Senin, 07 Maret 2016

Supersemar dan Kontroversinya

Sabtu, 7 Maret 2015 | 17:17 WIB
 

KOMPAS Salinan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar

Oleh James Luhulima

JAKARTA, KOMPAS - Empat hari lagi, 11 Maret 2015. Ingatan tertarik mundur ke tanggal 11 Maret 1966, 49 tahun lalu, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 di Istana Bogor, Jawa Barat. Sesungguhnya, tidak ada yang khusus tentang Supersemar itu. Oleh karena surat itu dibuat atas permintaan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang menyatakan, apabila ia diberi kepercayaan, ia bisa mengatasi keadaan.

Pesan itu dititipkan Soeharto kepada tiga jenderal AD yang datang menemui Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966 sore. Ketiga jenderal itu adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi).

Permintaan Soeharto itu pun tidak dianggap luar biasa oleh Soekarno karena situasi pada hari-hari itu memang tidak menentu. Demonstrasi mahasiswa menentang pemerintah berlangsung setiap hari sehingga mengganggu aktivitas pemerintah.

Pada 11 Maret 1966 pagi, dijadwalkan akan diadakan sidang Kabinet Dwikora yang Disempurnakan di Istana Merdeka. Ada permintaan kepada para menteri untuk berkumpul ke Istana pada tanggal 10 Maret 1966 sore dan menginap di guest house agar dapat menghadiri sidang kabinet tepat waktu. Beberapa menteri memilih menginap di guest house dan beberapa menteri datang ke Istana pagi-pagi sekali. Soeharto tidak hadir dalam sidang kabinet itu dengan alasan sakit.

Presiden Soekarno, yang bermalam di Istana Bogor, 11 Maret 1966 pukul 07.30, menanyakan situasi Ibu Kota kepada Pangdam Jaya Brigjen Amir Machmud. Setelah mendapatkan jaminan bahwa situasi Ibu Kota aman, Soekarno menggunakan helikopter ke Jakarta untuk memimpin sidang kabinet.

Hari itu, ribuan mahasiswa dan pelajar menutup ruas-ruas jalan menuju Istana guna membatalkan sidang kabinet itu. Namun, upaya itu gagal karena para menteri sudah mengantisipasinya.

Akan tetapi, suasana berubah menjadi tegang ketika di antara para mahasiswa dan pelajar yang sedang berdemonstrasi itu hadir pasukan yang tidak dikenal (pasukan yang tidak memakai identitas kesatuannya).

Anggota pasukan pengamanan presiden, Tjakrabirawa, yang sedang berjaga-jaga segera melaporkan kehadiran pasukan tidak dikenal di antara para mahasiwa dan pelajar itu kepada Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, yang memberikan nota kepada Amir Machmud sebagai Pangdam Jaya. Namun, Amir Machmud hanya memberikan tanda kepada Sabur agar tidak perlu khawatir. Kepanikan muncul ketika beberapa anggota Tjakrabirawa itu menginformasikan kepada Sabur bahwa mereka mengenal beberapa personel pasukan tidak dikenal itu sebagai anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kini bernama Komando Pasukan Khusus AD (Kopassus).

Merasa tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari Amir Machmud, Sabur langsung mengontak Soekarno dan menyarankan kepadanya untuk meninggalkan Istana Merdeka dan menuju Istana Bogor. Saat berjalan ke helikopter, Soekarno bertanya kepada Amir Machmud, "Mir, ada apa lagi ini?" Amir Machmud menjawab, "Itu tentara di luar tidak banyak paling-paling 50 orang. Bapak pergi saja ke Istana Bogor." Presiden Soekarno didampingi ketiga Wakil Perdana Menteri (PM), yaitu Subandrio, Chairul Saleh, dan Johannes Leimena. Belakangan, pada 1995, Letjen (Purn) Kemal Idris mengungkapkan, dialah yang memimpin pasukan tidak dikenal itu. Ia diperintah Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto untuk menangkap Subandrio, Wakil PM I/Menteri Luar Negeri Subandrio.

Galau

Kepergian Soekarno secara terburu-buru ke Istana Bogor itu membuat Amir Machmud galau. Ia menganggap itu dipicu oleh kekhawatiran Sabur yang berlebihan. Ia kemudian berbincang-bincang dengan Brigjen M Yusuf dan Mayjen Basuki Rachmat. M Yusuf kemudian menyarankan agar menyusul Soekarno ke Istana Bogor, yang ditimpali oleh Basuki Rachmat, bahwa Presiden perlu diberi penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Jangan sampai nanti Presiden ditinggalkan oleh Angkatan Darat.

Ketiga jenderal itu lalu melaporkan niat mereka kepada Menteri Koordinator Pertahanan Mayjen Mursid, yang langsung setuju. Mereka lalu melapor kepada Soeharto di kediamannya. Soeharto kemudian menitipkan pesan untuk disampaikan kepada Soekarno. Setelah itu berangkatlah ketiga jenderal itu ke Istana Bogor dengan helikopter. Ketika tiba di Istana Bogor, suasana biasa-biasa saja, tidak ada ketegangan.

Di Istana Bogor, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil PM I/Menlu Subandrio, Wakil PM II/Ketua MPRS Chairul Saleh, dan Wakil PM III J Leimena. Dan, di tempat itu juga hadir Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie. Ketiga jenderal yang datang pun adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Soekarno.

Permintaan Letjen Soeharto pun saat itu dianggap tidak berlebihan mengingat beberapa hari setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), Soeharto telah diinstruksikan Soekarno untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban. Muncullah lembaga yang belakangan dikenal dengan nama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), di mana Soeharto menjadi komandan.

Jika dibaca secara saksama, Supersemar sama sekali bukan surat pengalihan kekuasaan. Salinan (copy) Surat Perintah 11 Maret 1966, yang sesuai aslinya, dimuat di harian Kompas, Senin, 14 Maret 1966, di halaman 3. Itu sebabnya Presiden Soekarno marah ketika Letjen Soeharto menggunakan Supersemar untuk membubarkan PKI. Soekarno mengatakan, Soeharto tidak berhak melakukan itu, walaupun ia menggenggam Supersemar. Pada 13 Maret 1966, Soekarno mengutus Wakil PM III Leimena untuk meminta pertanggungan jawab (kini pertanggungjawaban) Soeharto. Namun, Soeharto tak menggubrisnya.

Jika pemuatan salinan Surat Perintah 11 Maret 1966, di harian Kompas, Senin, 14 Maret 1966, itu tidak sesuai aslinya, tentunya Soekarno akan mengoreksinya. Pada 17 Maret 1966, Soekarno memerintahkan Chairul Saleh untuk membacakan pengumuman tertulis Soekarno bahwa Supersemar tidak berarti penyerahan kekuasaan dari Presiden ke Men/Pangad Letjen Soeharto malah menahan 15 menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Ironisnya, Chairul Saleh termasuk dalam daftar 15 menteri yang ditahan.

Sempat muncul desas-desus bahwa Soekarno dipaksa untuk menandatangani Supersemar. Desas-desus itu dibantah oleh Mayjen Ibrahim Adjie di harian Kompas, 21 Maret 1966. Bantahan itu rasanya masuk akal. Jika Soekarno berkeras bahwa Supersemar bukan penyerahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, lalu mengapa ia harus dipaksa untuk menandatanganinya. 


Editor : Laksono Hari Wiwoho
Sumber: KOMPAS CETAK

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/07/17175751/Supersemar.dan.Kontroversinya?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd

0 komentar:

Posting Komentar