Minggu, 06 Maret 2016

Asmara dan Kematian di Perbatasan Tiga Negara

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 06 Maret 2016)

Asmara dan Kematian di Perbatasan Tiga Negara ilustrasi Koeboe Sarawan
“Dreilandpunkt. Drielandpunt. Aux Trois Bornes.” Dengan lafal yang ganjil, aku terbata-bata membacakan kata-kata yang terpatri di semacam koin berbentuk lonjong yang ditemukan cucuku.
Membolak-balik benda pipih yang terbuat dari perunggu itu, kubujuk dia: “Ini bukan mata uang, sayang. Atok peroleh dengan memasukkan uang logam sungguhan ke dalam sebuah mesin mekanik. Memutar engkolnya. Dan keluarlah tanda mata ini. Oleh-oleh untukmu dari titik pertemuan batas negara antara Jerman, Belanda, dan Belgia, yang masih terselip di sakuku.”
Mesin tandamata itu terletak di bawah. Di kaki sebuah menara yang menjulang tinggi seperti hendak menyundul angkasa musim gugur yang malas. Di sekeliling, nun di bawah sana, terhampar hutan berwarna-warni seperti permadani yang baru dibentangkan jauh dan berdesakan berlomba hendak mencium kaki langit. Daun-daun berubah warna menahan dinginnya cuaca dan sapuan angin benua yang kering membekukan. Kuning, kecoklatan, juga merah. Ditingkahi pucuk-pucuk cemara yang tetap hijau. Ya, hanya cemara yang bertahan terhadap bengisnya musim, yang mengisyaratkan Natal akan abadi. Tak terkalahkan. Dan dia rela menyerahkan diri siap untuk ditebang kaum yang merayakannya. Diterpa angin, hamparan hutan berwarna-warni itu terkadang berubah menjadi lautan dengan gelombang yang bergulung-gulung merindukan tepian untuk merebahkan diri.
Ah, sedapnya duduk-duduk di sini sambil menatap kejauhan. Berkaca pada masa lalu. Suhu beberapa langkah di bawah titik beku, tapi fantasi tetap semarak. Di bawah, di kaki menara, daun-daun kuning mengering, rontok, dan dipermainkan angin. Kandas di tanah di mana sebuah tonggak batas tiga negara ditancapkan. Tonggak itu menjadi saksi bagi kekuatan cinta. Antara aku dan istriku. Dan bahwa cinta itu melebihi kesadaran kami terhadap tanah air, di mana sebuah kekuasaan sedang melancarkan teror terhadap warganya sendiri, menyusul bencana politik setengah abad lalu, yang menyebabkan ratusan ribu dibunuh, sementara kami yang sedang berada di luar negeri tak bisa pulang. Kecuali mau mati. Atau paling tidak siap dipenjarakan.
Dalam jumlah ratusan, kami gentayangan di negara-negara Eropa, tanpa paspor. Sakit hati, memang, kalau dikenang. Sebab anjing-anjing saja di daratan jauh ini mengantongi sertifikat. Namun, cinta tidak membutuhkan secarik kertas. Dia hanya memanggil-manggil keteguhan hati.
Adalah dua orang pemuda Jepang yang tak takut mati untuk kesetiaan pada persaudaraan dengan orang-orang yang terbuang seperti kami. Mereka pelesir dan menyamar sebagai back-packers untuk mencari perbatasan yang aman untuk menyeberang bagi orang-orang seperti kami dari satu negara ke negara lain di Eropa ini. Dan mereka menemukan titik temu dari perbatasan tiga negara ini.
Dengan bekal seadanya, aku dan istriku merapat ke Aachen, kota Jerman yang cuma sepelemparan batu ke perbatasan ini. Berpura-pura sebagai pengantin baru yang sedang berbulan madu, beberapa kali kami ke sini, duduk-duduk di bangku malas untuk mengenalinya dengan saksama. Ya, kami harus mengenalinya sama seperti kami mengenal kulit dan bulu roma kami sendiri dengan baik. Kalau perlu mengambil sekepal tanahnya yang berpasir, menjilat dan menciuminya untuk mengingat aromanya. Juga batang pepohonan dan daun-daun. Karena yang kami rencanakan adalah pertaruhan antara tertangkap dan kebahagiaan manusia yang memiliki sebuah kewarganegaraan.
Hutannya tidaklah selebat dan seganas hutan Nantalu di kampungku, tak jauh dari Sungai Asahan. Jauh lebih ramah. Renggang. Lebih tepat seperti hutan karet, kelihatannya. Mudah menyelinap di antara pepohonannya yang muda. Ramah pula.
Aku dan istri lahir ketika Belanda belum mengakui Republik. Jadi, kalau kami mengajukan permohonan kewarganegaraan di negara itu, tentulah lebih besar kemungkinannya diterima daripada mereka yang datang dari wilayah non-koloni Kerajaan Belanda. Paling tidak begitulah pikiran kami.
Pada suatu hari, yang sampai detik ini, kenangannya masih melekat kuat dalam ingatanku, kami berdiri lagi di perbatasan ini. Menjelang turunnya gelap. Daun-daun yang rontok sudah tak tampak. Untuk yang terakhir kali. Kami harus melangkah ke hutan kecil di bagian wilayah Belanda dalam keadaan bersih. Dengan jantung berdebar kuat-kuat dan hati yang diperteguh. Tak secarik kertas pun boleh tinggal di badan kami. Sebab kalau tertangkap, kami pasti dihukum, mujur kalau hanya ditendang kembali ke Jerman.
Aku meminta istriku untuk menyerahkan kertas-kertas yang ada di dompetnya. Melarang dia untuk menyobek-nyobeknya sekalipun sampai sudah menjadi remah. Sebab ceceran sobekan kertas itu bisa ditemukan kembali, dan bisa dibaca lagi. Sambil berdiri, kertas itu mula-mula memang kusobek juga sampai sekecil-kecilnya. Selumat-lumatnya. Tentu saja tidak untuk kubuang ke tempat sampah. Tapi, kukunyah di dalam mulutku. Bercampur dengan liur, gumpalan kertas itu terasa asin dan hambar di rongga mulutku. Kutelan! Ya, kutelan…! Dan kudorong dengan setenggak air. Dan dengan langkah pasti, namun dengan hati memikul beban pertaruhan, kami menyuruk di antara pepohonan dan semak-belukar dan kami masuk menginjakkan kaki yang gemetaran di tanah Ratu Wilhelmina.
Orang-orang yang terbuang, yang tak bisa pulang, dihadang senjata dan penjara, seperti aku ini masih muda-muda pada waktu itu. Romantisme ada di mana-mana, tidak hanya di taman-taman kota, atau mal. Juga tidak dalam keterasingan yang tidak pernah kami bayangkan. Asmara tidak mengenal penderitaan. Dia malah melampauinya. Seperti aku, sejumlah kawan lain memutuskan nikah dengan cara kami sendiri, tanpa tuan kadi, tanpa sesiapa, kecuali kami berdua.
Asmara. Apalagi dalam pengasingan. Siapa yang kuasa membendungnya? Konon pula hanya sebuah tonggak perbatasan. Kisahnya begini. Seorang perempuan. Belum tiga puluh usianya. Junjungan jiwanya berada di sebuah kota kecil di utara Jerman, sementara dia tinggal di sebuah kota kecil terpencil di Belanda. Dia berketetapan hati untuk menyongsong sang kekasih dengan menyeberang di titik perbatasan tiga negara ini.
Mengendap-endap, suatu sore, dia melangkahi apa yang dia kira perbatasan, dan yakin dia sudah menginjakkan kakinya yang molek di negeri Schiller. Dia keluar dari belukar dan begitu bahagia sudah merasa di seberang, dan dia rasanya akan segera mencari alat angkutan, menumpang bus menuju Jerman utara. Tiba-tiba dua orang polisi Belanda mencegatnya. Karena ternyata dia tersesat, dan kembali berada di wilayah Belanda. Tapi, pelarian, apalagi yang jadi korban dari satu kekuasaan yang tak punya hati, membuat manusia menjadi cerdas tak terduga. Perempuan kita itu menyatakan dia tidak berniat melanggar hukum. Dia telah dipermainkan oleh asmara, katanya.
“Saya kemari dengan pacar saya tadi. Kami bertengkar dan dia meninggalkan saya. Saya tidak berniat jahat, Tuan….”
Tentulah hatinya bersorak setinggi langit ketika sepasang polisi tadi membiarkannya melenggang pergi. Mereka sangka dia memang hanya seorang perempuan yang disia-siakan oleh asmara. Mengarungi gelap malam, perempuan itu harus kembali ke rumahnya sendiri. Tetap terpisah dari junjungan hatinya. Sampai kapan, maaf, aku tak tahu. Namun, ada kawan yang bercerita pernah melihat dia, berpasangan dengan lelaki Indonesia juga, sedang menikmati konser gratis selepas makan siang hari Selasa di Berliner Symphony. Syukurlah.
Titik-temu tiga negara ini sungguh berpahala bagi kami kaum yang tak bisa pulang, yang disingkirkan, yang dibiarkan melata mencari daratan tempat perlindung. Untuk merawat kehidupan yang sesungguhnya tidak diciptakan untuk menemukan akhir dalam kesengsaraan. Cuma untuk mati tapal batas ini tiada gunanya. Karena tak seorang pun di antara kami yang tahu di mana bisa ditemukan batas antara hidup dan mati. Pasukan berani mati seperti apa pun takkan mungkin bisa membantu kami menemukan jalan pelarian dari kematian. Kami harus menemukannya sendiri-sendiri. Menghadapinya sendiri-sendiri, bagaimanapun melambungnya cinta antara aku dan istriku. Tak bisa memilih. Satu kenyataan yang getir, yang tak bisa kuelakkan. Tak ada yang ingin dikubur di daratan yang jauh ini. Semua ingin mati di tanah air, angan-angan yang sulit ditampik kalau usia sudah uzur. Ada yang memutuskan menutup premi asuransi untuk mati secara Islam maupun Kristen. Sebab dengan jalan itu setidak-tidaknya kami bisa mati dengan baik-baik, beriring doa. Kematian yang tidak bisa kami bayangkan lima puluh tahun yang lalu, manakala kekuasaan yang zalim membiarkan kalau bukan mendorong para jagal untuk menebas batang leher kami. Cuma sedikit di antara kami yang meninggalkan agama nenek-moyang dan memutuskan untuk dikremasi dan abunya diterbangkan pulang dan dilarung di tanah tumpah darah dan di kota-kota Eropa di mana kami pernah berlindung di kaki langitnya, bertahan hidup.
“Maaf, Atok sendiri ingin menemukan kematian dengan jalan yang mana?”
Daguku menggantung dibuatnya. Mulutku yang tua cuma bisa ternganga seperti mengundang air liur. Otakku mandek. Begitu bodohnya si tua ini. Jari-jariku bergetar menahan debar jantungku yang seperti kena tonjok pertanyaan cucuku ini. Aku cuma bisa berdiam diri. Aku tak tahu apakah pelupuk mataku hangat oleh bulir airmata karena pertanyaannya yang tajam itu. Aku hanya ingat izin tinggalku di Indonesia akan berakhir tiga hari lagi. (*)
Catatan:
Atok = Kakek
_______________________
MARTIN ALEIDA, Lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 1943, menerima penghargaan Kesetiaan Berkarya “Kompas” (2013), Anugerah Seni Kementerian P&K (2014), dosen luar biasa bahasa dan sastra di Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta.

https://lakonhidup.com/2016/03/06/asmara-dan-kematian-di-perbatasan-tiga-negara/

0 komentar:

Posting Komentar