SOEHARTO, dalam buku otobiografinya
yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, mengaku
telah melihat Kolonel Abdul Latief, di RSPAD Gatot Subroto, jam 22.00
WIB, tanggal 30 September 1965.
Saat itu, Soeharto berada di RSPAD karena anaknya Tomy, sedang dirawat akibat terkena sop panas. Itulah detik-detik sebelum Kolonel Latief melakukan penculikan para jenderal yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G 30 S) 1965, pada pukul 04.00 WIB.
Dalam Cerita Pagi ini, penulis hanya mengingatkan pembaca, jika tulisan ini membandingkan dua buku sebagai kesaksian dua orang yang berbeda. Meskipun tidak membedah buku secara dalam.
Buku pertama adalah kesaksian Soeharto yang dituangkan dalam otobiografi Soeharto berjudul: Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Serta, buku Dr H Soebandrio yang berjudul: Yang saya alami Peristiwa G 30 S.
Peristiwa G 30 S, dilakukan Latief bersama Komandan Batalion Pasukan Kawal Istana Tjakrabirawa, Letkol Untung Samsuri. Dalam peristiwa itu, terjadi penculikan disertai pembunuhan, terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat (AD), yang dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Dalam otobiografinya, Soeharto mengaku tidak tahu peristiwa itu. Sebab, setelah melihat Latief di RSPAD Gatot Subroto, sekitar jam 24.00 WIB, dia langsung pulang ke rumahnya, di Jalan H Agus Salim, lantaran diminta istrinya pulang.
"Saya disuruh oleh istri saya, cepat pulang ke rumah, karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu. Sesampai di rumah, saya berbaring dan bisa cepat tidur," terang Soeharto, dalam bukunya, halaman 118.
Namun, menurut Dr H Soebandrio dalam bukunya, Soeharto tidak langsung pulang ke rumah, setelah dari RSPAD. Tetapi langsung ke Kostrad menemui pasukannya yang mendukung gerakan G 30 S.
"Yang sebenarnya terjadi, tengah malam itu, dia tidak pulang ke rumah. Setelah melewati Jalan Merdeka Timur, dia melihat persiapan sekumpulan pasukan, lantas menuju markas Kostrad," ungkap Soebandrio, yang juga mantan Kepala Badan Pusat Intelijen, dalam bukunya, halaman 46.
Masih menurut Dr H Soebandrio, di Makostrad, Soeharto melakukan rapat kilat dengan pasukan Kostrad yang mendukung gerakan Untung, dalam melakukan penculikan terhadap kelompok Dewan Jenderal.
Namun, tulisan Dr H Soebandrio itu berbanding terbalik dengan fakta sejarah yang diketahui saat ini. Dalam sejarah yang diketahui secara umum, setelah penculikan dan pembunuhan itu terjadi, Soeharto dianggap berjasa, karena berhasil menghancurkan pasukan Untung, dan bisa mengambil alih kepemimpinan AD yang kosong.
Diceritakan Soeharto, pasukan Untung yang pertama kali dilumpuhkan, berada di Jakarta, yakni di gedung RRI dan kantor Telkom. Operasi merebut RRI dan Telkom itu dipimpin oleh Kapten RPKAD dan Kapten Urip. Serangan dilakukan habis magrib.
"Alhamdullilah, tidak sebutir pun peluru harus dilepaskan, dan RRI serta Telkom, sudah bisa kita rebut," ungkap Soeharto, dalam bukunya, seperti yang dia paparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, halaman 127.
Masih di hari yang sama, tengah malam, Soeharto memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, untuk merebut Halim, tempat di mana Presiden Soekarno dan Ketua Central Committee (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit berada.
Menurut Dr H Soebandrio, Soekarno dan Aidit sengaja ditempatkan di Halim, agar keduanya terkesan bersekongkol dan terlibat G 30 S. Saat Sarwo Edhie merebut Halim, Soekarno dan Aidit sudah pergi dari tempat itu.
Dengan direbutnya RRI, Telkom, dan Halim, berarti pasukan Untung di Jakarta berhasil dilumpuhkan. Dengan begitu, menurut Soebandrio, kudeta tahap pertama yang dilakukan Soeharto dan kelompoknya selesai.
Namun, itu baru tahap awal. Sebab, kudeta tahap kedua masih ada. Kali ini, sasaran Soeharto selanjutnya bukan lagi para pemimpin AD, tetapi PKI, dan kekuatan para pendukung Presiden Soekarno, yang saat itu masih terasa kuat.
Masih dalam buku Dr H Soebandrio, langkah Soeharto untuk menghancurkan PKI adalah dengan memanfaatkan mahasiswa. Akhir 1965, Soeharto membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang terkenal dengan slogannya tritura atau tiga tuntutan rakyat.
Tuntutan pertama KAMI adalah bubarkan PKI, kedua bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan ketiga turunkan harga kebutuhan pokok. Organisasi ini kemudian dibubarkan Presiden Soekarno.
Kemudian, organisasi ini berdiri lagi dengan nama lain, yakni Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI). Sama dengan KAMI, organisasi ini juga didirikan untuk menyerang Presiden Soekarno, dan PKI.
Setelah menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keterlibatan (Pangkopkamtib) dan menerima Surat Perintah 11 Maret 1965 lah, Soeharto baru benar-benar menghancurkan PKI. Setahun kemudian, tepatnya 12 Maret 1966, Soeharto membubarkan PKI.
Setelah itu, tiga pemimpin PKI yakni DN Aidit, Nyoto, dan Lukman ditangkap. Ketiga menteri di Kabinet Dwikora ini kemudian diadili, dan ditembak mati.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi Soeharto dan Gerakan 30 September, ini berakhir. Semoga dapat memberikan wacana alternatif kepada sidang pembaca yang budiman.
Saat itu, Soeharto berada di RSPAD karena anaknya Tomy, sedang dirawat akibat terkena sop panas. Itulah detik-detik sebelum Kolonel Latief melakukan penculikan para jenderal yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G 30 S) 1965, pada pukul 04.00 WIB.
Dalam Cerita Pagi ini, penulis hanya mengingatkan pembaca, jika tulisan ini membandingkan dua buku sebagai kesaksian dua orang yang berbeda. Meskipun tidak membedah buku secara dalam.
Buku pertama adalah kesaksian Soeharto yang dituangkan dalam otobiografi Soeharto berjudul: Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Serta, buku Dr H Soebandrio yang berjudul: Yang saya alami Peristiwa G 30 S.
Peristiwa G 30 S, dilakukan Latief bersama Komandan Batalion Pasukan Kawal Istana Tjakrabirawa, Letkol Untung Samsuri. Dalam peristiwa itu, terjadi penculikan disertai pembunuhan, terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat (AD), yang dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Dalam otobiografinya, Soeharto mengaku tidak tahu peristiwa itu. Sebab, setelah melihat Latief di RSPAD Gatot Subroto, sekitar jam 24.00 WIB, dia langsung pulang ke rumahnya, di Jalan H Agus Salim, lantaran diminta istrinya pulang.
"Saya disuruh oleh istri saya, cepat pulang ke rumah, karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu. Sesampai di rumah, saya berbaring dan bisa cepat tidur," terang Soeharto, dalam bukunya, halaman 118.
Namun, menurut Dr H Soebandrio dalam bukunya, Soeharto tidak langsung pulang ke rumah, setelah dari RSPAD. Tetapi langsung ke Kostrad menemui pasukannya yang mendukung gerakan G 30 S.
"Yang sebenarnya terjadi, tengah malam itu, dia tidak pulang ke rumah. Setelah melewati Jalan Merdeka Timur, dia melihat persiapan sekumpulan pasukan, lantas menuju markas Kostrad," ungkap Soebandrio, yang juga mantan Kepala Badan Pusat Intelijen, dalam bukunya, halaman 46.
Masih menurut Dr H Soebandrio, di Makostrad, Soeharto melakukan rapat kilat dengan pasukan Kostrad yang mendukung gerakan Untung, dalam melakukan penculikan terhadap kelompok Dewan Jenderal.
Namun, tulisan Dr H Soebandrio itu berbanding terbalik dengan fakta sejarah yang diketahui saat ini. Dalam sejarah yang diketahui secara umum, setelah penculikan dan pembunuhan itu terjadi, Soeharto dianggap berjasa, karena berhasil menghancurkan pasukan Untung, dan bisa mengambil alih kepemimpinan AD yang kosong.
Diceritakan Soeharto, pasukan Untung yang pertama kali dilumpuhkan, berada di Jakarta, yakni di gedung RRI dan kantor Telkom. Operasi merebut RRI dan Telkom itu dipimpin oleh Kapten RPKAD dan Kapten Urip. Serangan dilakukan habis magrib.
"Alhamdullilah, tidak sebutir pun peluru harus dilepaskan, dan RRI serta Telkom, sudah bisa kita rebut," ungkap Soeharto, dalam bukunya, seperti yang dia paparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, halaman 127.
Masih di hari yang sama, tengah malam, Soeharto memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, untuk merebut Halim, tempat di mana Presiden Soekarno dan Ketua Central Committee (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit berada.
Menurut Dr H Soebandrio, Soekarno dan Aidit sengaja ditempatkan di Halim, agar keduanya terkesan bersekongkol dan terlibat G 30 S. Saat Sarwo Edhie merebut Halim, Soekarno dan Aidit sudah pergi dari tempat itu.
Dengan direbutnya RRI, Telkom, dan Halim, berarti pasukan Untung di Jakarta berhasil dilumpuhkan. Dengan begitu, menurut Soebandrio, kudeta tahap pertama yang dilakukan Soeharto dan kelompoknya selesai.
Namun, itu baru tahap awal. Sebab, kudeta tahap kedua masih ada. Kali ini, sasaran Soeharto selanjutnya bukan lagi para pemimpin AD, tetapi PKI, dan kekuatan para pendukung Presiden Soekarno, yang saat itu masih terasa kuat.
Masih dalam buku Dr H Soebandrio, langkah Soeharto untuk menghancurkan PKI adalah dengan memanfaatkan mahasiswa. Akhir 1965, Soeharto membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang terkenal dengan slogannya tritura atau tiga tuntutan rakyat.
Tuntutan pertama KAMI adalah bubarkan PKI, kedua bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan ketiga turunkan harga kebutuhan pokok. Organisasi ini kemudian dibubarkan Presiden Soekarno.
Kemudian, organisasi ini berdiri lagi dengan nama lain, yakni Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI). Sama dengan KAMI, organisasi ini juga didirikan untuk menyerang Presiden Soekarno, dan PKI.
Setelah menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keterlibatan (Pangkopkamtib) dan menerima Surat Perintah 11 Maret 1965 lah, Soeharto baru benar-benar menghancurkan PKI. Setahun kemudian, tepatnya 12 Maret 1966, Soeharto membubarkan PKI.
Setelah itu, tiga pemimpin PKI yakni DN Aidit, Nyoto, dan Lukman ditangkap. Ketiga menteri di Kabinet Dwikora ini kemudian diadili, dan ditembak mati.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi Soeharto dan Gerakan 30 September, ini berakhir. Semoga dapat memberikan wacana alternatif kepada sidang pembaca yang budiman.
(san)
0 komentar:
Posting Komentar