Sabtu, 21 September 2019

Solo dan Madiun (2)


Oleh: R. Kreutzer


Mengingat organisasi FDR di Madiun relatif kuat dan tangguh, maka pucuk pimpinan FDR di Yogyakarta mengambil keputusan untuk menggunakan Madiun sebagai basis kekuatan bila terjadi sesuatu kejadian. Sehubungan dengan itu Madiun harus diperkuat dengan kesatuan-kesatuan kekuatan bersenjata yang bersedia mempertahankan dan membela FDR [51].

Di Madiun sudah ditempatkan beberapa kesatuan TNI yang pro-FDR/PKI. Juga ada beberapa pasukan yang diambil dari garis demarkasi – yang merupakan tapal batas antara daerah kekuasaan Republik dengan daerah yang diduduki oleh tentara Belanda – sebab pertahanan Madiun pada waktu itu dianggap menjadi lebih penting daripada pertahanan garis demarkasi.

Pucuk pimpinan FDR juga mengeluarkan perintah-perintah khusus untuk merealisasi secepat mungkin program agraria di daerah Madiun, seperti pembagian tanah yang lebih adil. Demikian pula soal bagi hasil untuk memperbesar pengaruh FDR Madiun secara politis dan ekonomis di kalangan rakyat, sambil menelanjangi tingkah laku Kabinet Hatta. Madiun harus menjadi basis kekuatan yang tidak terpatahkan [52].

Akan tetapi agak tidak menguntungkan bagi FDR/PKI, sebab daerah Madiun sudah sejak awal September 1948 sudah dirembesi (diinfiltrasi) oleh kesatuan-kesatuan tentara dan kelompok-kelompok bersenjata yang anti-komunis, serta yang berdiri di belakang Pemerintah Hatta. Corps Polisi Militer yang anti-komunis langsung mengambil tindakan keras terhadap golongan buruh yang melakukan pemogokan di Kotapraja Madiun. Juga Polisi Militer melakukan pengejaran terhadap anggota-anggota SOBSI.

Menjelang pertengahan September 1948 PKI telah mengundurkan diri dengan semua kekuatannya ke basisnya yang terakhir, Madiun. Seandainya dia kalah di sini dan kehilangan Madiun, maka kedudukannya di bagian-bagian lain di Indonesia juga akan terjepit secara nyata. Kira-kira dalam waktu yang bersamaan tersiar berita yang bersumber pada bagian informasi FDR sendiri maupun dari beberapa pejabat Kepolisian Negara, yang menunjukkan dengan meyakinkan bahwa CPM, kesatuan-kesatuan Siliwangi (misalnya Brigade Tengkorak) dan kesatuan-kesatuan Polisi Negara menyiapkan gerakan-gerakan operasional untuk melucuti barisan-barisan bersenjata, kesatuan-kesatuan tentara yang bersimpati kepada FDR/PKI.

Dan setelah itu barulah pimpinan FDR/PKI. Benar saja. Sekira waktu itu kesatuan Siliwangi mulai memindahkan pasukannya secara berangsur-angsur ke Madiun. Di kalangan masyarakat beredar desas-desus bahwa pasukan ini akan melucuti barisan bersenjata TNI pro-FDR, yang menentang penetapan Presiden No.13.
Penduduk juga memperhatikan bahwa pada hari-hari belakangan secara mencolok banyak Polisi Militer dan kesatuan-kesatuan Siliwangi melakukan patroli di dalam Kota Madiun. Kesatuan itu ada juga yang mengawal bagian kota tertentu. Kesatuan-kesatuan bersenjata FDR yang dikonfrontasikan dengan kegiatan-kegiatan dari Polisi Militer dan kekuatan-kekuatan Siliwangi, telah bersiap siaga menghadapi serta mempertahankan hak hidupnya dari posisinya yang terakhir di Madiun. Bahkan mereka telah siap tempur untuk menukar posisi bertahan (defensif) menjadi posisi menyerang (offensif) apabila itu perlu, dalam arti bahwa “menyerang adalah pertahanan terbaik”. Keadaan menjadi tambah gawat (kritis) [53].

Anderson melukiskan posisi pimpinan FDR/PKI yang menyesakkan dada itu sebagai berikut: “Keadaan makin memburuk. Berita diterima bahwa Siliwangi dan Barisan Banteng telah mengalahkan Divisi Senopati di Solo padang tanggal 17 September dan sedang mengadakan persiapan untuk menyerbu ke pusat pertahanan Pesindo di Madiun, guna menyempurnakan kemenangannya. Dalam keadaan seperti ini para pemimpin laskar dihadapkan kepada dua tindakan yang mungkin diambil: Mereka dapat memutuskan untuk bersikap demikian pasif dan tidak melawan, serta membiarkan tentara pro-Pemerintah menghancurleburkan organisasi kemiliteran mereka di Madiun, dan di mana saja atas pertimbangan memelihara keamanan dalam negeri, atau mengambil alih kekuasaan Pemerintah Republik di dalam Kepresidenan... dimana orang-orang FDR sudah pasti lebih berdominasi di dalam ibukotanya... dan kebenaran petunjuk untuk mengambil keputusan dramatis itu akan dapat menyelamatkan mereka dan akan memadai efeknya untuk menghentikan gerak maju pasukan-pasukan pro-Pemerintah”. [54]

Sumarsono menceritakan tentang tugas yang harus dijalankannya untuk di luar kota Madiun menghubungi bagian anggota Pucuk Pimpinan FDR/PKI yang masih mengembara di daerah Madiun guna menerima instruksi-instruksi lebih lanjut. Sumarsono dan pimpinan FDR/PKI yang sedang mengembara waktu itu mengambil kesimpulan bahwa FDR/PKI harus mendahului dan melucuti senjata CPM, Polisi Negara, dan Siliwangi, sebelum mereka sebaliknya dapat melucuti senjata kesatuan-kesatuan tentara tertentu yang memihak FDR. Akan tetapi tidak ada instruksi sama sekali untuk menduduki jabatan, instansi-instansi dan kedinasan-kedinasan pemerintah, apalagi mengambi alih kekuasaan [55].

Pada pagi-pagi sebelum fajar tanggal 18 September 1948 FDR/PKI mulai melancarkan serangan terhadap unsur-unsur pemerintahan pro-Hatta di dalam kota Madiun. Dalam beberapa jam saja urusan itu cepat diselesaikan, tanpa setetes darah pun yang tertumpah. Maka kota Madiun sudah di bawah kontrol FDR/PKI. Kemudian ternyata bahwa seorang Kapten dari tentara pro-Hatta tewas. Akan tetapi itu disebabkan oleh peluru nyasar [56].

Setiajid dan Wikana berada di Madiun. Dan mereka memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan baru, yang dinamakan Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun, tatkala mereka untuk pertama kalinya mendengar tentang kejadian-kejadian yang dramatis di Madiun, ketika Sumarsono sedang berpidato melalui radio dengan semangat dan penuh antusiasme. Pada malam harinya disiarkan komentar dalam bahasa Belanda melalui Radio Gelora Pemuda. “Madiun telah memberontak untuk menumpas semua musuh revolusi. Polisi, Polisi Militer, dan tentara telah dilucuti senjatanya oleh rakyat. Kaum buruh dan tani telah membentuk suatu pemerintahan yang baru. Senjata-senjata tidak diam sebelum seluruh Indonesia dibebaskan. Dan revolusi sudah berbunyi.” [58]

Jika komentar tersebut benar, ternyatalah bahwa para pemimpin FDR/PKI setempat telah mengambil keputusan atau inisiatif sendiri tentang peningkatan kegiatan. Pemimpin-pemimpin FDR/PKI yang sedang mengadakan perjalanan (tourne) seketika menghentikan kegiatan mereka dan segera berangkat ke Madiun.

Setibanya di sana, baru saja 20 jam sesudah dimulainya operasi, mereka mengadakan rapat untuk mendiskusikan situasi yang tidak diduga-duga itu. Tetapi sebelum mereka sempat memberikan keterangan pers, mereka juga telah dihadapkan dengan fakta kedua yang tak terduga. Yakni, pda tanggal 19 September 1948 pukul 8 malam Presiden Sukarno menyatakan perang dengan “PKI Musso”. Dalam pidato radionya ia antara lain mengucapkan: “teranglah sudah bahwa kegiatan-kegiatan itu hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menjatuhkan Pemerintah Republik Indonesia... kemarin malam Musso dari PKI telah melancarkan sebuah kup. Di Madiun pemerintah yang sah dikuasai dan dibentuk sebuah Pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso.” Sukarno menyuruh rakyat Indonesia membuat pilihan antara “Musso dengan PKI-nya yang akan membawa cita-cita kemerdekaan Indonesia kepada kehancuran atau Sukarno dan Hatta yang dengan bantuan atau restu Tuhan yang memimpin negara kepada Indonesia yang merdeka, bebas dari semua penguasaan asing”.

Adalah tidak jelas apakah Sukarno pada saat itu sudah mengetahui tentang usul kompromi atau pendekatan dari pihak FDR/PKI yang berisi, bahwa mereka hanya membatasi diri sampai pendudukan kota Madiun saja sebagai imbalan dari pihak penguasa di Yogyakarta untuk sungguh-sungguh menerima elemen-elemen yang progresif di dalam pemerintahan. Akan tetapi Pemerintah Hatta sudah kegirangan dengan terbukanya kesempatan yang sangat baik dengan adanya usul kompromi itu untuk menyapu bersih kaum kiri dari muka bumi, tentu saja setelah kini dia jauh lebih kuat. Belum tentu apakah kelak imbangan kekuatan akan lebih membaik, maka oleh karena itu lebih baik sekarang kemungkinan yang terbuka ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tambahan pula Kabinet Hatta sekarang ini sudah mampu memenuhi persyaratan dari Amerika untuk mendapatkan bantuan, seperti yang telah dikemukakan oleh Cochran pada waktu kunjungannya kepada Sukarno dan Hatta tanggal 19 September 1948 itu juga (barulah Sukarno mengucapkan pidato radionya. [59]

Musso atas pernyataan perang dari Sukarno itu memberi jawaban dengan segera secara tandas dan keras. Satu jam setengah setelah pidato Sukarno ia menjawab: “Selama tiga tahun ini rakyat sudah muak dan bosan terhadap Sukarno Hatta. Mereka dengan Belanda dan Inggris telah menjalankan politik kapitulasi dan sekarang ini sedang bergiat untuk lagi-lagi menyerahkan rakyat Indonesia kepada imperialisme Amerika.
”Musso merasa yakin bahwa rakyat Indonesia akan berdiri di pihaknya dan bukan di pihak “pengkhianat-pengkhianat” dan “tengkulak-tengkulak romusha, Sukarno-Hatta” [60]. Alers berkomentar atas pidato Musso begini: “Hal ini agaknya merupakan suatu cukilan jiwa politik yang paling buruk yang menandai sejarah bangsa Indonesia”. [61]

Sesudah itu jelas terlihat timbulnya suatu selisih pendapat antara Musso di satu pihak dan para pemimpin FDR/PKI yang lainnya di pihak lain. Hal ini dapat disimpulkan dari dua kenyataan. Yang pertama pidato Musso tersebut adalah keterangan Musso resmi yang paling akhir, yang keluar dari mulutnya sendiri. Hal kedua adalah munculnya para pemimpin FDR/PKI yang lain dengan pernyataan-pernyataan lain yang sifatnya agak lunak dan bernada seakan mengharapkan kerujukan. Sebagai contoh pada tanggal 20 September berucaplah Suripno lewat radio, bertalian dengan kata-kata Sukarno yang mengharuskan rakyat memilih antara Sukarno-Hatta atau Musso, bahwa rakyat “tidak diharuskan memilih, melainkan harus melanjutkan perjuangan kemerdekaan” [62].

Pada hari itu juga Djokosudjono menerangkan: “Affair Madiun bukanlah satu kup, dan bukanlah itu suatu usaha untuk membunuh Republik, akan tetapi itu adalah suatu upaya untuk mengecilkan pengaruh anasir-anasir kolonial dan feodal.” Dan Amir Syarifuddin menyatakan: “Undang-undang Dasar kami adalah UUD RI, bendera kami adalah Sang Saka Merah Putih. Dan lagu kebangsaan kami tak lain dari pada Indonesia Raya” [63].

Akan tetapi blok yang dibentuk oleh Hatta, Nasution dan Masyumi tidak mau tahu tentang perujukan atau kompromi dengan “kaum kiri”. Mereka sudah berniat dan berketetapan hati untuk menaklukkan kaum kiri. Bukankah sudah terbuka kesempatan yang mereka nanti-nanti dan yang telah mereka provokasikan sendiri. Bahkan tatkala Letkol. Suharto datang ke Yogyakarta [64] dengan membawa konsepsi kompromi yang jelas atas perintah Pak Dirman, setelah menyelidiki masalahnya dan menerangkan situasi di Madiun lain “daripada apa yang oleh Pemerintah diumumkan lewat radio” untuk diketahui oleh masyarakat, tetap saja Hatta, Nasution, dan pimpinan Masyumi menolak untuk berbicara dengan para pemimpin FDR/PKI [65].

Mereka yang akan memilih Musso harus dibunuh dan barang siapa yang memilih Sukarno harus memusnahkan mereka sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh ada kerja yang setengah-setengah [66]. Muryanto menerangkan tidak ada sama sekali “kup” di Madiun. Keadaan di kota itu selama ini tenang dan biasa-biasa saja. Tidak ada orang yang ditangkap dan dibunuh. Menurut Muryanto yang ada ialah cuma suatu sengketa militer, yang digerakkan oleh Hatta untuk menyerang dan mengamuk [67].

Bahan-bahan keterangan (informasi) yang baru tentang peristiwa Madiun menjurus kepada suatu kesimpulan, terutama bagi penulis bahwa sudah terang dan nyata di Madiun tidak ada suatu perebutan kekuasaan (coup d’etat). Paling banter orang dapat berbicara tentang penguasaan kota (stadsgreep, “bukan staatsgreep”).
Tidak ada perencanaan untuk menggulingkan Pemerintah Hatta. Yang ada cuma upaya FDR/PKI untuk bersama kekuatan bersenjata dan tentara yang anti-rasionalisasi mengubah iklim dan suasana, serta menghentikan serangan blok reaksioner dan kontra-revolusioner bentukan Hatta, Nasution, dan pemimpin Masyumi.

Suatu fakta nyata adalah bahwa pemerintah dengan mudah saja dapat menangkap sejumlah besar pemimpin dan anggota FDR/PKI di Yogyakarta. Hal mana lebih meyakinkan tentang tidak adanya rencana coup d’etat. Bahkan wakil-wakil yang duduk dalam Badan Pekerja KNIP hadir dalam suatu sidang badan tersebut yang diadakan ada tanggal 20 September 1948 [68]. Orang-orang yang merenanakan coup pasti tidak akan bertingkah seperti itu, melainkan mereka semuanya akan menghilang.
Hari-hari berikutnya pemerintah masih juga dengan sama gampangnya dapat menangkapi ribuan politisi, orang-orang serikat buruh, wartawan dan lainnya [69]

Ada lagi fakta, yang dari padanya orang dapat menarik kesimpulan bahwa tidak ada permasalahan “kup”, sebab banyak yang mengetahui bahwa sebagian pemimpin FDR/PKI bepergian dalam tourne, sedang bagian yang lain tenang saja berada di Yogyakarta.

Hatta memerintahkan tindakan kekerasan dan berdarah tanpa mengenal kompromi dan ampun lagi. Kota Madiun telah ditaklukkan dalam tempo 10 hari oleh kesatuan-kesatuan tentara pemerintah dengan berintikan Divisi Siliwangi. Setelah perlawanan gigih para pemimpin FDR/PKI terpaksa menyingkir bersama-sama dengan pasukan mereka yang kecil saja. Mereka dikejar dan kesudahannya ditangkap satu per satu. Musso gugur dalam suatu pertempuran sengit. Ia menghembuskan nafas yang penghabisan dengan senjata di tangan. Amir Syarifuddin, Maruto Darusman, Suripno, Djokosujono dan pemimpin-pemimpin lain pada bulan Desember 1948 ditembak mati oleh Gatot Subroto atas perintah Hatta.

Begitulah Indonesia telah kehilangan sejumlah pejuang-pejuang revolusionernya, patriot-patriot sejati yang berjuang bagi kepentingan rakyatnya. Akhirnya Indonesia melalui tangan-tangan Hatta, Nasution dan pemimpin-pemimpin Masyumi yang reaksioner, jatuh di bawah penindasan imperialisme Amerika. Untung saja sejumlah pemimpin-pemimpin PKI luput dari teror Hatta. Mareka kemudian menjadi pemimpin PKI yang tertinggi.

Dan dalam proses dekolonisasi-ekonomi pada tahun 1958-an [70] mereka itu cukup mampu membuktikan tuduhan PKI dan para pengikutnya bukan patriot adalah tidak berdasar sama sekali. Di dalam perjuangan melawan imperialisme Amerika, Inggris dan Belanda pada tahun 1950-an dan 1960-an mereka teguh dalam garis paling depan di antara pejuang-pejuang sejati dalam melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.

Sebagai penutup berikut ini disertakan beberapa tambahan penjelasan yang terasa perlu mengenai hal-hal yang tersebut dalam tulisan ini yang dicukil dari catatan kaki (foot note) no.60 dan 70.

*Fasisme Jepang yang menduduki Indonesia dan seluruh Asia Tenggara membutuhkan tenaga kerja murah untuk mendirikan dan membuat sarana-sarana pertahanan. Mereka memaksakan kepada para penguasa (pemimpin) yang di bawah kontrol mereka di Asia Tenggara – kalau di Indonesia adalah Sukarno dan Hatta – untuk menyediakan tenaga kerja yang murah, dalam bahasa Jepang disebut romusha. Dalam praktek terjadilah “kerja perbudakan” yang bengis dan kejam. Puluhan ribu romusha mati lantaran kelaparan, kekurangan makan, penyakit-penyakit tropis yang tidak mendapat pengobatan. Juga banyak romusha yang mati lantaran kerja berat yang yang tidak berkeperimanusiaan, juga yang mati lantaran pemboman-pemboman yang dahsyat menjelang akhir perang. Musuh-musuh politik Sukarno-Hatta menganggap dua pemimpin itu menyerahkan bangsanya secara sukarela untuk menjadi romusha [60]

*Tahun 1958 semua milik Belanda di Indonesia dinasionalisasi. Dalam tahun 1963 terjadi nasionalisasi semua milik Inggris di Indonesia [70].

Catatan:

[44] Lihat catatan [18].
[45] Untuk keterangan Sumarsono, lihat catatan [7] dan untuk Suripno lihat catatan [38].
[46] Kahin, Nationalism and Revolution (Nasionalisme dan Revolusi), p. 287.
[47] Menurut keterangan-keterangan Sumarsono pada tanggal 11 November 1949 (lihat catatan kaki 7, p. 2).
[48] D.C. Anderson, “The Military Aspects” (Aspek-aspek Militer), p. 15.
[49] ibid.
[50] ibid.
[51] Keterangan-keterangan Sumarsono.
[52] ibid.
[53] ibid.
[54] D.C. Anderson, “The Military Aspects” (Aspek-aspek Militer), p. 25.
[55] Keterangan-keterangan Sumarsono, p. 5.
[56] Penuturan dari Moorianto.
[57] Keterangan-keterangan Sumarsono.
[58] Dinas Penyuluhan Pemerintah (RVD), Glashnews No. 2. Kup di Madiun – Kekhususan II, Batavia, 20 September 1948.
[59] Penuturan-penuturan Ruth Mc. Vey kepada D.C. Anderson - “The Military Aspects” (Aspek-aspek Militer), p. 27.
[60] Lihat keterangan tambahan (*).
[61] H.J.H. Alers, Om een rode of groene Merdeka: 10 jaren binnenlandse politiek; (Bagi Merdeka yang merah atau hijau; 10 tahun politik dalam negeri), Indonesia, 1943-1953, Eindhoven, 1956, p. 190.
[62] Kantor Berita Aneta, 20 September 1948.
[63] ibid.
[64] Keterangan-keterangan Sumarsono.
[65] Lihat juga Bintang Merah, Agustus-September 1951.
[66] Dokumen GMI No. 5334 – Terjemhan ke Bahasa Belanda dari pernyataan dari pengurus Dewan Pertahanan dari Pengurus Besar Masyumi 7 Oktober 1948.
[67] Percakapan dengan Moorianto pada tanggal 25 April 1979.
[68] Buku Putih tentang Peristiwa Madiun, Jakarta, tidak ada keterangan tahun.
[69] Percakapan dengan Parna yang juga termasuk salah seorang dari sejumlah besar tahanan.
[70] Lihat keterangan tambahan

(*).


Martin L Mau menanggapi soal Madiun dijadikan sebagai basis dan daerah pengunduran diri. Ada versi yang menyatakan, sejak Musso datang dengan Resolusi Jalan Baru-nya, FDR/PKI mempersiapkan dislokasi pasukan ke demarkasi. Bisa dibaca dalam "Yang Berlawan: Kumpulan Catatan Untuk Tambahan Bahan Studi", hlm. 195 yang ditulis oleh S. Kromorahardjo: ”Sebelum memulai Kampanye Jalan Baru, PKI sudah mempersiapkan dislokalisasi pasukan untuk memimpin dan mengorganisir rakyat melakukan perlawanan di daerah pendudukan Belanda. Dislokalisasi pasukan ini memiliki arti strategis, dimana rakyat akan melihat siapa pihak yang paling konsekwen berjuang melawan Belanda, sekaligus menciptakan situasi tidak stabil di daerah pendudukan Belanda. Dengan menguatnya dukungan rakyat terhadap PKI dan terciptanya situasi yang tidak stabil di daerah pendudukan Belanda ini maka praktis persetujuan gencatan senjata menjadi lumpuh dan persetujuan Renville menjadi terhapus." Mr. Siregar dalam dalam buku "Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah NAZI", hlm. 22, menulis: “Gagasan mengenai dislokasi pasukan berasal dari hasil-hasil percakapan antara Musso dengan kader-kader PKI seperti Jenderal Mayor Sudradjat, bekas kepala seksi amunisi Kementerian Pertahanan, Supeno, bekas Inspektorat Pemuda Biro Perjuangan, Nata, Bekas Ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia Keresidenan Kediri serta beberapa komandan-komandan pasukan yang mendukung PKI. Tidak lama setelah itu, sejumlah komandan lasykar rakyat bergerak menuju demarkasi. Resimen Tenggor yang dipimpin oleh Sugiri bergerak menuju Temanggung. Langkah dan tujuan yang sama juga dilakukan oleh batalyon eks-Pesindo Pekalongan, yang dipimpin oleh Mayor Mahmud. Konsolidasi antar pasukan semakin diintensifkan untuk mewujudkan perlawanan di daerah pendudukan Belanda ini. Satuan-satuan dari unsur Pesindo, Lasykar Buruh, Lasykar Merah dan Lasykar Rakyat yang selama ini berada di bawah berbagai panji, akan disatukan di bawah satu panji dan satu komando, yang akan diadakan pada Kongres Fusi bulan Oktober 1948."

0 komentar:

Posting Komentar