Selasa, 31 Mei 2016

Pelurusan Sejarah, dan Rekonsiliasi Tragedi 1965


31 May 2016


Upaya rekonsiliasi pelanggaran HAM berat yang dimulai dari rekonsiliasi tragedi 1965 mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Bahkan belakangan ini upaya rekonsiliasi tragedi 1965 yang diinisiasi oleh perwakilan pemerintah, akademisi dan LSM telah memunculkan wacana baru tentang kembalinya komunis atau PKI yang semakin marak diangkat oleh berbagai media.

Hal ini mengemuka sebagai akibat dari penyelenggaraan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang diadakan pada 18-19 April 2016 di Jakarta. Simposium tersebut didukung oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dengan panitia penyelenggara yang berasal dari Dewan Pertimbangan Presiden, Lembaga Ketahanan Nasional, Komnas HAM, Dewan Pers, berbagai LSM dan akademisi dari berbagai kampus.

Pengungkapan kebenaran merupakan langkah awal untuk menuju rekonsiliasi. Oleh karena itu, tujuan dari simposium ini adalah membahas tragedi 1965 dengan perspektif akademik ilmu sejarah dengan mengundang para sejarawan yang meneliti insiden 1965. Melakukan pembelajaran secara reflektif terhadap peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM dalam tragedi 1965 serta berusaha untuk menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Dalam refleksi di akhir acara juga disampaikan bahwa negara terlibat dalam insiden 65 dan hal ini dapat menjadi refleksi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya.

Berbagai aksi terjadi sebagai reaksi terhadap simposium nasional tragedi 1965. Di beberapa tempat, kepolisian dan tentara melakukan penyisiran, penginterograsian dan penangkapan terhadap warga yang mengenakan aksesoris atau pakaian yang diasosiasikan dengan lambang komunis. Selain itu, mereka juga merazia buku yang mempromosikan tentang komunisme. Hal ini juga didasari oleh pernyataaan Jokowi kepada pimpinan kepolisian, TNI AD, Badan Intelijen Negara dan Jaksa Agung untuk menindak segala bentuk penyebaran komunisme.

Sementara itu, di kalangan elit juga terjadi perdebatan khususnya ada beberapa petinggi militer dan menteri yang tidak setuju dengan simposium tersebut dan berusaha untuk menyelenggarakan simposium nasional anti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diadakan pada awal Juni 2016. Simposium mengambil tema “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain”.

Simposium ini bertujuan untuk menolak segala aspek yang dapat memicu kebangkitan PKI.  Simposium ini diinisiasi oleh Gerakan Bela Negara yang terdiri dari purnawirawan tentara, ormas Islam dan organisasi yang berlandaskan Pancasila. Meskipun simposium ini mengundang beberapa menteri dan perwakilan pemerintah namun yang dipastikan akan hadir dalam kegiatan adalah Menteri Pertahanan. Menkopolhukam menyatakan bahwa simposium ini dapat memberikan perspektif tambahan tentang tragedi 1965.

Upaya rekonsiliasi tragedi 1965 merupakan salah satu janji pemerintahan Joko Widodo untuk menuntaskan tujuh pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah dialami bangsa ini. Kasus HAM berat lainnya adalah kasus Trisaksi, insiden Semanggi 1, Semanggi 2, peristiwa Wasior di Papua, Insiden Talangsari, dan penembakan misterius.

Namun, upaya ini sepertinya tidak dapat berjalan dengan mudah karena harus mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, ada yang pro dan kontra. Berbagai perwakilan masyarakat sipil telah menyampaikan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo untuk tetap meneruskan upaya rekonsiliasi tragedi 1965 dan pelurusan sejarah.  Oleh karena itu, perlu ada langkah berani dari Presiden untuk tetap konsisten terhadap apa yang pernah disampaikannya kepada publik.

Pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah dan rekonsiliasi tragedi 1965 merupakan ujian awal bagi pemerintahan Joko Widodo untuk menuntaskan tujuh pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah menjadi beban sejarah bangsa ini. Apabila tragedi 1965 dapat diselesaikan pada masa pemerintahan saat ini maka hal ini dapat menjadi lesson learned untuk melakukan penyelesaian kasus HAM berat lainnya.

Lubendik Ramos, Research Associate The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

0 komentar:

Posting Komentar