Hendri F. Isnaeni | Senin 30 Maret 2015 WIB
1. Kongsi Kaum Soska-Soski
Untuk alasan taktis, Sjahrir dan
Amir bersatu membangun Partai Sosialis. Sama-sama antifeodalisme dan
perjuangkan kesetaraan.
Amir Sjarifuddin (kiri) dan Sutan Sjahrir (kanan).
PADA 19 November 1945, anggota Pendidikan Nasional
Indonesia atau PNI-Pendidikan mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Cirebon.
Dalam pertemuan tersebut hadir Soebagio, Hamdani, Soemitro Reksodipoetro, Sastra,
Djohan Sjahroezah, Soegondo Djojopuspito, Soegra, Leon Salim, Kartamoehari,
Roesni Tjoentjoen, dan lain-lain.
Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mendukung Kabinet Sutan
Sjahrir-Amir Sjarifuddin, yang telah dilantik lima hari sebelumnya. Sjahrir
tidak hadir dan hanya mengutus pengikutnya, Subadio Sastrosatomo, Soepeno, LM
Sitorus, dan TB Simatupang.
PNI-Pendidikan didirikan pada 1932, sebagai tanggapan
Hatta dan Sjahrir terhadap pembubaran PNI pascapenangkapan Sukarno. Untuk
menyesuaikan dengan situasi politik yang baru semasa revolusi, PNI-Pendidikan
menjadi partai politik yang baru. “Akhirnya dalam pertemuan tersebut diputuskan
nama PNI-Pendidikan diubah menjadi Partai Rakyat Sosialis atau Paras,” tulis
Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Paras bertujuan: “menentang mentalitas kapitalistik,
ningrat dan feodal; melenyapkan otokrasi dan birokratisme; berjuang ke arah
masyarakat sama rasa sama rata; memperkaya semangat rakyat Indonesia dengan
pandangan demokratik, dan mendesak pemerintah untuk bekerja sama dengan semua
organisasi di dalam dan luar negeri untuk menggulingkan kapitalisme.”
Sementara itu, sebelum Paras berdiri, Amir Sjarifuddin
telah terlebih dahulu mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) pada 12
November 1945 di Yogyakarta. Tujuannya membentukVolksfront (front
rakyat) “guna mempertahankan dan memperkuat Republik; bekerja menuju
sosialisasi perusahaan-perusahaan besar, hutan-hutan, dan tanah; dan
meningkatkan industrialisasi, transmigrasi, ekonomi koperasi, mendorong
perbaikan pertanian, dan membentuk serikat-serikat buruh. Volksfront harus
menjadi sarana untuk mempersatukan kaum buruh, kaum tani, tentara, dan pemuda.”
Setelah Parsi dan Paras berdiri, Hatta selaku salah satu
pemimpin PNI-Pendidikan, juga mengadakan pertemuan di rumahnya di Jakarta
menyoal nama baru PNI-Pendidikan. Mayoritas peserta termasuk Hatta memutuskan
nama Partai Daulat Rakjat Indonesia. Akan tetapi, menurut Hatta dalam Pendidikan Nasional Indonesia, “mereka yang
berunding di rumah saya tidak mampu memperoleh cukup dukungan, dikalahkan oleh
yang lain, yang setuju dengan keputusan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin untuk
membentuk Partai Sosialis.”
Maka pada 16–17 Desember 1945, Paras dan Parsi mengadakan
kongres fusi di Cirebon. Kedua partai setuju bergabung karena antara Sjahrir
dan Amir tidak ada perbedaan prinsipil. “Terlebih, Sjahrir yang sangat sibuk
sebagai perdana menteri. Dia hampir tidak memiliki waktu untuk mengurus
organisasi,” tulis Soe Hok Gie, kelak menjadi anggota Gerakan Mahasiswa
Sosialis bagian dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalamOrang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Pada 17 Desember 1945 dilangsungkan kongres fusi. Sekira
57 anggota pimpinan dari kedua partai menyepakati penggabungan partai.
“Berdasarkan front rakyat, antikapitalisme, dan
antiimperialisme, sekali lagi di Cirebon, Parsi dan Paras bergabung menjadi
satu, Partai Sosialis. Sjahrir kini menjadi ketua partai yang baru, sedangkan
Amir Sjarifuddin menjadi wakil ketua,” tulis Mrazek.
Dalam obrolan tentang politik seringkali muncul “joke”
tentang Sjahrir dan pengikutnya yang disebut kaum “sosialis kanan”
(sosialis-demokrat) atau Soska. Sementara Amir dan kelompoknya datang dari
kalangan
“sosialis kiri” atau Soski. Penyatuan dua kelompok inilah
yang membentuk PSI.
2.
Satu Partai Dua Watak
Penggabungan dua
kelompok sosialis ini awalnya saling menguatkan. Goyah karena perbedaan terlalu
mendasar.
Delegasi Indonesia pada perundingan Linggarjati sedang berembuk di
halaman gedung pertemuan. (Ki-ka): J. Leimena, Moh. Roem, Soedarsono, Sutan
Sjahrir, Amir Sjarifuddin, AK Gani, Soesanto Tirtoprodjo. | Foto: Perpusnas RI.
PARTAI Sosialis
terbagi ke dalam beberapa kelompok yang menginduk kepada Amir dan Sjahrir.
Kelompok Surabaya terdiri dari kawan-kawan Amir dalam PKI ilegal, Gerindo,
Partindo, dan organisasi gerakan bawah tanahnya. Kelompok Yogyakarta berpusat
di sekeliling Wijono dan Muhammad Tauchid, yang terlibat dengan Amir mendirikan
Parsi.
Kelompok Cirebon
berakar pada PNI-Pendidikan dan hubungannya dengan gerakan bawah tanah Sjahrir.
Kelompok Jakarta terdiri dari pemuda metropolitan dan sahabat dekat Sjahrir.
Terakhir adalah kelompok kecil orang komunis yang baru datang dari Belanda, di
sana terlibat dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi.
Hubungan Sjahrir
dan Amir cukup baik, namun perbedaan dalam gaya dan pandangan cenderung
ditonjolkan oleh pengikut masing-masing. Menurut Indonesianis Ben Anderson, para
pengikut Sjahrir menganggap kawan-kawan Amir bersifat ndesa,
romantis, dan berpikiran “kacau”; sementara dalam kelompok Amir sering timbul
perasaan bahwa pengikut Sjahrir bersifat congkak dan enggan mengalami kesulitan
dan risiko
pekerjaan politik
praktis di tengah massa.
Watak dan
kepentingan dua sayap Partai Sosialis ini digambarkan dalam pembagian fungsi
dalam partai. “Amir yang sesungguhnya memimpin partai karena bakatnya dalam
pengorganisasian dan kebosanan Sjahrir terhadap urusan seperti itu,” tulis
Anderson. Pengikut Amir juga dipusatkan dalam dewan pimpinan, sekretariat, dan
badan komunikasi; sementara kelompok Sjahrir menguasai badan penerangan dan
badan pendidikan.
Menurut Gie,
walaupun pertentangan internal tidak muncul dalam Partai Sosialis, baik grup
Amir maupun grup Sjahrir memiliki rencana sendiri untuk mencapai tujuan
masing-masing. Persatuan Parsi dan Paras hanya berdasarkan antifasis dan
kepentingan bersama menghadapi Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangannya.
“Setelah bahaya ini hilang, persatuan yang terbentuk akan meretak,” tulis Gie.
3.
Ketika Tan Malaka Memilih Jadi Oposan
Sjahrir sempat
menawari Tan Malaka untuk memimpin Partai Sosialis. Lebih memilih di luar arena
kekuasaan.
Tan
Malaka dan Sukarni.
Sebelum Partai
Sosialis dibentuk, sebenarnya Sutan Sjahrir pernah meminta Tan Malaka untuk
menjadi ketuanya. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan
Malaka yang legendaris akan menguntungkan partai. Namun Tan Malaka menolak.
Menurut Sejarawan Harry A. Poeze
Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan
seorang revolusioner.
“Tan Malaka
mengatakan bahwa ‘saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial
demokrat.’ Dia juga tidak suka jabatan resmi. Dia ingin memberi gambaran bahwa
dia di atas partai-partai,” ujar Poeze.
Alih-alih
bergabung dengan Partai Sosialis, Tan Malaka malah mendirikan Persatuan
Perjuangan, aliansi 141 organisasi politik, yang mengadakan kongres pada 15
Maret 1946 di Madiun. Kelompok ini jadi oposisi yang paling sengit terhadap
kabinet Sjahrir. Kabinet Sjahrir menurut Tan Malaka terlalu lemah menghadapi
Belanda lewat politik perundingannya. Tan Malaka ingin agar Indonesia merdeka
100% lewat perjuangan bersenjata, sementara Sjahrir menghindari pertumpahan
darah.
Menurut Direktur
Center for Social Democratic Studies, Imam Yudotomo, Sjahrir bersama
kelompoknya mempunyai wawasan internasional yang cukup. Pada waktu revolusi,
mereka tahu persis bahwa yang dihadapi Indonesia bukan Belanda, tetapi Sekutu.
Jadi, strategi Sjahrir dan kawan-kawannya termasuk Amir, adalah berunding
menghadapi Sekutu.
“Sementara Tan
malaka tetap berjuang sampai Indonesia merdeka 100%. Oleh Sjahrir, ini dianggap
tidak realistis karena tidak mungkin melawan Sekutu yang baru saja menang
perang. Kalau meneruskan perang opini internasional pasti berada di tangan
Sekutu karena oleh dunia Sekutu dianggap sebagai pembebas dari fasisme. Opini
akan sangat tidak mendukung,” kata Imam, anak anggota Partai Sosialis, Muhammad
Tauchid.
Kabinet
Sjahrir-Amir semakin tertekan oleh Persatuan Perjuangan. Masyumi dan PNI juga
menyatakan tidak percaya karena Kabinet Sjahrir-Amir berkompromi dengan Barat.
Sjahrir mengundurkan diri pada 28 Februari 1946. Tidak lama kemudian Hatta
mengumumkan bahwa Sjahrir dipilih kembali menjadi formatur kabinet. Kabinet ini
mengumumkan Program Lima Pokok yang utama adalah “pemerintah berunding dengan
van Mook atas dasar pengakuan negara Republik Indonesia (100%).”
Usaha membentuk
kabinet koalisi gagal, karena menurut Anderson, kabinet “masih dikuasai oleh
pemimpin-pemimpin Partai Sosialis dan tokoh-tokoh nonpartai yang bersimpati
kepada gagasan-gagasan mereka atau dipertalikan kepada mereka oleh hubungan
keluarga.”
Kepada pengikut
setianya Aboe Bakar Loebis, Sjahrir mengeluhkan agitasi dari Persatuan
Perjuangan. Loebis dan temannya Imam Slamet, mendapatkan tugas melakukan
penangkapan dengan bekal surat yang ditandatangani dua menteri dari Partai
Sosialis: Amir Sjarifuddin dan Soedarsono.
Mayor Soenadi, komandan
Polisi Tentara di Madiun, melaksanakan tugas penangkapan itu. Pada 17 Maret
1946, Tan Malaka bersama pengikutnya, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Yamin
dan Sukarni, ditangkap dan baru dilepaskan pada 15 September 1948. Persatuan
Perjuangan praktis lumpuh dan dibubarkan pada 4 Juni 1946. Tetapi beberapa
gelintir pengikut Tan Malaka masih melakukan oposisi dengan menculik Sjahrir
pada 27 Juni namun segera dilepaskan karena Sukarno menuntut pembebasan
Sjahrir, dan melakukan kudeta yang gagal pada 3 Juli.
Untuk memulai
perundingan lagi dengan Belanda, Kabinet Sjahrir III dibentuk pada 2 Oktober
1946. Periode ini terjadi perundingan gencatan senjata di Jakarta pada 14
Oktober dan Perundingan Linggarjati pada pertengahan November 1946. Berdasarkan
Perjanjian Linggarjati, Republik Indonesia diakui secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
“Dengan
Perjanjian Linggarjati, dari sama sekali tidak diakui, akhirnya Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra. Ini dimulai dari
daerah penting dulu,” kata Agustanzil
Sjahroezah, anak
pendiri dan sekretaris jenderal PSI, Djohan Sjahroezah.
Kelompok oposisi
yang bergabung dalam Banteng Republik Indonesia menentang Perundingan
Linggarjati. Sayap Kiri –koalisi Partai Sosialis, PKI, Partai Buruh Indonesia,
dan Pemuda Republik Indonesia (Pesindo)– semula mendukung Perundingan
Linggarjati. Namun, mereka mencabut dukungannya setelah Sjahrir berpidato radio
pada 19 Juni 1947 yang menyatakan persetujuannya untuk mengakui, selama masa
peralihan, kedudukan khusus wakil Mahkota Belanda dalam memerintah di
Indonesia.
Menurut Subadio
Sastrosatomo dalam “Sjahrir: Suatu Perspektif Manusia dan Sejarah,” Sayap Kiri
yang didominasi komunis, tidak dapat menerima kebijaksanaan Sjahrir karena
Sjahrir bukan komunis. “Dia mengadakan pidato tadi dengan tidak minta
persetujuan dulu dari Sayap Kiri. Atas pertimbangan ini Sayap Kiri menolak
kebijaksanaan Sjahrir,” tulis Subadio, termuat dalam Mengenang Sjahrir.
Sjahrir
meletakkan jabatan pada 27 Juni 1947. Dia kemudian menjadi penasihat presiden.
Bertugas mengemban misi diplomasi ke berbagai negara dan memimpin delegasi
Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Amerika Serikat.
4.
Bubarnya Kongsi Sosialis
Partai kaum sosialis
ini bubar di pengujung zaman revolusi. Amir dan Sjahrir memilih jalannya
masing-masing.
Ketua umum PSI, Sutan Sjahrir, berpidato dalam rapat umum PSI di
Lapangan Merdeka, Jakarta, 12 Juni 1955.
Foto: Perpusnas RI.
Foto: Perpusnas RI.
SEBAGAI pengganti
Sjahrir, Sukarno mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri dalam dua
kali periode (Juli 1947-Januari 1948). Ini diduga karena Sukarno-Hatta
memerlukannya untuk perundingan selanjutnya dengan Belanda. “Ada kegetiran
antara Sjahrir dan Amir, yang secara luas dianggap sebagai meninggalkan Sjahrir
untuk menjadi perdana menteri,” tulis Mrazek.
Tapi kemudian Amir juga jatuh. Dia
menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948 karena Perjanjian Renville. Masyumi
dan PNI menarik diri dari kabinet, tentara kecewa karena harus hijrah
meninggalkan kantong-kantong pertahanannya. Kelompok Sjahrir mengkritik
Perundingan Renville karena secara de facto wilayah Indonesia yang diakui tinggal
sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Apa yang
dilakukan Amir terhadap Sjahrir (menentang Perundingan Linggarjati, red), kita lakukan begitu terhadap Amir dalam
Perundingan Renville,” kata LM Sitorus, pengikut Sjahrir yang menduduki bagian
organisasi Partai Sosialis, dalam wawancara dengan Yuwono DP pada 6 September
1989.
Presiden Sukarno
menunjuk Hatta untuk membentuk kabinet baru. Amir melancarkan oposisi dengan
membentuk Front Demokrasi Rakyat, gabungan partai dan organisasi Sayap Kiri:
Partai Sosialis, PKI, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan
Barisan Tani Indonesia.
Tokoh gaek PKI, Musso tiba di
Yogyakarta pada Agustus 1948 dengan membawa misi baru Kominform –perubahan dari
Komintern pada 1947– dari Moskow. Dia mendorong fusi tiga partai bermazhab
Marxisme-Leninisme: Partai Sosialis, PKI ilegal, dan PBI, menjadi PKI. PKI
kemudian memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan pemerintahan front
nasional. Pecahlah Peristiwa Madiun 1948. (Baca: Akhir
Tragis Republik Komunis)
Sementara itu,
kelompok Sjahrir menyadari telah menjadi outsider dalam Partai Sosialis. Jika meneruskan perjuangan di dalam, mereka
pasti dipecat. Sebelum dipecat, mereka keluar dari Partai Sosialis dan
mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 12 Februari 1948. Sedangkan kelompok
Amir mempertahankan Partai Sosialis.
Menurut Gie,
perpecahan Partai Sosialis memiliki arti mendalam. Amir merupakan gas,
sementara Sjahrir merupakan rem. Partai Sosialis berjalan tanpa rem menjadi semakin
radikal. Sementara itu, PSI yang kurang memiliki gas dalam perjuangan politik
akhirnya mandek serta kehilangan vitalitas dan keberanian dalam merintis
pemikiran-pemikiran politik baru. Tujuh tahun setelah berdirinya, PSI memfosil
dan dikalahkan dalam pemilihan umum 1955.
0 komentar:
Posting Komentar