Senin, 09 November 2015

Melintasi Masa: Dari Penyintas 65 Hingga Senyawa


Panggung Pembukaan Biennale Jogja XIII
November 9, 2015

Foto ilustrasi oleh: Kelas Pagi Yogyakarta

YOGYAKARTA – Tuti, Hartina, Elly, dan Murtini adalah anggota-anggota yang tersisa dari Ansambel Gembira Jakarta. Ansambel ini menjadi salah satu kelompok paduan musik di bawah Lembaga Musik Indonesia (LMI); salah satu komunitas kreatif Lekra di tahun 1960-an.

Keempat personel Gembira itu kini tergabung dalam kelompok baru bernama Dialita. Dialita yang merupakan akronim dari “Di Atas 50 Tahun” adalah salah satu kelompok paduan suara (choir) yang tampil di malam panggung pembukaan Biennale Jogja XIII di Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta (1/11).

Sebagaimana Ansambel Gembira, Dialita terdiri dari ibu-ibu paruh baya yang menggugah jiwa bangsanya lewat lagu-lagu patriotik seperti Asia Afrika Bersatu, Padi untuk India, dan Viva Ganefo.

Tiga lagu yang dibawakan dengan penuh energik dan semangat itu diciptakan komposer-komposer Indonesia di masa ketika Indonesia menjadi barisan depan memimpin Asia Afrika dalam perjuangan kemerdekaan. Lagu Viva Ganefo diciptakan Asmoro untuk memperingati keterlibatan Indonesia dalam New Emerging Force, sementara A. Ali menjadi pencipta lagu Padi untuk India yang berkisah bagaimana solidaritas rakyat Indonesia untuk India yang kekurangan pangan. Adapun lagu “Asia Afrika Bersatu” diciptakan Sudharnoto yang juga pencipta mars “Garuda Pancasila” yang kita warisi hingga sekarang.
“Lagu-lagu yang kami nyanyikan di panggung Biennale Jogja ini untuk merawat harapan dan semangat hidup. Kami berkumpul, melakukan kegiatan-kegiatan untuk kemanusiaan dan bernyanyi bersama. Keadilan, kebenaran, dan kedamaian adalah nilai-nilai yang kami perjuangkan,” kata Ucikowati (63) yang disambut tepuk tangan meriah penonton.
Dialita adalah keluarga besar penyintas di tahun-tahun malapetaka politik 1965. Menurut Bu Uci, dalam paduan suara Dialita terdapat satu nama yang menjadi legenda penyintas. 
“Bu Mujiyati itu generasi pertama penyintas. Bu Muji yang masuk dalam gelombang pertama dan juga paling terakhir keluar dari kamp Plantungan di Jawa Tengah,” cerita Bu Uci yang didapuk sebagai juru bicara Dialita.
Panggung Dialita di Biennale Jogja XIII adalah yang pertama dilakukan di luar Jakarta atau panggung ke 27 mereka selama bernyanyi sejak dibentuk 7 Desember 2012.

Di Biennale Jogja yang bertemakan Hacking Conflict (Meretas Konflik) paduan suara Dialita berada sepanggung dengan musik-musik eksperimental seperti Senyawa. Wukir Suryadi, salah satu pendiri Senyawa, menciptakan alat musik sendiri lewat jalan otodidak dari bambu tapi memiliki fungsi yang sama seperti gitar elektrik pada umumnya dengan suara yang meraung. Bahkan dalam penampilan pembuka, Wukir Suryadi & Lifepatch memperlihatkan ciptaan “gitarnya” yang dibentuk seperti senjata dan sekaligus panah api. Alat musik itu meraung-raung.

Senyawa adalah generasi musik terbaru yang sangat berbeda dengan musik yang dipertunjukan Dialita 65 yang muncul di era Soekarno. Berbeda pula dengan penampilan musik keroncong dari Orkes Nusa Permai.

Bayangkanlah orkes dengan lagu yang mendayu-dayu seperti “Jangan Ditanya Kemana Aku Pergi” yang dipopulerkan Broery Marantika bersanding dengan band heavy metal seperti Punkasila. Lagu-lagu ciptaan mereka barangkali terkesan “aneh”, tapi sarat dengan pesan-pesan kekerasan politik. Simak saja judul-judul lagu Punksila, antara lain Kopassus, TNI, RPKAD, Turba, PKI, Perang Singkatan, Manikebu, FPI, DOM, Bakorstanas/Bakin, hingga KFC.

Di panggung Biennale Jogja Punkasila menampilkan empat mesin motor bebek yang disulap menjadi suara-suara musik mereka. Raungan motor itu mengingatkan pendengar musik mereka yang keras dengan raungan suara berisik di jalan raya saat musim kampanye politik tiba. Atau bisa juga Punkasila sedang mengkritik dengan cara vulgar dan tajam bagaimana kendaraan motor menguasai jalanan kota di seluruh Indonesia.

Dari Dialita 65 hingga Senyawa dan Lifepatch, dari Orkes Nusa Permai hingga Punkasila menjadikan panggung pembukaan Biennale Jogja XIII merepresentasikan sebuah lintasan sejarah generasi yang panjang dan sekaligus menyandingkan yang bertolak dalam satu panggung bernama seni rupa dan kebudayaan.

0 komentar:

Posting Komentar