Rabu, 25 Mei 2016

Bekas Ketua Gerwani Meninggal Dunia, Pelayat Diawasi Petugas Intelejen

Rabu, 25 Mei 2016 | 23:01 WIB 

Ilustrasi G30S PKI. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Blitar - Bekas Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Putmainah, meninggal dunia, Rabu dinihari, 25 Mei 2016, sekitar pukul 03.00 WIB. Wanita berusia 90 tahun itu mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Penyakit stroke yang melumpuhkan sebagian tubuhnya mengakhiri perjalanan hidup tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) asal Blitar itu. “Sejak tiga tahun terakhir kondisi kesehatannya terus menurun,” kata adik kandung almarhuman, Patmiati, 86 tahun. Patmiatilah yang menemani sisa hidup Putmainah di Blitar usai peristiwa 1965.

Tampak banyak orang berdatangan ke rumah duka, termasuk para bekas simpatisan PKI serta aktivis kiri di Blitar dan sekitarnya. Selain melayat, mereka juga turut mengantarkan jenazah almarhumah ke liang lahat di pemakaman Desa Pakisrejo.

Bagi mereka, Putmainah adalah tokoh besar yang tak pernah kehilangan semangat memperjuangkan rakyat kecil. Semasa hidupnya, Putmainah tercatat pernah menjabat Ketua Gerwani Kabupaten Blitar sekaligus anggota DPRD Gotong Royong dari Fraksi PKI.

Darah politiknya mengalir dari ayahnya, Haji Mansyur, yang menjabat Ketua Sarikat Islam Merah Kabupaten Blitar. Mansur juga seorang penghafal Al Quran atau hafiz. Mansyur tewas dalam peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.

Dari pergulatan pemikirannya dengan sang ayah pula Putmainah mengenal dasar-dasar ajaran komunis dan mengantarkannya aktif ke dalam organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Selain ayahnya, darah politik Putmainah juga merupakan warisan kakeknya, KH Abdurrahman, seorang lascar Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Jawa Timur setelah terdesak pasukan Belanda.

Kecerdasan dan latar belakang keluarga inilah yang kemudian menarik perhatian keluarga Bung Karno di Blitar untuk tinggal serumah. “Beliau kader langsung Bung Karno,” ujar Patmiati.

Salah seorang putra Putmainah, Edi, yang tinggal tak jauh dari rumah almarhumah mengatakan ibunya memiliki pergaulan yang cukup luas. Beberapa tokoh nasional, seperti KH Sholahudin Wahid, Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, serta aktivis dalam dan luar negeri, tercatat pernah menginap di rumah Putmainah di Blitar.

Selain membaca berbagi buku, mereka terlibat diskusi sejarah kebangsaan, khususnya terkait peristiwa 1965. “Setiap tahun mahasiswa sejarah juga datang ke sini, selain pernah mengundang ibu ceramah di Cina,” ucap Edi.

Selain keluarga, kematian Putmainah menjadi duka tersendiri bagi komunitas aktivis Post Institute Blitar, kelompok yang kerap mengorganisir dan memperjuangkan hak korban 65 itu. Ketua Post Institute Mawan Wahyudin mengaku kehilangan saksi sejarah yang kredibel. “Almarhumah adalah ketua cabang Gerwani terakhir di Indonesia,” tuturnya usai melayat.

Tak hanya kelompok kiri, kematian Putmainah juga menarik perhatian Ketua Banser Nahdlatul Ulama Kabupaten Blitar Imron Rosadi untuk melayat. Meski kerap berkomentar keras kepada kelompok Putmainah, Imron menganggap kedatangannya sebagai bentuk penghormatan bagi sesama manusia.

“Kami ingin membuktikan bahwa rekonsiliasi kultural antara NU dan PKI di Blitar sudah tuntas, tak perlu diutak atik dan ditunggangi lagi,” kata Imron saat berada di rumah duka.

Imron juga menyambut positif sikap keluarga almarhumah yang menerima kedatangannya dengan baik dan memperlakukan jenasah menurut syariat Islam. Rencananya keluarga Putmainah akan menggelar tahlil selama tujuh hari ke depan dan pada hari ke-40.

Prosesi pemakaman dan suasana duka di rumah Putmainah cukup terganggu dengan kehadiran sejumlah anggota intelejen dari kepolisian dan TNI. Mereka kerap mengambil gambar para tamu yang datang melayat. “Saya langsung pulang setelah intel mulai ambil gambar,” ujar Moelyono, seniman beraliran kiri yang merupakan rekan Wiji Thukul.

Tak hanya itu, wartawan Tempo yang berada di rumah duka juga menyaksikan seorang pemuda yang mengendarai sepeda motor berteriak-teriak di depan rumah duka. Tak jelas apa yang diucapkan, pemuda itu tampak emosional saat meneriaki para pelayat sambil mengangkat tangan kiri. Tak lama berselang, beredar broadcast melalui Whats App yang berisi daftar tamu yang hadir melayat di rumah duka.

HARI TRI WASONO
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/25/058774069/bekas-ketua-gerwani-meninggal-dunia-pelayat-diawasi-petugas-intelejen

0 komentar:

Posting Komentar