Kamis, 21 April 2016

Legenda Pesakitan Politik Pulau Buru di Mata Warga


Suriyanto, CNN Indonesia | Kamis, 21/04/2016 15:37 WIB

Lukas Tumiso (kanan) bertemu dengan Kabul (kiri) salah satu transmigran gelombang pertama yang masuk ke Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Buru, CNN Indonesia -- Kisah Buru sebagai pulau pengasingan tahanan politik berakhir pada 1979. Secara bertahap, para pesakitan dipulangkan ke daerah asal usai dipaksa diboyong pada Agustus 1969.

Seiring dengan kembalinya mereka yang dituding terlibat Partai Komunis Indonesia ini, para transmigran -yang kini sama-sama menjadi warga Buru- datang. Seolah sudah direncanakan, para transmigran yang datang melanjutkan mengolah tanah Buru yang dulu dibuka oleh para tapol.

Menurut salah seorang bekas tapol Buru, Tumiso, tapol saat itu diminta membabat pohon-pohon besar di rimba belantara Buru. Dengan alat seadanya, setiap kelompok tapol ditargetkan bisa membabat satu hektare hutan setiap harinya.

Salah satu sudut kawasan pemukiman di Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Hutan yang telah dibabat kemudian dijadikan sawah dan ladang. Tapol menurut Tumiso juga membuat jalan dan irigasi. Infrastruktur tersebut kini masih ada, bahkan diperluas.
Sebelum dipulangkan, para tapol Buru menurut Tumiso sempat diberi tugas tambahan yakni membangun rumah untuk para transmigran.

Oleh para transmigran, tapol biasa disebut warga karena lebih dulu tinggal di Pulau Buru. Bukan cuma karena lebih dulu ada di Buru, warga transmigran juga menghormati para tapol karena dikenal pintar.
"Kalau tak ada warga (Tapol), entah bagaimana Buru ini bisa maju," kata Kabul salah seorang transmigran di Buru.
Kabul datang tak lama setelah para tapol pulang. Ia tinggal melanjutkan apa yang dulu dirintis oleh para tapol. Tanah sudah subur siap ditanami. Irigasi sudah tersedia.

Karena itu menurut Kabul, tak salah jika tapol yang kini hidup di Buru, sangat dihormati oleh transmigran. Mereka dituakan dan dijadikan tokoh di Buru.

Pariem, transmigran yang lain juga menyatakan hal yang sama. Baginya, transmigran saat ini tinggal memetik manisnya saja, sementara dulu yang bekerja keras membuka lahan adalah tapol.
"Terima kasih kepada warga yang sudah setengah mati membuka lahan buru, jasa mereka besar sekali," kata Pariem. 

Kalau tak ada warga (Tapol), entah bagaimana Buru ini bisa majuKabul (Transmigran Pulau Buru)

Saat bertemu Tumiso di rumahnya yang dulu merupakan bagian dari Unit III, Pariem tak sungkan mencium tangan Tumiso sebagai tanda hormatnya. 
“Dulu bapak yang menderita sekali, sekarang kami tinggal enaknya. Saya tidak tahu bagaiman kalo tak ada warga seperti bapak,” kata Pariyem sambil menyeka air matanya yang mulai menetes.
Pariem mengaku sama sekali tak terbayang dirinya menjadi transmigran di Buru hanya tinggal mengolah lahan yang sudah jadi. Dalam bayangannya, ia harus membuka lahan dengan cara membabat hutan. Namun ternyata, lahan yang diberikan pemerintah sudah jadi dan tinggal ditanami. (sur/sip)

0 komentar:

Posting Komentar