Aryono - 11 Juni 2013
Dibangun sebagai tempat pertahanan, Benteng Willem I
berakhir menjadi rumah tahanan.
Benteng Willem I Ambarawa,
1880. Foto: KITLV.
KETIKA menghuni penjara Willem I Ambarawa, Sugiman punya
cara untuk berkomunikasi dengan istrinya.
“Dari jendela sel, saya memberikan tanda dengan lambaian sapu tangan kepada istri saya di seberang benteng,” ujar Sugiman, mantan tahanan politik (tapol) dari desa Bejalen, Ambarawa, kepada Historia.
Dia ditahan karena menjadi anggota Barisan Tani
Indonesia yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Jika ingin tembakau, Sugiman melambaikan saputangan
membentuk huruf m-b-a-k-o(tembakau).
“Jika istri saya tidak paham, dia berteriak atau melambaikan tangan, saya mengulanginya,” kata Sugiman.
Dinginnya penjara Willem I juga dialami Heryani Busono
Wiwoho, yang aktif di Himpunan Sarjana Indonesia. Semula Heryani menghuni LP Wirogunan
Yogyakarta kemudian, bersama 50 tapol perempuan lainnya, dipindahkan ke penjara
Willem I. Sebelum kedatangan rombongan tapol dari LP Wirogunan, penjara Willem
I berjumlah 2000 orang. Mereka terdiri dari tapol militer dan tapol sipil. Di
antara tapol sipil adalah Abimanyu, dokter spesialis kandungan RS Karyadi
Semarang dan dokter Tjan, kepala rumah sakit paru-paru di Ngawen Salatiga.
“Truk yang membawa kami memasuki sebuah halaman bangunan kuno bertingkat yang dikelilingi pagar berduri,” tulisnya dalam memoar Mengembara Dalam Prahara.
Penjara Willem I, yang digunakan militer sebagai penjara
tapol 1965, mulanya adalah sebuah benteng yang dibangun pada 1834, empat tahun
setelah Perang Jawa. Ia satu di antara tujuh benteng yang dibangun di Jawa atas
persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda JC Baud.
Untuk membangunnya, diterapkanlah kerja wajib. Tak jarang
pemimpin setempat protes. Bupati Temanggung Sumodilogo, misalnya,
terang-terangan keberatan atas pembangunan benteng ini. Alasannya, selain
pekerjaan yang berat, para pekerja yang dikirim ke sana tidak pernah kembali,
konon mati.
Setiap hari diperlukan 1.200 pekerja. Untuk memenuhinya,
pekerja tak hanya diambil dari sekitar Ambarawa, tetapi juga dari daerah yang
jauh.
“Mereka harus berjalan berpuluh-puluh pal, bekerja di sana sampai 10 hari, dan diberi gaji 15 sen per hari,” tulis Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda Volume 2, hasil Seminar Sejarah III. Pal merujuk batu-batu tapal yang berada di sepanjang jalan, yang kemudian dipakai sebagai penanda jarak; satu pal setara satu mil.
Dibutuhkan waktu hingga 18 tahun agar benteng di Ambarawa
dapat berdiri. Kemudian, dipilihlah nama Willem I, sebagai penghargaan terhadap
Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I
Frederick yang memerintah antara 1815-1840.
Benteng Willem I adalah benteng terbesar di Jawa. Ia
merupakan kompleks militer yang dapat memuat 12.000 tentara lengkap dengan
tangsi, gudang senjata, perbengkelan, lapangan tembak, lapangan latihan dan
rumah sakit.
“Selama 18 tahun benteng ini telah menelan biaya f.4.436.698,13, atau rata-rata f.246.483,- setiap tahun, suatu jumlah yang melebihi bangunan apapun pada masa itu,” tulis AM Djuliati Suroyo dalam Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890.
Dalam Pertempuran Ambarawa pada 20 November 1945, Benteng
Willem I menjadi pertahanan terkuat pasukan Inggris. Tentara Keamanan Rakyat
bersama badan-badan perjuangan mengepung benteng selama empat hari empat malam
hingga pasukan Inggris meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke
Semarang.
Selepas jadi penjara tapol 1965, benteng berusia dua abad
ini dijadikan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Ambarawa. Sebagian benteng yang
tidak terpakai dibiarkan begitu saja. Terbengkalai.
0 komentar:
Posting Komentar