menunjukkan bukti keseriusan untuk menyelesaikan tragedi '65 dengan cara mengakuinya, katanya.

Masrukin sependapat dengan Farid agar diungkap siapa yang dibunuh dan dibuang ke dalam lubang itu, walaupun diakuinya upaya ini akan sulit direalisasikan saat ini, karena masih ada penolakan dari sebagian masyarakat.

'Biarkan tugu Trisula berdiri, jangan dibongkar'

Di akhir perjalanan, kami kemudian menuju Monumen Trisula, yang didirikan oleh pemerintah pada 1972, di Desa Bakung, Kecamatan Bakung.

Ini adalah bangunan tugu untuk menjadi pengingat keberhasilan Operasi Trisula 1968 membasmi pimpinan dan pengikut PKI di Blitar selatan.

Dalam salah-satu dindingnya tertera nama-nama anggota masyarakat dan TNI/Polri yang disebutkan menjadi korban PKI.
"Saya kenal beberapa nama yang tertera di dinding ini," kata Sukiman seraya menyebut setidaknya tiga nama.
Di akhir perjalanan, kami kemudian menuju Monumen Trisula, yang didirikan oleh pemerintah pada 1972, di Desa Bakung, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar.
BBC NEWS INDONESIA

Sukiman, yang mengaku dilibatkan bersama tapol lainnya oleh instansi militer untuk menggali fondasi bangunan monumen itu ("Saya saat itu masih dikenai wajib lapor setelah keluar penjara," katanya), dapat menerima keberadaan tugu yang dibangun pada masa Orde Baru itu.
"Biarkan saja tugu ini, jangan dibongkar. Ini sejarah," katanya.
Di hadapan saya, Sukiman lebih bersemangat bercerita tentang acara rekonsiliasi yang dirintis anak-anak muda NU dan para penyintas - dibungkus dalam acara kesenian - yang digelar di halaman tugu itu, September 2001.

Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965 disebutkan bahwa acara yang digelar di pelataran monumen itu dapat membangkitkan ingatan yang bukan hanya berbeda, tapi juga saling berlawanan.

Sukiman (kiri) mengaku dilibatkan bersama tapol lainnya untuk menggali fondasi bangunan monumen itu. BBC NEWS INDONESIA 
"Tetapi kami yakin kebersamaan itu, niscaya akan mencairkan sekat memori kolektif yang terbelah," tulis Moh.Asrofi, aktivis Lapesdam NU Blitar, dalam buku itu.
Farida pun meyakini, rekonsiliasi kultural itu, sangat bermanfaat karena setidaknya dapat meminimalkan kebencian di antara kedua pihak, sekaligus menghapus dendam.
"Dan saya akui, proses rekonsiliasi harus berlanjut, dan barangkali tidak akan pernah selesai. Silaturahmi harus terus berlanjut," kata Farida.
Upaya rekonsiliasi aktivis muda NU dan para penyintas 1965 di Blitar, terinspirasi oleh upaya yang dilakukan organisasi Syarikat, seperti dibahas di salah satu artikel dalam buku Keluar Dari Ekstremisme: Delapan Kisah "Hijrah" Dari Kekerasan Menuju Binadamai oleh PUSAD Paramadina.