Aghnia Adzkia, CNN Indonesia
| Rabu, 22/10/2014 13:18 WIB
Ilustrasi. Pemerintah baru
dijejali tumpukan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya,
menuntaskan persoalan hak politik dan hak sipil korban tragedi 1965.
(Thinkstockphotos.com)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gegap gempita peralihan
presiden masih terasa. Di antara keriuhan seleksi menteri untuk kabinet sang
presiden baru, ada perasaan berbeda bagi eks tahanan politik peristiwa 1965,
Bejo Untung. Pria paruh baya itu melihat secercah cahaya asa untuk menyibak
gelapnya fakta peristiwa hampir 50 tahun lalu.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 1965) tersebut mengingat setiap keringat yang dia keluarkan ketika menggerakkan massa. Pesan singkat dia sebar ke ribuan anggota ke seluruh penjuru negeri. Beragam media dia gunakan, mulai dari tatap muka, pesan melalui ponsel, hingga media sosial.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 1965) tersebut mengingat setiap keringat yang dia keluarkan ketika menggerakkan massa. Pesan singkat dia sebar ke ribuan anggota ke seluruh penjuru negeri. Beragam media dia gunakan, mulai dari tatap muka, pesan melalui ponsel, hingga media sosial.
"Jangan memilih calon presiden atau partai politik yang memiliki rekam jejak ingin melanjutkan ide-ide Orba Soeharto. Jangan sampai partai politik itu tampil lagi. Jangan sampai calon presiden yang melanggar HAM tampil sebagai presiden," isi pesan singkat Bejo kala itu.Ratus ribuan massa yang tersebar di 200 cabang YPKP serentak menuruti instruksinya. "Pada waktu itu, dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, sampai ke Jawa, kami menginstruksikan supaya mencoblos Jokowi," kata Bejo kepada CNN Indonesia.
Kini presiden pilihan Bejo dan seluruh anggotanya telah resmi menjadi pemimpin negeri. Ada bungah luar biasa bagi mantan tapol itu.
"Kami para korban '65 tidak pernah ikut pencoblosan. Tapi begitu Jokowi yang maju, kami mencoblosnya. Ini bukti kami menaruh harapan besar," ucap mantan pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) tersebut.
Harapan itu kini semakin mendekat di depan mata. Sebuah asa agar kasus yang merenggut hak asasinya sebagai manusia selama puluhan tahun diusut tuntas. "Kami terdiskriminasi dan para tahanan politik hidup tak layak sebagai bangsa Indonesia. Kami disiksa dan dibuang tanpa diadili padahal jumlahnya jutaan," pria yang mendekam hampir sembilan tahun di bui tersebut menuturkan.Bejo dituduh terlibat dalam kegiatan Partai Komunis Indonesia yang menjadi kambing hitam Gerakan 30 September 1965. Seakan melunasi utang yang belum terbayar, Bejo meminta pemerintah secara tegas meminta maaf kepada dirinya dan jutaan korban lain. "Pemerintahan Jokowi harus mengeluarkan dekrit atau keputusan presiden di mana korban '65 mendapat penyelesaian. Hampir 50 tahun kami tidak pernah disinggung," katanya dengan nada menahan amarah.
Bejo meminta Jokowi menganulir Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 terkait perlakuan diskriminatif kepada mantan tahanan politik tragedi kemanusiaan 1965/1966 sesuai rekomendasi Mahkamah Agung. "Agar kami memiliki kekuatan hukum. Gunanya adalah agar mereka yang menjadi PNS dan pegawai Pemda atau guru mendapatkan hak pensiunnya," katanya.
Medio 2012, Komnas HAM mencatat pelanggaran HAM berat terjadi saat tragedi '65. Pelanggaran tersebut antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi), dan penghilangan orang secara paksa. Selain itu, para korban dan keluarganya mengalami gangguan mental secara turun temurun berupa tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik.
0 komentar:
Posting Komentar