Minggu, 29 Mei 2016

Horor 1965 di hutan jati

15:34 WIB - Minggu , 29 Mei 2016 |
Prima Sulistya Wardhani
 
Keterangan Gambar : Sejumlah nama tertulis di nisan kuburan massal eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Hutan Plumbon, Desa Wonosari, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah. © Tempo / Budi Purwanto
 
Kisah kuburan massal korban 1965 di Semarang, cerita para saksi mata, dan bagaimana generasi baru memulai pelurusan sejarah lewat sebuah nisan.
Supar pulang ke rumah dalam kondisi basah kuyup dan ketakutan. Kepalanya diisi gambaran manusia-manusia, orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI), yang bergelimang darah diberondong senapan. Darah mereka menyiprat di tanah, di tubuh lain, di bebatuan.

Ia melihatnya di tengah hutan gelap pada malam hari, karena tentara itu menyuruhnya menyorotkan senter ke lubang tempat mayat-mayat yang baru saja ambruk ditembaki. Supar menurut, mengarahkan senternya. Ada yang masih bergerak. Pelatuk ditarik kembali, peluru berhamburan lagi. Gemanya diredam bunyi deras hujan, lagi pula mereka berada di tengah hutan jati yang jauh dari perkampungan.

Beberapa jam sebelumnya, Supar adalah pemuda berusia sekitar 20-an tahun, yang penuh rasa ingin tahu. Keingintahuan itu yang membuatnya melempar permintaan pada Kasmijan agar diajak melihat eksekusi orang-orang PKI.
Kasmijan ialah juragan mebel tempat Supar bekerja. Ia salah seorang yang tahu bahwa malam itu, di hutan jati tentara akan membawa dan menembak orang-orang PKI. Kasmijan ditokohkan di kampungnya. Kalau ada acara-acara besar, ia pasti dilibatkan. Kabarnya, saat Agresi Militer II, Kasmijan lah yang memberi makan anak buah Gatot Soebroto dan Soepardjo Roestam ketika mereka bergerilya di Semarang.

Selain Kasmijan, orang lain yang tahu soal eksekusi malam itu ialah Radi, Lurah Mangkang, Kecamatan Tugu, Kabupaten Kendal --sekarang wilayah itu masuk teritori Kota Semarang. Juga yang tahu adalah para Hanra (pertahanan rakyat), semacam hansip.

Para pamong desa itu yang meneruskan perintah tentara: malam ini warga Mangkang Kulon yang jumlahnya 17 rumah tidak boleh keluar rumah. Semua orang menurutinya, kecuali Kasmijan. Dia tokoh, acap kebal aturan.

Supar (71), saksi mata eksekusi mati orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI), di Hutan Plumbo, Kendal, Jawa Tengah.
Supar (71), saksi mata eksekusi mati orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI), di Hutan Plumbo, Kendal, Jawa Tengah.
© Prima Sulistya /Beritagar.id
Kasmijan dan Supar lalu berjalan sejauh satu kilometer ke dalam Hutan Plumbon, nama hutan jati itu. Kasmijan tahu titiknya, sebab sudah ada lubang di sana, yang disiapkan untuk mengubur orang-orang PKI itu. Sampai di lokasi, mereka sempat menunggu, tentara belum lagi datang.

Kira-kira pukul 23, rombongan yang ditunggu datang. Satu praoto (truk) dan satu jip. Orang-orang yang sebentar lagi jadi mayat itu diturunkan dari truk. Selain calon-calon korban, ada satu sopir yang menyetir truk. Sedangkan dari jip, dua tentara RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) turun. Radi, si Lurah Mangkang, hadir di situ.

Di sana, Supar melihat orang-orang itu tangannya diikat satu sama lain, digandeng-gandengkan. Mereka lalu disuruh duduk mengelilingi dua lubang.
Ada lantunan ayat Quran terdengar dari seorang tahanan perempuan. Suaranya hilang setelah berondongan peluru meluncur dari senapan.
"Wis, patimu ki wis mesti saiki kiye, mpun saisa-isamu nyebut kalih sing kuasa (matimu sudah pasti sekarang ini, jadi silakan berdoa kepada tuhan sebisamu)," seorang tentara berseru kepada para korban.

Orang-orang itu ramai membaca ayat-ayat Quran sebisa mereka. Supar mendengar ada lantunan ayat Quran dari salah seorang perempuan. Bersamaan dengan itu, langit mulai menunjukkan tanda-tanda akan hujan deras.

Saat itu belum lagi pukul 24. Tanpa ancang-ancang, kedua tentara itu langsung memberondong orang-orang yang berdoa. Padahal, seharusnya, eksekusi dilakukan selepas tengah malam. Mereka memberondong secara serampangan karena suasana demikian gelap.

Setelah rangkaian tembakan pertama itulah Supar diperintah si tentara menyenteri mayat-mayat. Supar menurut, mengarahkan lampu. Ia menyaksikan pemandangan paling mengerikan dalam hidupnya. Dua belas tubuh, ia menghitung, dan rerata sudah paruh baya.

Setelah kedua tentara itu yakin semua orang-orang itu mati. Supar disuruh mencari tiga orang untuk menggali tanah guna menutup kubur. Ia pergi berlari dan mendapatkan tiga orang. Namun, hujan lalu turun deras, mengusir mereka semua. Lubang tak jadi ditutup. Mereka pulang.

Kasmijan sempat mengajak Supar wedangan (minum sambil mengobrol di satu tempat), tapi Supar sudah tak sanggup. Ia berkunang-kunang dan ketakutan. Basah kuyup ia pulang. Hingga tiga hari berikutnya ia tak sanggup makan.

Sukar (84, kiri) orang yang memakamkan korban tragedi 1965 dan Kelik, salah seorang warga Mangkang Kulon, di lokasi kuburan massal Plumbon (11 Mei 2016).
Sukar (84, kiri) orang yang memakamkan korban tragedi 1965 dan Kelik, salah seorang warga Mangkang Kulon, di lokasi kuburan massal Plumbon (11 Mei 2016).
© Prima Sulistya /Beritagar.id
Lubang yang belum ditutup menyisakan pekerjaan. Pagi harinya, Lurah Radi memanggil Sukar dan tiga lelaki lain. Sukar adalah cucu-menantu Radi. Mereka diminta menutup kubur orang-orang yang dieksekusi semalam.

Pukul 9 pagi. Sukar, Mukarmain, Sarimin, dan Sarmani berangkat masuk hutan. Pada akhirnya, hanya Sukar dan Sarimin yang mengerjakan penguburan. Di tengah jalan, Sarmani ketakutan membayangkan hamparan mayat dan pulang. Sedangkan Mukarmain jatuh pingsan melihat isi lubang itu. Ketika sadar, ia pulang pula.

Dua lubang dan 22 mayat menyibukkan Sukar dan Sarimin selama empat jam. Alih-alih ikut pingsan atau ketakutan, mereka berdua bahkan menata mayat yang bergelimpangan, dan mengeluarkan batu-batu yang ada di dalam lubang. Lubangnya tidak cukup, mereka harus gali satu lagi.

Sebelum pergi, Sukar mencari batang jarak dan menancapkannya di tanah untuk menengarai lokasi makam.

Beberapa tahun kemudian ada penebangan pohon di Plumbon --hutan itu milik Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Kendal. Sukar mendatangi orang-orang yang menebang, meminta agar pohon jarak di satu titik itu tidak ditebang. "Ini makam, jangan ditebang," kata dia.

Kini Hutan Plumbon masuk wilayah Desa Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Saat tragedi 1965 pecah, wilayah itu masih berada di bawah Kabupaten Kendal. Lokasi hutan jati itu memang melintasi perbatasan teritori Kabupaten Kendal dan Kota Semarang, Jawa Tengah.

Pada tahun-tahun selanjutnya juga ada orang-orang datang ke hutan itu. Mereka dari Kendal, datang dan pergi dengan cepat. Mereka berbeda dengan orang-orang lain yang suka menyepi di kuburan itu untuk mencari wangsit nomor togel. Tukang cari nomor biasa datang malam Jumat, sedangkan orang-orang itu kemungkinan adalah keluarga korban.

Dan memang ada keluarga korban yang ke sana. Mukran salah seorang di antaranya. Ia warga Kendal, mencari kuburan keponakannya yang bernama Surono, anggota PKI dari Kedungsuren, Kendal. Ia bertanya kepada kepada petugas Hanra, apakah benar Surono dibunuh di Plumbon. Mereka mengiyakan.
Informasi lain yang menguatkan datang dari Sujud, tapol yang sempat ditahan di kamp tahanan di Kawedanan Kaliwungu, Kendal. Ia sering mendengar celoteh bangga para tentara di depan selnya tentang siapa yang habis mereka bunuh dan lokasinya. 
Salah satunya tentang pembunuhan Surono. Surono dan orang-orang yang dibunuh di Plumbon itu adalah tahanan di Kamp Kaliwungu.

Tahanan Politik (Tapol) PKI di Pulau Buru, Maluku. Sebuah alur, dari penjara hingga tembak mati
Tahanan Politik (Tapol) PKI di Pulau Buru, Maluku.
© Amarzan Loebis /Tempo
Harusnya Sujud tak sampai ditahan di Kamp Kaliwungu. Ia sempat melarikan diri sebelum tentara menangkapi orang-orang. Ia lari bersama Subuh Adi Sasmito, Lurah Kedungsuren, Kabupaten Kendal, dan Aries Adiyanto alias Yanto, anak Subuh.

Sujud bukan anggota PKI dan tidak gabung organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Ia justru anggota PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Namun, Sujud dekat dengan Subuh yang anggota PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia) Jawa Tengah, sekaligus Sekretaris PKI Jawa Tengah. Subuh terhitung tokoh, pada peringatan hari kemerdekaan di tahun 1965, ia ikut upacara di istana. Sedangkan Yanto, putranya, anggota Pemuda Rakyat sekaligus personel marching band PKI Kendal.

Mereka sempat lari ke Boja, Kendal, untuk diteruskan ke Malang, ke tempat adik Subuh yang tentara tinggal. Namun, mereka mendengar kabar bahwa tentara sudah bikin pengumuman di desa. Isi pengumuman, Subuh harus serahkan diri atau desa akan dibumihanguskan.

Pengumuman itu menghentikan pelarian. Ketiganya berjalan kaki pulang ke Kaliwungu selama tiga hari, menginap di gua, dan makan pisang mentah curian. Mereka lantas menyerahkan diri ke pos Corps Polisi Militer (CPM) dan ditahan di Kamp Kaliwungu. Di sana, Subuh ditembak mati.

Di kamp itulah Sujud mendengar celoteh para tentara ketika mereka membunuh. Termasuk pembunuhan Surono di Plumbon. Info juga didapat Sujud dan Yanto dari Kasan, seorang Hanra (Pertahanan Rakyat). Kasan sering hadir di eksekusi, tapi tidak ikut membunuh. Ia membocorkan lokasi eksekusi dan siapa yang jadi korban.

Kala ada teman tahanan yang mati, sebelum mayat berbau mereka tidak akan melaporkannya ke penjaga, supaya jatah makannya tetap datang dan dibagi-bagi ke tahanan lain yang masih hidup.

Di Kaliwungu, sekitar dua ribu tahanan digilir eksekusinya tiap malam. Diambil dari kamar secara acak. Biasanya pengambilan itu terjadi pukul 12 - 3 malam. Yanto dan Sujud selamat dari eksekusi, tapi hidup di tahanan tidak lebih baik dari mati.

Selain karena siksaan dengan dipukuli memakai popor senapan, kayu, atau buntut ikan pari yang tajam, mereka juga disiksa rasa lapar. Catu makan hanya jagung yang serbasedikit, jumlahnya antara 40 - 80 biji. Satu sendok makan jagung biasanya berisi 30 biji jagung. Kala ada teman tahanan yang mati, sebelum mayat berbau mereka tidak akan melaporkannya ke penjaga, supaya jatah makannya tetap datang dan dibagi-bagi ke tahanan lain yang masih hidup.

Kamp Kaliwungu adalah tempat pertama pengumpulan para tahanan yang ditangkap di Kendal. Dari sini, tahanan yang belum kena eksekusi mati dibawa ke Kamp Padi Sentra. Katakanlah ada 500 orang masuk Kaliwungu, 100 dibunuh, sisa 400. Separuh dibawa ke Padi Sentra. Ruang kosong yang disisakan 300 orang yang mati dan dipindah itu lantas diisi tahanan baru. Begitu terus, semacam alur.

Dari Padi Sentra, alur selanjutnya ada dua pilihan: dibunuh atau dipindah ke penjara atau tahanan lain. 

Gelombang penangkapan baru berhenti ketika kekuasaan militer beralih dari RPKAD ke Marinir. Ketika Marinir berkuasa, orang sipil yang ikut membantu menangkapi orang-orang PKI, dilarang beraksi. Sebelumnya orang sipil ikut dilibatkan untuk membantu menjaring tangkapan. Termasuk mendata nama-nama orang yang harus ditangkap.

Dua tahun Yanto dipenjara. Ketika ditangkap usianya 24. Dari Kamp Kaliwungu ia dipindah ke Penjara Plantaran di Kaliwungu, lalu di Penjara Kendal. 

Pada 1968, ia dan tahanan lain bebas dengan cara yang aneh. Saat Marinir berkuasa, mereka masih jadi orang rantai, tapi bisa keluar masuk tahanan untuk mencari air atau kayu bakar. Lama-lama ada yang keluar dan tidak kembali. Suatu hari semua tahanan dikumpulkan, diberi surat bahwa mereka bisa pulang.

Tidak ada pengadilan atau putusan resmi bahwa mereka bebas. Ditahan dan dilepas seenaknya saja.

Eko Sutikno (70, kiri), salah seorang warga Mangkang yang dituduh PKI dan sempat ditahan hingga di Pulau Buru. Ia ditemani Aries Adiyanto alias Yanto (74, kanan), seorang anggota Pemuda Rakyat yang ditangkap pasca 1965, dilepaskan pada 1968. Foto diambil saat wawancara keduanya di rumah Yanto (11 Mei 2016).
Eko Sutikno (70, kiri), salah seorang warga Mangkang yang dituduh PKI dan sempat ditahan hingga di Pulau Buru. Ia ditemani Aries Adiyanto alias Yanto (74, kanan), seorang anggota Pemuda Rakyat yang ditangkap pasca 1965, dilepaskan pada 1968. Foto diambil saat wawancara keduanya di rumah Yanto (11 Mei 2016).
© Prima Sulistya /Beritagar.id
Di Kamp Kaliwungu ada seorang lagi teman Yanto dan Sujud, namanya Eko Sutikno, kelahiran 1940. Suatu hari di tahun 1966, Yanto mendengar petugas menyebut bahwa Eko sudah bisa bebas.

Bebas kakeane opo, arep dipateni (bebas apaan, mau dibunuh), batin yanto.
Eko memang tidak bebas, tetapi dipindahkan ke Penjara Kendal. Ia kemudian mampir di banyak tahanan: di Yogya, Ambarawa, Semarang, hingga Nusakambangan. Total, ia ditahan dari 1965 sampai 1979 (14 tahun). Eko bukan anggota PKI, pun tidak ikut organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Satu-satunya alasan ia ditahan lama sekali adalah kelakuannya yang mengesalkan, selalu melawan petugas setiap dihajar.

Pembangkangan Eko diganjar dengan pengiriman ke Pulau Buru, Maluku. Ia termasuk rombongan pertama yang dikirim ke pulau itu pada 17 Agustus 1969, bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Eko tapol nomor 69.

Kemungkinan, Eko ditangkap karena rekam jejak bapaknya. Bapak Eko seorang pedagang bandeng kaya di Kendal, yang dekat dengan PKI. Di rumah, bapaknya mengoleksi buku-buku Kiri, termasuk karangan-karangan Aidit. Mereka juga berlangganan Harian Rakjat, koran milik PKI. Bapaknya tidak ditangkap pada 1965, karena sudah lanjut usia.

Seminggu Eko berlayar dengan kapal AD 15. Di Buru, kehidupan lebih baik dibanding di penjara. Mereka cari makan sendiri lewat bertani dan beternak, dan bisa dapat uang dari menjual kayu tebangan. Kalau mau bekerja, tidak akan ada orang kelaparan di Buru.

Menebang satu pohon sagu sudah bisa memberi makan satu keluarga untuk tiga bulan. Ada banyak rawa yang ikannya besar-besar. Hanya saja, nyamuk, cacing, dan semak-semak di Buru membuat banyak tahanan sakit. Sakit kulit, kaki gajah, paru-paru basah, malaria, dan lain-lain. Eko menebak, hanya lima belas persen tahanan Buru yang benar-benar fit ketika mereka semua akhirnya bebas

Sastrawan, Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Foto diambil oleh Eko Sutikno, tapol asal Mangkang, Kendal. Eko dipersilakan punya kamera, dan membawa cukup banyak potret dari kamp tahanan Pulau Buru.
Sastrawan, Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Foto diambil oleh Eko Sutikno, tapol asal Mangkang, Kendal. Eko dipersilakan punya kamera, dan membawa cukup banyak potret dari kamp tahanan Pulau Buru.
© Eko Sutikno /Istimewa
Mulanya mereka tinggal di kamp yang dipagari kawat berduri. Belakangan peraturan melonggar, mereka diizinkan membangun rumah sendiri. Mereka juga bisa bepergian dengan seizin petugas. 

Eko bukan seorang komunis ideologis, ia pun biasa berbaik-baik dengan tentara. Kedekatan itu, membuat Eko bisa punya kamera dan banyak membuat potret. Saat dibebaskan pada 1979, Eko membawa setumpuk foto kenangan dari Buru.

Di antara kenangan itu tersisip nama Pram. Pram yang tersiksa karena tak ada bacaan selain buku-buku agama. Pram yang kegirangan setengah mati ketika diberi sebuah novel berjudul Ilona, karangan penulis Swiss bernama Hans Habe, yang ditemukan seorang tapol tergeletak di tepi pantai. Begitu girang hanya karena sebuah buku, bahkan meskipun itu buku berbahasa Jerman.
Ilona menyemangati Pram untuk menulis lagi. Seingat Eko, yang pertama Pram tulis adalah Mangir, sandiwara tiga babak. Lalu Arok Dedes

Sebagaimana Pram suratkan dalam memoarnya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, karya-karyanya di Buru adalah buah kerja komunal. Ada sumbangan Eko di Arok Dedes. Yakni pada fragmen ketika Ken Dedes diboyong Ken Arok dalam keadaan hamil tua.

Kata Eko, kisah itu sesungguhnya rekaan Pram yang terinspirasi kisah pengepungan Spartacus oleh Crassus dan Julius Caesar, yang istrinya tengah hamil tua. Eko yang gila film, menceritakan kisah itu kepada Pram. Ia menontonnya dalam film Hollywood, Spartacus (1960). Sutradara film itu adalah idolanya, Stanley Kubrick. 

Sumbangan Eko lainnya adalah foto-foto yang bisa pembaca jumpai dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Dalam buku terbitan Lentera bertanggal 6 Februari 1995, ada juga potret diri Eko di halaman 317. Bersebelahan dengan Hasjim Rachman, dulu wartawan Bintang Timur.

Situasi yang lebih baik ketimbang selama di tahanan di Jawa, tidak lantas membuat tahanan bahagia. Tidak ada kebahagiaan di Buru. Orang bisa mati kapan saja karena sakit atau karena "kecelakaan". Dan tidak ada kepastian apakah kelak mereka bisa bebas.

Kepastian itu baru diyakini ketika gelombang pertama pembebasan bertolak dari Namlea ke Jawa pada akhir 1977. Eko bebas pada 1979 berbarengan dengan Pram, tapi ia masuk rombongan yang ke Jakarta, sedangkan pram ke Surabaya.

Sebelum benar-benar dilepas, para tahanan disuruh meneken surat pernyataan diperlakukan baik selama di Buru (misal: makan bergizi, bisa menonton televisi, tidak disiksa). Ia lalu tinggal di Jakarta dan hidup dari kerja serabutan. Sejak enam tahun lalu ia pulang ke kampungnya di Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kendal.

Nisan kuburan massal korban tragedi 1965 di Dusun Plumbon, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.

Penisanan makam, mengobati luka sejarah

Nisan kuburan massal korban tragedi 1965 di Dusun Plumbon, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.
© Prima Sulistya /Beritagar.id
Tahun 2010, Eko Sutikno kembali ke Kendal dan punya banyak waktu luang. Saat itu usianya sudah 70 tahun, tapi masih sangat fit dan sering datang ke diskusi-diskusi budaya yang digelar aktivis dan mahasiswa. Di sebuah diskusi pada 2010, ia bertemu Mardiyono dan beberapa aktivis HAM Semarang dan Kendal.

Mardiyono adalah mahasiswa S1 Jurusan Hukum. Ia masuk kuliah 2010 dan lulus 2014. Skripsinya mengenai para eksil yang tidak bisa pulang selepas huru-hara 65. Pada 2014, ia lanjut studi pasca-sarjana dan menggarap tesis soal extrajudicial killing dalam peristiwa 65. Untuk membantu penelitiannya, Eko mengenalkan Mardiyono dengan sejumlah eks-tapol di Darupono, seperti Yanto dan Sujud. 

Pada Januari 2015, Mardiyono berkenalan secara tidak sengaja dengan Yunantyo Adi di kantin Universitas Kristen Satya Wacana.
Yunantyo wartawan Suara Merdeka, harian yang berkantor pusat di Semarang. Ketika bertemu Mardiyono, Yunantyo sedang menggali informasi mengenai kuburan massal PKI di hutan jati Plumbon.

Pencarian informasi mengenai kuburan massal Plumbon bermula pada 2014, Yunantyo datang ke satu diskusi penelitian di sebuah kampus swasta di semarang. Si peneliti memaparkan penelitiannya mengenai kuburan massal, salah satunya yang berlokasi di hutan jati Plumbon.

Tak lama kemudian Yunantyo bersama sejumlah mahasiswa di Semarang terlibat acara peringatan 10 tahun kematian Munir, aktivis HAM yang dibunuh dengan selipan arsenik, saat terbang dengan pesawat menuju Belanda (7 September 2004).

Usai acara tersebut, Yunantyo melontarkan ide untuk membuat koalisi terkait kuburan massal Plumbon. Para mahasiswa itu setuju dan Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk HAM (PMS-HAM) dibentuk pada Oktober 2014. Yunantyo menjadi koordinatornya.

PMS-HAM ingin mengobati luka sejarah dengan cara menggali kuburan massal korban tragedi 65 dan memakamkan korban dengan laik. Untuk itu, mereka harus mencari informasi mengenai siapa saja korban yang dikuburkan di sana.
Langkah awal mereka adalah mendatangi Desa Mangkang Kulon, lokasi hutan jati Plumbon berada. Di sana mereka bertemu seorang warga desa bernama Kelik. Kelik kemudian mengenalkan mereka kepada sejumlah orang yang mengetahui eksekusi Plumbon, semisal Sukar, orang yang mengubur korban atas perintah Lurah Radi.

Semula, ide menggali kuburan massal mereka tiru dari penggalian di Wonosobo yang dilakukan pada tahun 2000. Secuplik cerita penggalian di Wonosobo itu bisa dilihat dalam video YouTube di kanal Jakartanicus

Namun, ide PMS-HAM menggali kuburan massa itu dibatalkan karena dua hal. Pertama, Komnas HAM tidak merespons permohonan izin penggalian dari PMS-HAM.  
Kedua, pengalaman Wonosobo mengajarkan bahwa ketika sisa-sisa kerangka korban dibawa pulang keluarga dan hendak dimakamkan di tempat lain, warga tidak serta-merta menerima. Di Wonosobo, kerangka dirampas ormas dari keluarga korban dan kemudian dibakar. 

Ide penggalian kemudian berganti dengan ide penisanan. Konsepnya, kuburan massal diidentifikasi korbannya dan dibuatkan nisan yang laik, sebagaimana kuburan umumnya. Dalam penisanan, tidak akan dilakukan penggalian. Hanya memberi nisan semata.

PMS-HAM memasang target, acara penisanan itu mesti diresmikan pemerintah sebagai bentuk pengakuan atas kuburan tersebut. Catatan lain, dengan penisanan, mereka tak butuh izin Komnas HAM.

Setelah ide matang, PMS-HAM mulai bekerja mengurus perizinan dan mencari identitas korban. Mardiyono yang membuka jalan PMS-HAM bertemu Eko, Sujud, Yanto, dan eks-tapol lainnya di Darupono. Mereka juga bertemu Mukran yang lebih dulu "menginvestigasi" kuburan Plumbon.

"Kita tidak bermaksud untuk, sebagaimana kecurigaan orang biasanya, membangkitkan Komunisme, itu enggak. Kita di sini hanya bicara kemanusiaan."
Yunantyo Adi

PMS-HAM berhasil mendapat delapan nama yang diduga dikuburkan di Plumbon. Tujuh nama didapat dari Mukran, yang kemudian dikuatkan oleh kesaksian Sujud. Di angka delapan mereka mentok, tidak bisa mendapat lebih banyak lagi.

Delapan nama itu adalah kader PKI, atau anggota ormas yang dituding berafiliasi dengan partai palu arit itu. Moetiah, perempuan guru taman kanak-kanak, yang juga anggota Gerwani di Patebon, Kendal. Soesatjo seorang pejabat teras yang merangkap pengurus PKI Kendal. Joesoef, anggota PKI di Cepiring, Kendal. Soerono anggota PKI dari Kedungsuren, Kendal. Sachroni, anggota PKI dari Mangkang, Kendal. Serta tiga anggota Pemuda Rakyat: Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid.

Yunantyo dan kawan-kawan kemudian mengurus perizinan kepada Pemerintah Kabupaten Semarang dan Perhutani sebagai penguasa tanah tempat kuburan berada. Pihak "penting" lain yang Yunantyo datangi adalah Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI) untuk menghindari penolakan --atau yang terburuk penyerangan-- saat penisanan berlangsung.

Yang Yunantyo temui adalah Joko Santoso, Wakil Ketua DPRD yang juga Ketua Pemuda Pancasila.

"Kita tidak bermaksud untuk membangkitkan Komunisme. Kita di sini hanya bicara kemanusiaan," kata Yunantyo kepada Joko.

"Ide itu dari mana? Tahu makam itu dari mana?" tanya Joko.

Yunantyo lalu menceritakan bahwa makam itu sudah diketahui masyarakat. Banyak orang kerap mencari nomor togel di sana. Beberapa peneliti juga sudah datang ke sana. Yunantyo menjelaskan ide itu dari dirinya yang lantas disepakati kawan-kawan lainnya. "Demi menghindari salah paham, lebih baik kami datang ke Pemuda Pancasila daripada Pemuda Pancasila didatangi orang lain yang infonya salah. Kalau infonya salah, repot," ujar Yunantyo.

Joko sempat bertanya soal pendapat warga. Yunantyo menjelaskan bahwa warga tak merasa ada masalah. "Selama warga tidak masalah, kami oke, silakan," pungkas Joko. 

Kepada Zainal Abidin Petir, kuasa hukum FPI Jawa Tengah, Yunantyo menjelaskan penelusuran mereka soal latar korban, yang sebagian besar muslim, bahkan saat ditembak mereka sempat melantunkan ayat Quran. "Bisa tidak, kita melakukan ini untuk kemanusiaan saja? Tidak usah bicara partai, cukup untuk memakamkan secara Islam," bunyi permintaan diplomatis Yunantyo pada Zainal.

"Kalau tujuannya itu, tidak masalah," jawab Zainal.
Urusan perizinan selesai ketika surat Perhutani yang memberikan tanah seluas 5x10 meter tempat kuburan itu berada sebagai area pemakaman milik umum.
Acara penisanan dilakukan pada 1 Juni 2015, bersamaan dengan hari lahir Pancasila. Acara berlangsung aman dan dihadiri masyarakat, mahasiswa, keluarga korban, tokoh agama, pejabat pemerintahan, dan aktivis.

Orang yang hadir hari itu sekira 400 orang. Di atas tanah yang diratakan Sukar pada suatu siang, lima puluh tahun lalu, nisan marmer dengan nama-nama korban diterakan di atasnya dipacakkan.

"Dengan acara itu, intinya makam itu dinyatakan sah dialihkan sebagai milik umum sehingga keluarga tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi, demikian juga publik yang ingin tahu, ingin ziarah," kata Yunantyo.

Sukar, pengubur korban 1965, dan Kelik, warga Mangkang Kulon, memandu perjalanan melewati jalan kecil menuju ke kuburan massa di Hutan Plumbon.
Sukar, pengubur korban 1965, dan Kelik, warga Mangkang Kulon, memandu perjalanan melewati jalan kecil menuju ke kuburan massa di Hutan Plumbon.
© Primas Sulistya /Beritagar.id
Yunantyo hadir di Simposium 65 dan bicara sebentar mengenai perlunya payung hukum nasional yang melindungi usaha-usaha kemanusiaan, untuk membuat kuburan-kuburan massal korban 65 menjadi kuburan yang layak.
Di luar simposium, wacana payung hukum itu berubah menjadi wacana penggalian kuburan sebagai pembuktian adanya pembunuhan massal dan apabila itu benar, barulah pemerintah bersedia minta maaf. Yang melontarkan wacana itu ialah Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan.

"Problemnya, Komnas HAM saat ini sedang melimpahkan perkara tragedi kemanusiaan 65 kepada Jaksa Agung. Berarti barang bukti yang di kuburan massal ini tidak boleh rusak. Kalau dilakukan penggalian bisa merusak barang bukti, kata Yunantyo.

Pria 40 tahun itu pun mengajukan sejumlah prosedur bila negara mau melakukan penggalian. Pertama, arkeologi forensik. Kedua, identifikasi korban. Ketiga, dokumentasi berupa foto, dan video. Keempat, pemakaman ulang. Kelima, karena itu peninggalan sejarah, maka harus dilindungi dengan Undang-Undang Cagar Budaya.

Selain itu, kata Yunantyo, sisa-sisa kerangka tidak boleh dipindahkan dari kuburan massal karena pertimbangan kesejarahan. Ia pun menimbang kemungkinan bila dipindah ke tempat lain, yang bisa memicu penolakan dari masyarakat di tempat baru.

Yang ditekankan Yunantyo, penggalian tidak boleh dilakukan oleh selain negara atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Juga tidak boleh tanpa lima prosedur di atas. Pada kasus penggalian di Wonosobo, kerangka yang ditemukan sudah tidak bisa menjadi barang bukti manakala kasus 65 dibawa ke persidangan. Juga pada penggalian di Bali, kerangka lantas dingaben. Barang bukti hilang.

Selain opsi penggalian, opsi lainnya adalah opsi penisanan seperti yang sudah dilakukan di Plumbon. Namun, butuh payung hukum nasional, karena bisa jadi penisanan di tempat lain tidak akan selancar di Semarang. Terutama karena rentan mendapat penolakan masyarakat dan ormas-ormas yang agresif. Payung hukum itu juga berguna agar masyarakat tidak bergerak sembunyi-sembunyi.

Layar monitor yang menampilkan tulisan 'Konsep Rekonsiliasi sebagai Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat' dalam acara 'Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' di Hotel Aryaduta (18 April 2016).
Layar monitor yang menampilkan tulisan 'Konsep Rekonsiliasi sebagai Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat' dalam acara 'Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' di Hotel Aryaduta (18 April 2016).
© Aditia Noviansyah /Tempo 
 
Saat orang-orang PMS-HAM mulai mendatangi kampungnya, Supar mulai memerhatikan mereka. Kepada Kelik, yang mendampingi rombongan itu, Supar melempar pertanyaan soal orang-orang itu. "Itu orang-orang yang meneliti kuburan di Hutan Plumbon," kata Kelik.

Supar lalu menyeletuk, bahwa dirinya melihat eksekusi itu. Pengakuan itulah yang menjadi salah satu kunci pengungkapan PMS-HAM.

Namun, ada perbedaan informasi antara Supar yang menjadi saksi dan Sukar yang mengubur. Supar menyebut korban berjumlah 12, Sukar menyebut 22. Beda versi itu, antara lain melatari penulisan nisan kuburan Plumbon, "Isi diduga 12 s/d 24 jenazah."

Supar sendiri masih trauma. Ia tidak pernah datang ke makam itu, bahkan ketika Kelik memaksa datang saat peresmian nisan. 

Trauma Supar, agaknya trauma sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah berjalan tiga generasi. Ini trauma orang-orang yang bukan korban, tetapi menderita karena horor hantu komunis.

Sekadar catatan, berbeda dengan sebagian kita, orang seperti Supar tidak membenci PKI. Di era Orde Lama, Supar hanyalah pemilih PNI, pun tidak punya masalah dengan orang-orang PKI.

Demikan halnya, Sukar, warga biasa yang merasa pembunuhan seperti di Hutan Plumbon tidak benar. Dorongan nurani membuatnya menata isi kuburan dengan laik, menggali lubang baru, dan memberi penanda pohon jarak sebagai nisan di kuburan Plumbon. "Kasihan mereka," kata Sukar.

Pun menurut Kelik, di desa mereka, anak-anak orang-orang komunis dan nonkomunis akur dan sudah saling kawin-mawin. Tidak ada masalah.

Tuntutan penuntasan Tragedi 1965, dalam aksi Kamisan yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) di depan Istana Presiden, Jakarta (4 Februari 2010).

''Lubangnya sampai tidak muat''

Tuntutan penuntasan Tragedi 1965, dalam aksi Kamisan yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) di depan Istana Presiden, Jakarta (4 Februari 2010).
© Adri Irianto /Tempo
Selain kuburan massal yang terletak di Hutan Plumbon, Desa Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, masih ada lima lokasi lainnya di sekitar Semarang. Beritagar.id juga mendatangi satu lokasinya, di Sikepyar, Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal. 

Lokasinya juga terletak di tengah hutan Jati, yang bersambungan dengan Hutan Plumbon. Keduanya berada di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal. Wilayah itu dikuasai oleh Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kendal. 

Ada dua titik kuburan di hutan Sikepyar. Di titik pertama, diperkirakan ada lebih dari 40 orang yang dikuburkan di satu lubang. Angka tersebut diutarakan Suparjo, 68 tahun, warga Darupono yang diperintah untuk menutup lubang pada pagi hari setelah eksekusi. 

Seingat orang tua yang kerap disapa Parjo itu, lubang berukuran 5x4 meter itu bahkan tidak cukup menampung jasad korban. "Lubangnya sampai tidak muat," ujarnya.

Dari cerita yang didengarnya, Parjo mengatakan bahwa pada malam eksekusi datang satu truk mengangkut korban. Lubang sudah dipersiapkan, yang menggalinya juga warga Darupono. Truk itu datang antara pukul 2 - 3 dini hari. 

Pada malam itu pula Lurah Darupono, Suparno Suwardi, melarang warga desa keluar kampung, seturut perintah kepada sepuluh warga yang tengah ronda malam itu untuk menutup kuburan di lokasi eksekusi pada pagi harinya.
Di titik kedua, hanya berjarak sekira 50 meter dari titik pertama yang kini dipisahkan jalan raya, terdapat dua lubang kuburan massal. Hanya saja, tambah Parjo, jumlah korbannya tak sebanyak yang pertama.

Saat hendak beranjak dari titik kedua, kami berpapasan dengan seorang polisi hutan yang baru saja datang. Ia menanyakan siapa kami dan sedang melakukan apa. Setelah dijelaskan, ia mengatakan pada awal Mei lalu, sempat datang beberapa tentara yang menyambangi kuburan tersebut. Saat ditanya maksud kedatangannya oleh petugas Perhutani, mereka menjawab sedang mendata. Lengkap dengan kalimat pamungkas, "hanya menjalankan perintah komandan."

Beritagar.id mengunjungi titik pertama pada hari Kamis (12/5/2016), dan bertemu Suparjo secara tidak sengaja. Ia juga sedang ada di lokasi kuburan, membersihkan rumput-rumput di atas kuburan. Konon, malamnya akan banyak orang yang datang menyepi. Sebagaimana kuburan Plumbon, kuburan Sikepyar ini juga menjadi tempat orang mencari wangsit dan nomor togel.

Jika tidak ditunjukkan oleh orang yang sudah tahu, sangat sulit menemukan kuburan Sikepyar. Sebab, berbeda dengan kuburan Plumbon yang sudah dipasangi nisan, kuburan Sikepyar polos: tanah rata saja. Agak berbeda dari lahan di sekitarnya hanya tanahnya yang tampak bersih bahkan dari rumput liar sekalipun.

Suparjo membersihkan kuburan-kuburan itu selama puluhan tahun atas keinginannya sendiri. Ia kasihan dengan korban-korban yang menurutnya dibunuh dalam keadaan tidak bersalah.

Pendapat Suparjo itu berkaca pada tetangganya, Ari, yang eks-tapol dan dipenjara di Nusakambangan. Menurut Suparjo, Ari adalah pemain wayang orang yang masuk Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karena lembaga itu bisa memfasilitasi minatnya. Di masyarakat, Ari dianggap baik dan menjadi idola, tidak pernah berbuat buruk yang menimbulkan kebencian. Ketika ia dilempar ke penjara Nusakambangan, satu-satunya dosa Ari ialah menjadi anggota Lekra.

Yunantyo Adi mengatakan, ada kemungkinan daftar nama korban 65 bisa dikumpulkan. Ia mendapat informasi itu dari Prof. Dr. Wasino, Guru Besar Sejarah Sosial di Universitas Negeri Semarang, bahwa perpustakaan Kodam IV/Diponegoro mungkin menyimpan dokumen tersebut, tapi kondisinya sudah tidak begitu bagus karena tidak dirawat.

Suparjo berdiri di atas kuburan di Hutan Sikepyar (12 Mei 2016). Di sini, diduga 40 orang telah dikuburkan. Semasa muda, Suparjo juga turut meratakan tanah kuburan itu.
Suparjo berdiri di atas kuburan di Hutan Sikepyar (12 Mei 2016). Di sini, diduga 40 orang telah dikuburkan. Semasa muda, Suparjo juga turut meratakan tanah kuburan itu.
© Prima Sulistya /Beritagar.id
Di Gunungkidul dibuang di gua
Beritagar.id juga menyambangi satu lokasi eksekusi korban 65 di Yogyakarta. Persisnya lokasi itu di Gua Grubug di Dusun Jetis, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Di kanan dan kiri jalan menuju Gua Grubug, pohon jati berjejer tak habis-habis, jejeran yang sama nyaris serupa dengan lokasi kuburan massal di Plumbon dan Sikepyar.

Warga di sekitar Gua Grubug, Marjoyo (81), mengatakan eksekusi di Grubug berlangsung berkali-kali. Kejadian itu bertepatan dengan musim jagung berbunga dan musim hujan, sekitar Desember 1965 hingga Januari 1966.
Biasanya, pada tengah malam akan terdengar suara mobil yang berhenti 
sampai di ujung jalan aspal. Tidak ada warga yang berada di luar rumah karena jam malam diberlakukan selepas pukul 18. Mobil itu kemudian menurunkan korban dan mereka berjalan kaki sampai ke Gua Grubug. Kisah ini disampaikan oleh hansip desa yang ikut dilibatkan saat penurunan korban dari mobil, tetapi tidak menyertai ke gua.

Gua grubug adalah gua vertikal yang berjarak 90 meter dari permukaan tanah. Korban-korban dibuang ke dalam gua tersebut dan kemudian dihanyutkan air yang mengalir ke dalam gua dari Kali Suci dan Kali Jirak, dan berakhir di Laut Selatan.

Satu hal yang diingat kuat Marjoyo, tiap terjadi eksekusi, selalu turun hujan deras. Kemungkinan, hujan deras membantu menghanyutkan korban dengan segera menuju laut.

Selain jam malam, warga juga dilarang berada kurang dari radius 25 meter dari gua. Di sekitar gua ialah tanah-tanah pertanian warga yang ditanami jagung, kacang, singkong, dan jati. Kini, Gua Grubug justru menjadi tempat wisata.

Adapun Yunantyo Adi mengatakan, hingga saat ini sudah diidentifikasi sebanyak 120-an kuburan massal korban 65 di seluruh indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar