Senin, 30 September 2019

Film Pengkhianatan G30S-PKI: Fakta Sejarah atau Propaganda Orba?


Oleh: Iswara N Raditya - 30 September 2019
Film-Film Indonesia yang diproduseri G.Dwipajana. FOTO/Istimewa


Film Pengkhianatan G30S/PKI kerap dikritik sebagai film propaganda Orde Baru yang melenceng dari sejarah.

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI hingga saat ini masih menjadi kontroversi lantaran sejarah peristiwa Gerakan 30 September 1965 belum terkuak sepenuhnya. Sinema yang diproduksi Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) pada 1984 ini kerap disebut sebagai propaganda ala rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto kala itu.

Semasa era Soeharto, film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini rutin diputar saban tahun dan dihentikan setelah rezim Orde Baru tumbang akibat gelombang Reformasi 1998.

Namun, beberapa tahun belakangan, beberapa pihak, bahkan pejabat negara dan stasiun televisi, kembali memutarnya. Pada 2017, Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI kala itu mengeluarkan instruksi kepada para bawahannya untuk nonton bersama film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.

Hal ini diikuti desakan agar stasiun televisi menayangkan film itu di gedung parlemen. Bahkan, acara nonton bersama yang digelar di lapangan tenis Markas Komando Korem 061/Suryakancan, Kota Bogor, pada 29 September 2017 saat itu juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang duduk di barisan terdepan bersama Gatot Nurmantyo.

Tanggal 29 September 2019 kemarin, SCTV menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Sebelumnya, film yang berdurasi cukup lama, yakni sekitar 4,5 jam, ini juga pernah diputar di layar kaca oleh tvOne.


Menuai Sukses Besar Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dibintangi oleh Amoroso Katamsi yang memerankan Mayjen Soeharto, Syubah Asa sebagai D.N. Aidit, Umar Kayam sebagai Presiden Sukarno, Bram Adianto sebagai Letkol Untung, Keke Tumbuan sebagai Ade Irma Suryani, dan sejumlah pelaku peran lainnya.

Skenario film ditulis oleh Arifin C. Noer sekaligus sebagai sutradara, bersama sejarawan andalan pemerintah Orde Baru kala itu, Nugroho Notosusanto. Majalah Tempo (1988) melaporkan, film ini menghabiskan biaya Rp800 juta dan menjadi film termahal di Indonesia pada dekade 1980-an.

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI pun disebut-sebut menuai sukses besar. Dikutip dari buku Permasalahan Sensor dan Pertanggungjawaban Etika Produksi (1997) karya M. Sarief Arief dan kawan-kawan, pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI menembus angka 699.282 penonton pada 1984. Ini merupakan rekor terbesar saat itu dan bertahan hingga lebih dari satu dasawarsa ke depan.

Gemilang dari segi bisnis, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI juga menggapai prestasi di industri film nasional. Film ini masuk dalam 7 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 1984 kendati hanya memenangkan satu Piala Citra untuk kategori Skenario Terbaik. Tak hanya itu, film Pengkhianatan G30S/PKI meraih pula Piala Antemas yang merupakan penghargaan khusus di ajang FFI saat itu sebagai Film Unggulan Terlaris periode 1984-1985.

Pengamat film Thomas Barker, dikutip dari tulisannya yang terhimpun dalam buku Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita? (2011) mengungkapkan bahwa penghargaan yang diraih film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan gabungan dari kepentingan negara dan FFI.

Film Propaganda Orba Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dianggap sebagai film propaganda Soeharto agar paham komunisme yang pernah besar di Indonesia, bahkan sempat menjadi tiga pilar kekuatan politik utama yang dirumuskan Bung Karno yakni Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), musnah untuk selama-lamanya di negeri ini.

Tidak semua kejadian yang disuguhkan di dalam film tersebut merupakan peristiwa yang sebenarnya. Banyak adegan yang didramatisir untuk mengesankan bahwa PKI dan komunisme merupakan ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.

Hal itu justru diakui sendiri oleh Amoroso Katamsi, pemeran Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.
“Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI saat itu, kadi memang ada semacam muatan politik,” ungkapnya kepada Tempo.co (30 Desember 2012).
“Memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” imbuh aktor kelahiran 21 Oktober 1938 yang pada 1990 diangkat sebagai Direktur PPFN oleh Presiden Soeharto ini.
Sejarawan Hilmar Farid, masih dikutip dari Tempo.co, menegaskan bahwa film ini adalah propaganda Orde Baru yang mewakili pandangan Soeharto tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dibumbui pula dengan sejumlah fantasinya.
“Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN dengan restu Soeharto,” sebut tokoh yang kini menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini
 Budi Irawanto, peraih Doktor Kajian Asia Tenggara bidang Film di National University of Singapore, menyebut film ini berhasil menjalankan fungsinya sebagai film propaganda dengan sangat baik dan sukses mempengaruhi sebagian besar alam pikiran rakyat Indonesia.
"Film Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah salah satu film terbaik dalam menyebar propaganda dan kebencian kepada musuhnya, PKI dan Gerwani [Gerakan Wanita Indonesia], dan itu tertanam dalam benak satu generasi," ujarnya dilansir Merdeka (29 September 2012).
Sang sutradara dan penulis skenario, Arifin C. Noer, juga pernah berkeluh-kesah tentang film garapannya ini. Ia mengakui harus bertarung dengan idealismenya sendiri saat menggarap film Pengkhianatan G30S/PKI. Hal tersebut sempat diungkapkan sang istri, Jajang C. Noer, yang mengatakan bahwa suaminya rela berkeliling mencari narasumber dari pihak PKI untuk memperkaya referensi, namun hasilnya nihil.

Arifin juga merasa kreativitasnya dipangkas. Alhasil, ia merasa gagal lantaran cita-citanya menjadikan Pengkhianatan G30S PKI menjadi film pendidikan yang punya nilai humanis tidak pernah tercapai.

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang selalu diputar ulang setiap tahun sejak dirilis akhirnya dihentikan seiring terjadinya Reformasi 1998 yang memungkasi era kekuasaan Soeharto.

Setelah nyaris tanpa gaduh selama bertahun-tahun berikutnya, film propaganda ini justru mulai diputar kembali di masa kepemimpinan Presiden Jokowi yang kerap disebut-sebut merupakan antitesis Orde Baru.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz

Tirto.ID 

0 komentar:

Posting Komentar