Kamis, 27 Juni 2013

Hidup Saya sebagai Dalang Wayang Kulit di Bawah Soeharto


Oleh: Ki Tristuti Rachmadi | 27 Juni 2013




Hadirin dan para peserta konferensi yang terhormat:

Saya Tristuti Rachmadi dari Solo, Indonesia. Hari ini Sabtu, 7 April 2001, dan saya di sini memenuhi undangan panitia untuk konferensi “History and Memory in Contemporary Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Center for Southeast Asian Studies di University of California, Los Angeles.
Saya bahagia memeroleh kesempatan ini, dan ingin menyampaikan terima kasih yang dalam bagi semua pihak yang telah berkenan mengundang saya di sini, untuk ikut berkontribusi dalam konferensi tentang sejarah Indonesia ini – tentu saja berdasar kapasitas dan pengalaman saya sendiri.

Para pendengar yang terhormat:

Saya lahir di sebuah desa kecil bernama Sugihmanik di wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Indonesia, pada hari Rabu, 3 Januari 1939. Sudah menjadi kehendak Ilahi bahwa saya lahir dari keluarga seniman wayang kulit. Ayah saya, mendiang Suryatman Yososudarso, adalah seorang dalang wayang kulit. Ibu saya anak dari seorang dalang di zaman kolonial Belanda. Sejak dalam kandungan ibu saya, jiwa seorang dalang telah tercurah dalam diri saya. Oleh karena itu, meskipun saya menerima pendidikan formal (sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, dan pendidikan matematika selama dua tahun), perjalanan hidup saya pada akhirnya selalu membawa saya ke dunia pedalangan.

Saya mulai menampilkan pertunjukan wayang semalam suntuk sejak usia 15 tahun (saat saya kelas tiga sekolah menengah) pada tahun 1953-4. Karir saya berkembang seiring perjalanan waktu. Pada dasarnya, sebagai seorang dalang profesional saya telah melalui tiga era, yaitu Orde lama, Orde Baru dan akhirnya Reformasi sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Berkenaan dengan dunia pedalangan pada masa Orde Lama, saya masih dapat mengingat kesederhanaannya. Dalang masih memainkan peran sebagai seniman tunggal yang memimpin seluruh pertunjukan wayang selama delapan jam. Pada masa itu tidak ada pengaruh dari rekaman kaset ataupun televisi, apalagi VCD. Pertunjukan wayang masih didominasi oleh cita rasa masyarakat, terlebih masyarakat Jawa. Serta, pertunjukan wayang belum diruncingkan ke arah propaganda politik, atau pun agama, atau hal-hal lain. Kalau pun ada, itu dilakukan dengan terampil dan cara yang menyenangkan.

Pada awal 1960, pengaruh ideologi luar mulai nampak kentara dalam pertunjukan wayang – misal dalam cerita Janaka Banteng, Udawa Waris, Wahyu Lintang Rembulan, dan lain-lain. Ini terjadi karena iklim politik di Indonesia tengah memanas. Pada akhir masa Orde Lama adalah insiden 1965, yang membawa perubahan ke masa Orde Baru. Saya tidak ingin bicara tentang persoalan politik. Saya hanya akan bercerita tentang pengalaman saya pribadi, terlebih karir saya sebagai seorang dalang wayang kulit.

Sejak 5 November 1965 (pada hari Jum’at) sampai dengan 10 Oktober 1979 – 14 tahun – saya hidup dari penjara ke penjara: penjara Beteng Ambarawa, penjara Purwodadi, Nusakambangan, dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Saya bertanya ke diri sendiri: saya salah apa? Apa dosa saya? Sepertinya tidak ada jawaban: saya adalah salah satu korban dari pergolakan politik Indonesia. Benar adanya bahwa kapanpun terjadi pergolakan, masyarakat bawah selalu menjadi korban. Saya hanya seorang dalang wayang kulit, bertahan hidup dengan keahlian saya menyampaikan cerita wayang. Saya bukan anggota fungsionaris partai politik mana pun, saya bukan pejabat pemerintah, ataupun seorang pemodal besar yang mengendalikan roda perekonomian Indonesia. Sekali lagi, Tristuti Rachmadi di sini hanya satu di antara banyak orang biasa, tapi pada saat itu terjebak dalam tragedi nasional yang telah melukai hati selama bertahun-tahun, tanpa proses hukum dan keadilan yang sepantasnya. Tiba-tiba dicokok, kemudian dijebloskan ke penjara selama 14 tahun, dan tanpa hak bertanya tentang apa pun, semua harus diterima, habis perkara.

Para pendengar yang terhormat:

Namun, di atas semua itu, saya akhirnya menjadi sadar bahwa hanya dengan melalui perjalanan yang panjang dan gelap itu saya dikuatkan oleh Tuhan untuk menjadi dalang di dunia untuk menggelar pertunjukan di tengah penderitaan, terpenjara, selama bertahun-tahun. Di bawah pemerintahan rezim Suharto saya sudah lebih dari kenyang merasakan tekanan mental dan fisik. Dalam penjara saya (bersama ribuan kawan yang memiliki nasib yang sama) telah diperlakukan sangat tidak manusiawi. Kami hanya punya kewajiban, tanpa sedikitpun hak. Segala hal yang disediakan untuk makan, kesehatan, tempat tinggal dan kebutuhan pokok sama sekali tidak mencukupi. Kami hanya memiliki cukup banyak aturan—jangan melakukan ini, jangan melakukan itu, itu terlarang, ini terlarang…

Pada tahun 1968, istri saya tercinta tidak sanggup lagi menanggung tekanan dalam hidupnya, dan saya ditinggalkan untuk menelan penderitaan. Istri dan anak-anak saya hidup dengan seorang lelaki lain, yang kemudian pergi jauh meninggalkan negara kami. Kepahitan hidup lengkap sudah. Saya telah kehilangan segalanya—istri dan anak, hak milik, kehormatan, hak hidup, dan semua; semua dirampas paksa oleh rezim penguasa Orde Baru.

Para pendengar terhormat:

Ribuan manusia telah mengalami penderitaan fisik dan batin dalam kurungan selama 14 tahun, termasuk saya sendiri. Saya ingat petuah dari guru saya di masa silam – dalang yang baik adalah dalang yang mampu membawa kenyamanan bagi masyarakat di saat-saat sulit, meskipun si dalang itu sendiri tengah menanggung penderitaan. Jika seorang dalang tampil dengan perangkat gamelan, wayang dan sound system yang bagus, yang diiringi oleh musisi handal dan pesinden yang mumpuni, dengan bayaran uang dalam jumlah besar, di sebuah tempat pertunjukan yang megah, dan dalang tampil dengan semangat dan mencapai keberhasilan, tidak ada capaian luar biasa dari semua itu, itu biasa saja!!!. Dalam bahasa Jawa, saya bilang itu lumrah.

Namun, jika ada seorang dalang yang tampil tanpa sepeser pun bayaran uang, dengan perangkat sederhana, diiringi pengrawit dan pesinden dengan keahlian rata-rata, dan pertunjukan itu diselenggarakan di tengah suasana sedih, maka dalang tersebut telah berhasil memenuhi darmanya sebagai pelaku yang hidup, bertanggungjawab, berhasil membawa suka cita di tengah keadaan yang sulit, dan membawa keputusasaan menjadi harapan baru. Dialah yang kemudian bisa disebut DALANG SEJATI. Demikian ajaran dari guru saya sebelum saya masuk penjara. Seorang dalang adalah seorang dalang. Anda dapat mencari penghasilan: lanjutkan dan carilah ketenaran, tapi identitas seorang dalang harus jelas: yakni, dia adalah seorang seniman yang melayani masyarakat di sekitarnya.

Mengingat pelajaran dari guru saya cukup untuk mengubah arah berpikir saya saat itu. Rasa dendam berubah menjadi renungan. Rasa sedih, sakit hati, dan kegelisahan, saya mengubahnya menjadi pandangan positif dan rasa optimis. Saya ubah angan-angan saya tentang,”bagaimana seandainya…” menjadi kobaran semangat baru, sesuai dengan kualitas seni kepedalangan yang saya miliki. Pada awal-awal tahun, 1965 sampai dengan 1970, saya mulai membuat pagelaran di penjara para tahanan politik tanpa diiringi oleh siapapun. Saya bermain dengan gaya bercerita cerita rakyat, tanpa gamelan atau pun seorang pesinden. Kegiatan ini biasanya dilakukan usai makan malam, sebelum tidur, kawan-kawan meminta saya untuk bercerita tentang kisah-kisah pewayangan. 
Sekitar satu jam saya akan bercerita tentang Bima, Arjuna, Gatotkaca dan sebagainya. Itu hanya mendongeng, belum benar-benar sebuah pagelaran. Sesekali saya akan membumbuinya dengan nukilan-nukilan dialog penting, atau menambahkan lelucon untuk menghidupkan suasana, dan kadang saya akan menyanyikan pupuh puisi pendek dan sempalan syair.

Dalam masa tahun-tahun tersebut kawan-kawan saya berpikir bahwa kegiatan mendongeng ini bisa diiringi dengan perangkat dasar yang dibuat dari piranti makan dan mandi, seperti piring seng, cangkir aluminium, mangkok, timba dan sendok. Semua peralatan ini dilaras menyerupai skala suara gamelan. Semua itu terlihat demikian lucu, tapi bagi saya terdapat makna yang tak akan bisa hilang. Saya merasa bangga di tengah kegetiran ini, dan saya masih bisa menghibur kawan-kawan saya yang menderita tanpa rasa ingin mementingkan diri sendiri. Anda pikir ada dalang lain yang melakukan pertunjukan wayang dengan perangkat makan selain saya? Tidak mungkin!!

Benar apa kata para sesepuh dulu, bahwa jika kamu ingin dibantu, bantulah sesamamu lebih dulu. Jika kamu ingin disembuhkan, rawatlah sesamamu lebih dulu. Jika kamu ingin memiliki kegembiraan, hiburlah dulu sesamamu. Saya melakukan ini semua dengan hasil positif. Meskipun begitu banyak tekanan di penjara, hati saya terhibur karena saya kerap membawa kegembiraan bagi kawan-kawan saya. Kadang penjaga penjara akan meminta saya bercerita memakai hand-speaker, sejenis perangkat pengeras suara, sehingga suara saya dapat didengar ke sel-sel lain tempat para tahanan lain. Bahkan penjaga penjara ikut menyimak cerita saya. Aneh bukan, bahwa orang-orang yang bebas dapat menikmati cerita seseorang yang tertindas? Itulah yang terjadi pada kurun waktu 1965-70.

Para pendengar yang terhormat:

Pada bulan Agustus 1970, bersama dengan ribuan kawan-kawan, saya dipindahkan dari penjara Nusakambangan dan dibawa berlayar untuk dibuang di Pulau Buru. Tempat itu punya nama yang indah – ‘Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru’, tapi pada kenyataannya itu hanyalah sebuah tempat pengasingan. Pada awalnya, terasa pilu untuk menjejakkan kaki di lokasi rawa hutan bakau dan kebun sagu itu. Namun kemudian, rasa optimis menyala kembali. Saya bertahan dengan darah saya sebagai dalang, menghibur kawan-kawan saya.

Di Pulau Buru, para tahanan dapat hidup lebih leluasa karena tempat itu serupa wilayah proyek pertanian. Di waktu luang, setelah membersihkan semak-semak, menggali parit drainase, dan sebagainya, mulai jam lima sampai jam enam petang.Kami membuat semacam gamelan dari sisa-sisa kaleng insektisida, wadah aspal dan sebagainya, sehingga kami memiliki seperangkat gamelan dengan laras slendro dan pelog. Di hutan, banyak binatang buas berkeliaran, termasuk kijang. Kami akan makan dagingnya, dan kulitnya dikeringkan untuk membuat wayang kulit: itulah wayang kulit rusa dari Pulau Buru. Di antara kurang lebih 12,500 tahanan politik, beberapa berpengalaman memainkan gamelan, dan mereka pun menjadi para pengrawit kami. Karena tidak ada yang perempuan di sana, pesinden kami pilih dari beberapa orang pemain ludruk Jawa Timuran, karena mereka bisa menirukan suara pesinden. 
Dengan begitu kami memiliki satu grup, dengan dalang, pengrawit, pesinden, gamelan wayang, yang uniknya dibuat di Pulau Buru. Bagaimana dengan kostumnya? Ya, kami membuatnya. Kami meminjam dari beberapa kawan yang membawa satu atau dua potong baju batik, meskipun warnanya pudar, dan surjan, serta udeng. Menggembirakan, bukan? Sama sekali tidak!! Ini mengharukan.

Dan bagaimana dengan semangat saya? Tak pernah pudar!! Saya selalu tampil dengan penuh kegairahan, dan kawan-kawan juga menyambut semangat saya. Mereka menonton dengan rasa kagum, dari awal hingga akhir, dari adegan demi adegan tanpa beranjak dari tempat duduknya. Di mana para komandan dan para penjaga penjara? Mereka juga menonton. Dan jika opsir seniornya kebetulan seorang Jawa, maka saya akan diperintahkan untuk melakukan pertunjukan lebih sering. Luar biasa, kan? Seorang yang tertindas diminta untuk menghibur orang-orang yang bebas.

Itu adalah gambaran singkat bagaimana saya menjalankan tugas profesi sebagai seorang dalang ketika di pengasingan pada masa Orde Baru. Saya hidup di sana dari tahun 1970 sampai dengan Oktober 1979; pada malam hari saya melakukan pementasan, dan di siang hari saya harus bekerja jadi buruh kasar – mencangkul, memanen, mengatur air, dan mengangkut bahan bangunan dan sebagainya. Itu semua demikian pahit, seperti menelan pil kina, tapi mau tidak mau saya harus terus melangkah melewati jalan gelap itu sampai tahun 1979.

Para hadirin yang terhormat:

Pada tanggal 10 Oktober 1979 saya dikeluarkan dari neraka Pulau Buru, dan ‘dibebaskan’. Saya putuskan untuk kembali ke Semarang untuk bersama keluarga, karena tidak ada lagi yang tersisa di tempat asal saya, Purwodadi. 
Dari Semarang, saya mencari mata pencaharian di Yogyakarta, kemudian di Pati, dan akhirnya ke kota Solo. Meskipun kata yang digunakan adalah ‘dibebaskan’, itu hanyalah sekadar pernyataan politis. Saya masih tidak memiliki hak untuk hidup seperti warga negara lain. Saya tidak diijinkan untuk melakukan pertunjukan, dan untuk memeroleh pekerjaan di manapun seseorang harus memeroleh surat yang menyatakan bahwa dia ‘bersih’, yang bagi saya mustahil untuk saya dapatkan. Sementara itu, KTP saya diberi tanda ET, yang artinya ex-tapol. Hidup saya dari tahun 1979-1999, tepat 20 tahun, seperti seorang penderita lepra, sebuah penyakit menular yang susah disembuhkan dan orang enggan mendekat. Suharto memang luar biasa; secara resmi dia penuh perasaan kemanusiaan, sehingga para tahanan menjadi ‘dibebaskan’. Tapi, pada kenyataannya, ini semua tak lebih dari membunuh secara perlahan. Sungguh luar biasa!! Kepada siapa saya harus menuntut atas ketidakadilan ini? Sebelum dibebaskan dari Pulau Buru, saya dan seluruh tahanan politik lainnya diperintahkan untuk menandatangani sebuah PERNYATAAN yang menyatakan KESEDIAAN untuk tidak akan menuntut secara formal ataupun meminta ganti rugi atas segala hal terkait pemenjaraan kami. Saya seperti orang tak bisa bicara yang telah menelan buah yang pahit – saking pahitnya membuat saya tidak sanggup mengucapkan satu kata pun. Demikianlah rasanya bagi saya dan kawan-kawan saat itu.

Hadirin yang terhormat:

Kembali kepada jiwa seorang dalang: selama 20 tahun saya telah berjuang untuk bertahan hidup, mencari penghasilan ke sana ke mari dalam kesulitan yang mahabesar. Namun, di tengah perjalanan yang suram tersebut, jiwa dalang dalam diri saya tetap menyala terang. Bukannya lantas jadi tumpul, malah lebih tajam. Saya tidak putus asa, tapi saya mengisi setiap saat dengan kegiatan yang positif, dan salah satunya, saya menulis. Saya menulis sastra Jawa, khususnya naskah-naskah untuk pertunjukan wayang. Tuhan memberi berkah untuk saya dalam hal ini. Naskah-naskah saya dikenal luas dan dibeli oleh para dalang terkenal. Saya menulis naskah wayang pendek maupun naskah panjang. Saya juga menulis Janturan, silsilah, Bantah, Tembang, Banyolan, dan sebagainya. Naskah-naskah ini menarik minat dan digunakan dan dibaca oleh para dalang kondang seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo Asmoro – singkatnya, banyak dalang di wilayah Solo yang menggunakan hasil karya saya. Harga naskah beragam, beberapa terjual dengan harga 25,000 rupiah, yang lain 50,000 rupiah dan untuk naskah lengkap saya dibayar 500,000 rupiah. Meskipun harga-harga tersebut sebenarnya terlampau murah jika dibandingkan dengan bayaran yang mereka terima dalam jutaan rupiah, untuk manusia yang ditimpa kemalangan seperti saya, semua yang bisa disampaikan adalah 'terima kasih’. Saya merasa beruntung karena dapat membiayai hidup saya untuk makan sehari-hari. Aneh, bukan?

Selain menulis, kadang saya juga ikut dengan rombongan para dalang terkenal sebagai penyimping (yang membantu dalang menyimping wayang). Di setiap pertunjukan, saya dibayar 50,000 rupiah—cukuplah… untuk sekadar membeli garam dapur. Sangat disayangkan bahwa tak satupun di antara karya-karya tersebut menyebutkan nama penulisnya, dan seiring berjalannya waktu makin banyak dalang menyalin dari dalang yang lain tanpa sepengetahuan saya, sehingga saya tak dibayar sedikitpun. Itu tak jadi soal, itung-itung jadi tabungan berbuat baik. Suatu kali kebetulan saya mengadakan pertunjukan sendiri pada masa itu, tetapi risikonya memang besar. Seusai pergelaran, banyak surat kaleng yang datang penuh dengan ancaman dan ancaman. Saya juga sering dipanggil oleh pemerintah dan menerima kecaman tanpa dasar. Lucu, bukan? Mereka marah kepada orang yang membawa kegembiraan untuk masyarakat. Demikian berkuasanya mereka!!

Tapi yang terpenting adalah bahwa semangat saya sebagai dalang tidak pernah hilang, dan masih menyala. Baik dalam melakukan seni mendalang maupun menulis, saya akan selalu menjadi dalang yang sesungguhnya. Banyak mahasiswa STSI memeroleh pengetahuan mereka tentang seni pedalangan dari saya. Banyak mahasiswa dari jurusan pedalangan mencari saya. Ini artinya bahwa sejak 1979 sampai dengan 1999 pikiran saya penuh dengan masalah-masalah seni pewayangan. Tidak buruk-buruk amat!!

Pendengar yang terhormat:

Mei 1998 tiba saatnya jatuhnya rezim Suharto, yang kemudian diikuti oleh era Reformasi. Masa ‘penguningan’ telah berakhir, dan taring Orde Baru telah ditepis oleh gerakan mahasiswa menuju demokrasi. Sendi-sendi kehidupan mulai bergerak sedikit lebih bebas , meskipun di sana-sini jejak-jejak Orde Baru masih bisa ditemui. Dengan adanya angin baru Reformasi, saya mulai keluar dan mucul di panggung pedalangan, meskpun tidak lantas sekonyong-konyong saya menjadi dalang kondang. Di wilayah Solo, saya melakukan pagelaran tanpa menggunakan ‘ijin seniman’ dari dinas pendidikan, dan tidak ada masalah. Namun, di Kabupaten Pati, di Grobogan, dan di beberapa kabupaten, saya perlu memiliki surat ijin untuk melengkapi persyaratan ke polisi (ini sebenarnya aturan lama dari era Suharto). Hanya pada bulan Desember 2000, saya akhirnya berhasil memeroleh surat ijin seniman. Saya memulai pagelaran dari awal, diminta oleh kerabat saya (tanpa bayaran), kemudian berikutnya di tempat tinggal rekan dalang (di rumah Anom Suroto pada acara Rebo Legen, di tempat Manteb pada acara Selasa Wagen, Warseno Slenk pada acara Setu Legen, dan sebagainya). Tentu saja ini dengan bayaran yang tidak terlampau besar. Akhirnya, saya mulai melakukan pertunjukan di tempat-tempat pemerintahan, termasuk kampus STSI dan TBJT di Solo, dengan honorarium yang pantas.

Sangat disayangkan bahwa, ketika saya akhirnya kembali ke arena pedalangan wayang kulit, saya sudah sangat tua –62 tahun—sehingga stamina saya tidak lagi baik. Saya bernafas pendek, sehingga suara saya tidak lagi merdu, dengan tubuh yang lamban sehingga tidak dapat memainkan wayang dengan baik. Selain itu, waktu telah berganti: dunia pedalangan dewasa ini menjadi sangat berbeda dari masa ketika saya masih muda. Dunia pedalangan yang tersisa dari masa Orde Baru telah jauh dari kualitas yang diagungkan seperti dulu. 
Pagelaran wayang kini diramaikan dengan campursari, menggabungkan perangkat musik lain dengan gamelan, dengan penyanyi pop dan pelawak yang diijinkan untuk berdiri, menari di panggung. Cerita wayang terhalau oleh jumlah permintaan penonton, oleh tari dan lawakan, sehingga alur cerita kabur dan bahkan hilang sama sekali. Saya tidak bisa melakukan pertunjukan yang seperti itu, tapi apa boleh dikata jika memang demikian kenyataannya? Saya bertanya kepada diri sendiri: mengapa baru sekarang saya memeroleh kesempatan untuk melakukan pertunjukan, dan tidak kemarin, atau 20 tahun yang lalu? Sudahlah, itu sudah lewat; tidak masalah, karena saya masih mempertahankan identitas saya sebagai seorang dalang sejati.

Hadirin yang terhormat:

Dengan ketulusan hati, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih untuk para rekan-rekan di United States (terlebih di UCLA, UC Barkeley, UC santa Cruz, Wesleyan University, Brown Univeristy dan juga di New York) yang telah mengundang saya untuk menggelar pertunjukan selama bulan April 2001. Ini sungguh-sungguh sebuah obat sakit kepala yang tak tersembuhkan sepanjang 35 tahun. Pada saat yang sama, ini juga menunjukkan kepada dunia – terlebih untuk masyarakat pedalangan—bahwa daun yang kering yang Nampak tak berguna dapat tetap diminati di United States. Dan karena dalam diri saya mengalir darah dan bersemayam jiwa seorang dalang, tidaklah mengejutkan bahwa jalinan pemikiran saya dibentuk oleh filosofi wayang, yang bicara tentang hukum karma, buah dari tindakan di masa lalu. Siapa menabur benih, dia yang akan menuai. Untuk semua yang telah menabur benih kesengsaraan yang saya alami, cepat atau lambat mereka akan menuai sendiri hasil kepahitannya. Terlebih lagi, dari satu biji jagung, Anda bisa menuai ratusan biji. Untuk itulah, saya percaya bahwa sampai hasilnya dipanen, kedamaian tidak akan kembali di Indonesia.

Para pendengar yang terhormat:

Cerita saya ini hanyalah sedikit saja dari yang sesungguhnya terjadi. Mungkin ada baiknya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua. Atas kekurangan dan kesalahan saya, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih.

TRISTUTI RACHMADI SURYOSAPUTRO
____

Tulisan ini diterjemahkan dari naskah pidato Ki Tristuti Rachmadi Suryosaputro berjudul 'My Life as a Shadow Master under Suharto', yang disampaikan dalam konferensi 'History and Memory in Contemporary Indonesia' di UCLA, 6-7 April 2001, dan dimuat di dalam buku kompilasi tulisan 'Beginning_to_Remember:_The_Past_in_the_Indonesian_Present', dengan editor Mary S. Zurbuchen, dan diterbitkan oleh Singapore University Press pada tahun 2005.

0 komentar:

Posting Komentar