Rabu, 22 Oktober 2014

Jokowi Harus Bisa Campuri Penyelesaian Kasus


Rinaldy Sofwan, CNN Indonesia | Rabu, 22/10/2014 13:17 WIB

Pakar HAM menilai Presiden Jokowi bisa intervensi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Hanya saja, dibutuhkan keinginan politik kuat dari Jokowi. (AntaraPhoto/ Prasetyo Utomo)

Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hak asasi manusia (HAM) menilai lambannya penuntasan penegakkan hukum atas tujuh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia disebabkan oleh persoalan politis dan hukum. Presiden  memegang paran penting dalam penyelesaian kasus tersebut. 
"Penanganan kasus pelanggaran HAM berat ini masalah politik. Di Indonesia, tidak ada kemauan politik dari Presiden untuk tegakkan hukum," kata Al A'raf selaku Direktur Program Imparsial saat dihubungi oleh CNN Indonesia, Rabu (22/10).
Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tujuh kasus yang termasuk pelanggaran HAM berat antara lain peristiwa 1965- 1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talang Sari Lampung 1989, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II serta peristiwa Wasior Wamena 2003.

Peran presiden, katanya, sangat besar dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat karena presiden bisa memberi perintah langsung. Perintah tersebut, ujarnya, bukan bentuk intervensi.

Al A'raf melanjutkan presiden mesti bertindak sebab peran jaksa agung tidak banyak mengingat secara politis posisinya ebrada di bawah presiden. Menurutnya, sikap Kejaksaan Aagung (Kejagung) dalam menangani kasus ini sangat bergantung pada sikap presiden.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah mengirimkan berkas hasil penyelidikan yang mencakup tujuh pelanggaran berat di masa lalu ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung). Namun, pada Juni lalu, Kejagung mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM karena dianggap belum lengkap baik secara materil maupun imateril.

Menanggapi pengembalikan berkas itu, Al A'raf menilai alasan tersebut hanya dalih yang dicari-cari Kejagung. Sebenarnya, katanya, berkas yang diberikan oleh Komnas HAM itu sudah sangat lengkap. Keputusan Jaksa Agung untuk mengembalikan berkas karena posisinya secara politik, ujar Al'Araf.

Selain itu, upaya yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat di Indonesia dianggapnya masih belum cukup untuk selesaikan persoalan yang ada. Komnas HAM, katanya, mesti membangun komunikasi baru dengan Kejagung dan Presiden agar menghasilkan langkah progresif. 

"Seharusnya Komnas HAM bisa lebih aktif," dia menegaskan. 
Lebih jauh lagi, jika Presiden Jokowi masih juga lamban merespons maka Komnas HAM bisa menggunakan media massa untuk membangun kesadaran masyarakat secara aktif. "Namun, tak adanya respons dari Jokowi tunjukkan rendahnya keinginan politik Jokowi untuk tuntaskan kasus HAM."

0 komentar:

Posting Komentar