I Nyoman Darma Putra* | 22 Maret 2015
Setiap menjelang perayaan
Nyepi, koran Bali Post menurunkan Tajuk Rencana tentang Nyepi.
Lewat tulisan itu, koran
sebagai pembentuk opini masyarakat menyampaikan pesan yang dianggap penting
untuk direnungkan.
Membaca Tajuk Rencana
mereka, kita bisa mengerti, apa yang penting dan mendesak diungkapkan saat itu;
bagaimana situasi sosial masyarakat yang menjadi titik tolak pesan sosial itu.
Kebetulan saya mendapatkan
Tajuk Rencana koran Suara Indonesia (nama lama Bali Post) yang terbit 2 Maret
1965 (sehari menjelang Nyepi), dan Tajuk Rencana Bali Post yang terbit Jumat,
20 Maret 2015, juga sehari menjelang Nyepi. Kedua ulasan Tajuk Rencana koran
ini ternyata menyampaikan pesan yang bertolak dari spirit sama yaitu perayan
Nyepi atau Tahun Bari Icaka sebagai momentum untuk introspeksi.
Meski spiritnya sama,
istilah yang digunakan berbeda. Konteks sosial yang menjadi latar belakang
penulisannya pun terang berbeda. Seperti apa?
Selfkoreksi dan Mulat
Sarira
Walau spirit yang digemakan sama-sama ihwal introspeksi, istilah yang digunakan
berbeda. Tajuk Rencana Suara Indonesia (nama lama Bali Post) menggunakan
istilah ‘selfkoreksi’, sedangkan koran Bali Post dalam Tajuk Rencana-nya yang
dimuat sehari menjelang Hari Nyepi 2015 menggunakan istilah “mulat sarira”.
Keduanya bersinonim untuk
menegaskan arti penting melakukan introspeksi. Bedanya, istilah pertama berasal
dari bahasa Inggris, yang kedua dari bahasa Bali.
Dulu, kegandrungan memakai
bahasa asing tampak kuat. Mungkin kena pengaruh Presiden Sukarno yang sering
dengan fasih menyelipkan bahasa atau istilah-istilah asing dalam pidatonya.
Kini, dalam suasana menguatnya identitas kedaerahan, dalam suasana promosi Ajeg
Bali, penggunaan bahasa Bali yang menguat.
Tajuk Rencana untuk Nyepi
1965 berisi saran dan juga sentilan perlunya semua lapisan masyarakat untuk
melakukan selfkoreksi. Tanpa selfkoreksi, tujuan revolusi tidak akan tercapai.
Datangnya Tahun Baru Caka merupakan masa baik untuk selfkoreksi agar tercapai
cita-cita revolusi bangsa dan negara.
Pesan pentingnya selfkoreksi dalam kaitan cita-cita bangsa dan suasana politik waktu itu bisa dibaca dalam kutipan berikut: “Mudah-mudahan ini direnungkan di dalam kita memasuki tahun baru Icaka, di dalam meningkatkan bakti meneruskan revolusi Indonesia di atas dasar garis Manipol/USDEK”.
Manipol/USDEK adalah
selogan dan istilah politik Presiden Sukarno. Manipol berarti ‘menipesto
politik’, sedangkan USDEK singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Inilah tafsir otoritatif Presiden Sukarno atas Pancasila. Masyarakat diingatkan
untuk selalu ingat dan setia pada cita-ciita dan gerakan politik Bung Karno.
Di dalam Tajuk Rencana itu
tersurat peringatan agar sesama warga masyarakat atau kelompok tidak saling
menyalahkan, tidak saling lempar tanggung jawab. Tidak boleh mengklaim diri
benar, sebaliknya orang lain salah. Kalau itu dilakukan, akibatnya adalah
‘cekcok’. Tujuan revoljsi bangsa dan negara tidak akan tercapai.
Peringatan di atas bisa
dilihat sebagai suasana tidak akurnya dua kekuatan besar pada zaman itu, yaitu
antara PKI dan PNI. Di Bali, konflik keduanya terkenal tajam, dan akibatnya
bisa dilihat dari kerasnya pengganyangan orang yang diduga terlibat atau
pro-PKI pascagerakan 30 September 1965. Jika pesan dalam Tajuk Rencana disimak,
jelas bisa dibayangkan adanya polarisasi kelompok pada saat itu.
Sebagai media yang mencoba
adil dan objektif, Suara Indonesia, menggaungkan pesan ‘selfkoreksi’. Andaikan
pesan Nyepi ‘selfkoreksi’ itu diwujudkan secara tulus ikhlas, bisa jadi
pemberangsun tahun 1965/66 tidak seganas yang telah terjadi.
Kondisi Sosial Berbeda
Pada 2015, kondisi sosial politik bangsa dan di Bali berbeda dengan apa yang
terjadi lima puluh tahun sebelumnya. Dewasa ini, Bali dan juga daerah lain di
muka bumi menghadapi berbagai persoalan lingkungan dan energi.
Polusi terjadi di
mana-mana, krisis energi menjadi wacana hangat. Kemiskinan merupakan paradoks
kemajuan, dan ini juga terasa di Bali. Kerusakan lingkungan mengancam di
berbagai tempat, dan di Bali hal itu sering digaungkan dengan menjadikan contoh
rencana proyek reklamasi Teluk Benoa sebagai bentuk investasi yang dinilai akan
merusak alam Bali.
Menulis Tajuk Rencana dalam
situasi sosial politik dan ekonomi demikian, Bali Post tampil mengguanakan
istilah yang tidak jauh berbeda dengan yang digunakan pendahulunya tahun 1965,
yaitu spirit instrospeksi. Hanya saja istilah yang digunakan bnukan
‘selfkoreksi’, tetapi “mulat sarira”, bahasa Bali yang artinya melakukan
refleksi diri, sinonim dengan introspeksi.
Pada halaman depan koran
Bali Post edisi Jumat, 20 Maret 2015, istilah mulat sarira digunakan beberapa
kali, boleh dikatakan sebagai ‘kata kunci’ pesan Nyepi tahun 2015. Konsep mulat
sarira dijadikan landasan untuk mendorong masyarakat agar dalam perayaan Nyepi
dan khususnya pembuatan serta pengarakan ogoh-ogoh jangan sampai berlebihan.
Untuk apa membuat ogoh-ogoh mahal-mahal jika masih banyak rakyat miskin. Untuk
apa menggunakan bahan gabus membuat ogoh-ogoh kalau itu susah hancur dan
berakibat buruk pada lingkungan.
Kedua pedulian itu diangkat
dengan lugas untuk mendorong masyarakat Bali melakukan introspeksi, mulat
sarira. Introspeksi penting untuk mengevaluasi lakon hidup setahun sebelumnya,
agar ke depan bisa menjadi lebih baik.
Tajuk Rencana 2015 juga
mengangkat poin tradisi Nyepi sebagai praktik bernilai universal karena
memberikan sumbangan yang praktis dan positif pada kehidupan modern terutama
dalam gerakan pelestarian lingkungan dan hemat enegri. Nyepi sehari adalah
tindakan nyata menghemat energi dan mengurangi polusi udara (dan suara deru
mobil).
Nasional dan Global
Disebutkan dalam Tajuk Rencana itu bahwa inspirasional Nyepi nyata terlihat
dalam acara car free day, gaya hidup modern yang rekreasional sekaligus peduli
pada pelestarian lingkungan. Di berbagai kota, acara car free day berarti
kombinasi antara gerakan menghemat energi (BBM), mengurangi polusi, gerakan
olah raga dan rekreasi, serta peduli lingkungan.
Pesan perayaan Nyepi dari
tahun ke tahun tetap bertumpu pada spirit instrospeksi, tetapi karena konteks
sosial budaya berbeda, maka spirit yang sama tampak berbeda pula. Kalau pesan
‘selfkoreksi’ tahun 1965 menyiratkan pesan sosial politik yang tajam, pesannya
pada peran Bali dalam pembangunan sosial politik nasional, sedangkan ‘mulat
sarira’ lebih bersifat penekanan pada kontribusi Bali dalam pembangunan global,
universal.
Seperti apakah ke depan
lagi? [b]
Sumber
tulisan Dasar Bali.
* I Nyoman Darma Putra, Lahir, besar, dan tinggal di Padangsambian, Denpasar. Pernah tinggal di
Brisbane, Australia (1998-2002; 2007-2009). Saat ini Dosen Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya sekaligus Ketua Program Studi Magister
Kajian Pariwisata Universitas Udayana.
Sumber: BaleBengong
0 komentar:
Posting Komentar