Minggu, 01 April 2018

Sugeng Tindak Ibu Sumilah

Oleh: Markijok 



Dok: Pipiet Am

Hari ini mungkin Paskah yang menyedihkan bagi Mbak Arum dan Mas Bayu, anak-anak dari Bu Sumilah karena dua hari sebelum paskah beliau mangkat. Siapa Sumilah? Sumilah adalah nama yang 20 tahun yang lalu pun belum saya kenal. Berawal dari akrivitas saya pada tahun 1999 bergabung dengan LKPSM-Syarikat sebagai volunteer alias relawan. Sehabis '98 seperti halnya mereka yang mengalami hiruk pikuk Reformasi rasanya ingin terus memelihara rasa untuk terus berada pada jalur perubahan ke arah yang lebih dicita-citakan, naif...memang naif...banyak anak muda pasca '98 menjadi naif. Seolah dunia bisa mereka rubah dengan membalikan telapak tangan, kalau tak bisa ya demo...kalau perlu demo sampai bentrok kalau dihalang-halangi. 

Daripada jadi disorientasi seperti banyak dialami mahasiswa-mahasiswa yg waktu itu seperti pahlawan menang perang, saya bergabung ke aktivisme NGO atau LSM atas ajakan kakak sepupu saya, anak Pakdhe yang Kyai NU. Kakak sepupu saya ini cukup dikenal pada zamannya di kampus IAIN Sukijo alias Sunan Kalijogo...dikenal demonstran dan Mapala alias Mahasiswa Paling Lama , legenda di keluarga besar saya. Ketika kuliah di Gajahmada saya dipasoknya buku2 termasuk buku sampul koran novel Tetralogi Pramoedya yg dilarang tahun2 itu, diam2 kita membangun persekongkolan,persekongkolan "pemberontak kecil". Tak percaya pada kemapanan dan merindukan perubahan rakjat, anaknya pertama saja dibelakang nama arabnya dikasih nama Soradeka...Sorak Rakyat Merdeka. 

Mulailah saya berpetualang disitu...di dunia LSM, isunya lebih dari LSM pada waktu itu yang isunya gerakan tani dll, ini isunya ada Rekonsiliasi NU dan PKI...Isu yang dikomandani Gus Dur secara Ide tapi dilakukan dalam praktek oleh anak-anak ideologisnya di Jogja. Pemimpin dari semua gerakan ini adalah orang yang pertama kalai saya kenal bernama Imam Aziz, seorang lelaki dari Pati, anak Kyai Kampung tapi santri dari Kyai yg dihormati KH Sahal Mahfud. Orangnya kalem, suka sekali humor dan ahli memasak. Saya mengenal sebelumnya dari buku-buku yg waktu itu diterbitkan LKIS, buku tentang tradisionalisme Islam yang progressif, Kiri islam dll...masa itu kalau anda membaca buku2 kiri maka anda diragukan jadi mahasiswa 

Singkat cerita bergabunglah saya disitu, acara pertama yg saya ikuti adala bedah buku Kudeta 1 Oktober 1965, Analisis Awal. Buku ini terjemahan buku yg bikin geger selama Orde Baru A Preliminary Analiysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, yang ditulis pengkaji Indonesia asal Universitas Cornell Amerika. 

Buku yang kesimpulan awalnya bahwa Kudeta Oktober 65 adalah konflik internal AD yang kemudian berakibat pada pemberangusan orang2 PKI baik hidup atau mati. Sebuah tragedi paling gelap dalam sejarah bangsa kita,a yang masih tersisa sampai hari ini. Pembunuham massal, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, pemecatan massal tanpa keterangan, perlakuan tak beradab bagi keluarga2 yg dianggap PKI hingga namanya tumpas kelor,anak dan keturunannya tidak boleh bekerja sbg pegawai dan pekerjaan yg dianggap membahayakan...membuat keluarga2 ini harus hidup dr sektor2 informal, ketika sektor informal berhasil tak jarang diambilalih pihak2 yg tak suka karena dianggap membahayakan kalau sudah punya modal bisa kembali memberontak, kalau bahasa anak sekarang hanya modus untuk merebut rejeki orang yg berusaha keras krn pencapaiannya.


Intinya kita sampai hari ini tidak pernah menyelesaikan problem besar ini. Membiarkannya berlalu dan satu peraati yang mengalami langsung mangkat dan membawa kenangan dan pengalaman hidup anti kemanusiaan dalam kuburnya. Sumilah ini adalah salah satunya, Sumilah pada waktu terjadi 1965 adalah anak yang tak selesai Sekolah Rakyat umur 13 tahun krn membantu di sawah, ketika bulan Desember 1965 terjadi penangkapan orang2 yang dianggap terlibat PKI atau pernah punya hubungan denga tani, organisasi wanita, buruh, siawa mahasiswa dan mungkin juga ketoprak atau seni yang berbau dekat PKI maka menjadi awal bagi berubahnya kehidupan prinadi dan sosialnya. 

Sumilah dipanggil ke kecamatan Prambanan, tak bisa berbahasa Indonesia diberi surat panggilan, setelah diperiksa tak ada aktivitas politik atau organisasi partai, yang ada kesalahannya paling berat adalah ikut menari di pendopo kelurahan, tari blonjo wurung, sebuah tari sebagai kritik sosial karena ekonomi oedeaaan yang berat gagal panen dan upah buruh tani yg hanya 1/4 bagian dari garapan sawah membuat mereka tak.mampu belanja (belonjo wurung). 

Sumilah diperiksa sebagai anak2...tapi dalam pemeriksaan tak luput tamparan untuk menjawab pertanyaan2 yang dia tidak paham atau tidak tahu. Sumilah tak boleh pulang dia harus menginap bersama orang2 lain dengan status mulai menjadi tahanan. Bapak dan Ibunya tak punya daya untuk.membebaskannya, walaupun kalau dalam.perspektif sekarang anak2 dibawah umur tak boleh diperlakukan seperti orang dewasa yang bersalah,kalaupun dia bersalah. Tapi siapa yang punya daya waktu itu di depan penguasa yang sedang ganas2nya memburu "pemberontak". 

Menjelaskan duduk soal bisa dianggap melawan dan penjara bisa menantinya seumur hidup. Sumilah menginap di kecamatan Prambanan pada waktu itu bersama orang2 dewasa hampir 1 bulan,dengan makanan seadanya dirangsum dari rumah dan tidur ala kadarmya bertumpuk dengan orang lain yang sama tuduhannya. Hingga di suatu massa datang truk membawa orang-orang yang ditahan tu digeser ke bekas penjara jaman Belanda wirogunan dan sebagian yang lain ke bekas benteng vredeburg depan gedung agung. Sumilah kecil berada dalam penjara tanpa kepastian, tak ada pengadilan yang ada adalah perintah korve. 

Dari Wirogunan selama hampir 1 tahun, datang lagi rombongan truk dipilihlah yang perempuan2 untuk naik ke truk dibawanya rombongan tahanan perempuan beberapa truk itu keluar Jogja, tak ada yang tahu tujuannnya. Mereka semua tak ada yang punya harapan karena semenjak pertama kali tak boleh pulang dari pemeriksaan mereka tagu bahwa semenjak itulah hidup bukan lagi milik mereka dan Tuhan, Tuhan sudah digantikan penguasa yang berkuasa memindah-mindah, memperlakukan apa saja terhadap diri dan tubuh mereka bahkan nyawa mereka.


Sampai kemudian berhenti truk itu di depan penjara tua di semarang, ya di penjara perempuan Bulu, bercampurlah Sumilah disitu dengan orang2 terpelajar dari Jakarta dan daerah lainnya, semua Ibu2 disitu menganggapnya sebagai anak,karena usianya waktu itu belum genap 16 tahun. Tak berapa lama di penjara Bulu datang kembali truk, dinaikkanlah beberapa orang dengan dipanggil satu persatu, kembali nama Sumilah disebut, maka kembali oula hidup tak tentu arah. Truk berangkat menuju pegunungan terjal di daerah Temanggung kemudian menyusuri bukit demi bukit sampai di sebuah lembah yang disebut desanya Plantungan, di lembah bekas rumah sakit atau lebih tepatnya kamp buangan untuk orang2 yang terkena penyakit kusta/lepra di jaman Belanda, bangsal2 panjang yang tertutup oleh rumput harus mereka bersihkan, gelombang demi gelombang orang datang dengan truk, ada juga yang dikirim dari jakarta. Ternyata Plantungan ini adalah untuk membuang orang2 seperti halnya Pulau Buru,hanya saja kalau yang laki2 di Pulau Buru para perempuan yang dianaggap "gerwani" dibuang di plantungan ini,lembah bekas buangan penderita Kusta. Saya sempat membuat satu film dokumenter tentang perjalanan Ibu2 ini termasuk Sumilah,dengan judul "Kado untuk Ibu" film amatir, tapi film.pembuka tentang kamp buangan perempuan tapol 65, didorong dari diskusi kecil dengan Mas Imam Aziz, kalau orang bicara Pulau Buru itu tapol laki-laki dimana para perempuannya?
Tak mudah untuk membuat film ini, karena memang trauma perempuan yang disiksa tak.mudah untuk bisa berbicara hingga kami kadang harus betul-betul membayangkan ibu2 kami sendiri yang tak mengalami masa itu misalnya atau terlepas dari masa2 berat seperti Bu Sumilah. 

Selama hampir 10 tahun mereka menghuni Plantungan menjalani Hidup yang seperti bentangan layar nasib... meminjam bahasa Puthut Ea yang menuliskan skenario film SINENKER,Sesuatu yang dirahasiakan, yang pernah kita bikin di tahun 2008,Film yang mengadaptasi tutur-tutur perempuan yang mengalami pemenjaraan dan penyiksaan pasca tragedi 1965.


2 hari yang lalu sore hari ketika saya sudah di airport untuk bersiap acara di Bogor, di WAG Pipiet Ambarmirah mengabarkan Bu Sumilah dirawat di Panti rini dalam keadaan tidak sadar, untuk selanjutnya saya tak membuka hp. 2 jam.kemudian Pipit mengabarkan Bu Sumilah sudah meninggal dunia. Saya menghela.panjang bahwa tugas dunianya sudah berakhir....penderitaan yang dialaminya sudah diangkat menjadi kebahagian kembali dalam dekapan Illahi. 

Saya mencoba tak sedih, saya belajar banyak dari orang2 sepertinya...setiap kami bertemu adalah dekapan seperti anaknya sendiri....ketika saya menikah, dia mensekap saya seperti dekapan ibu saya sembari mendoakan harapan2....Setiap penderitaan memang harus dilupakan dengan bekerja menjalani tugas manusia....Bu Sumilah sekeluar dr Plantungan menikah dengan sesama tapol dan berjualan sate, gulai dan tongseng di warung kecil di depan pasar Prambanan, masakannya enak karena banyak rempah dan kunirnya.

Suaminya mangkat terlebih dahulu 6 tahun yg lalu. Semua hal tentangnya adalah pelajaran tentang hidup dan ketidakcengengan....hidup yang juga tetap bermanfaat untuk keluarga, sekitar dan manusia yg lain....Sugeng tindak Bu Sumilah...karena Undangan Menari, seperti judul kumpulan Cerpen yang diedit Puthut hidupmu dimulai dan diakhiri...sekarang Undangan menari bukan dari kelurahan tapi dari penguasa alam....

0 komentar:

Posting Komentar