Selasa, 26 April 2016

Melacak jejak kuburan massal PKI dan simpatisannya

Fajar W Hermawan

  © Budi Purwanto /Tempo

Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM Luhut Pandjaitan untuk mencari kuburan massal korban peristiwa 1965. Perintah ini merupakan tindak lanjut dari simposium membedah tragedi 1965 yang digelar pekan lalu.

Menurut Luhut, penemuan kuburan massal yang selama ini terus diklaim merupakan pintu utama pemerintah untuk meminta maaf. "Pemerintah baru bisa meminta maaf kepada korban peristiwa 1965 jika ditemukan mass grave atau kuburan massalnya," ujar Luhut seperti dikutip BBC Indonesia.

Menurut Luhut, keberadaan kuburan massal itu penting untuk meluruskan sejarah tentang dugaan pembantaian terhadap orang yang disebut sebagai simpatisan PKI pasca peristiwa 1965.

"Sebab selama berpuluh-puluh tahun kita dicekoki ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal," ujar mantan Kepala Staf Kepresidenan ini.

Karenanya, Luhut meminta kepada siapa pun, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang mengetahui adanya kuburan massal itu untuk menunjukkan kepada dirinya.

Tantangan Luhut langsung disambut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar. Azhar mengklaim kuburan massal anggota PKI dan simpatisannya cukup banyak, terbentang dari wilayah Tengah, Jawa Barat, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. "Kalau titik kuburannya bisa mencapai ratusan," katanya seperti dilansir Republika.co.id.
Pada Juni 2012, Kontras pernah meluncurkan hasil penelitiannya tentang tempat yang diduga jadi kuburan massal anggota dan simpatisan PKI.

Menurut anggota Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani, dari data yang masuk setidaknya ada 17 titik kuburan massal yang ada di Jawa Tengah.

"Dari Tawangmangu, Karanganyar, Boyolali, Semarang, dan Cilacap, dengan jumlah korban yang beragam dari tiap lokasi. Sedikitnya kami temukan di tiap titik tersebut, ada sekitar empat orang sampai dengan 150-an orang dikubur di lokasi itu," ujar Yati seperti dilansir VOA Indonesia.

Menurut Yati, metode eksekusi yang dilakukan hampir seragam polanya. Hampir semua korban terlebih dahulu ditutup matanya, kemudian ditembak di kepala atau di tenggorokan.

Pada 2014 warga Kampung Plumbon, Wonosari, Ngalitan, Kota Semarang, pernah dihebohkan kabar adanya temuan kuburan massal yang diduga tempat anggota dan simpatisan PKI dibunuh.

Koordinator Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) Yunantyo Adi S menuturkan, berdasarkan kesaksian warga setempat, setidaknya ada tiga versi jumlah korban yang dikuburkan secara massal di tempat itu. Versi pertama 24 orang, kemudian 21 orang, dan 12 orang.

Kuburan massal yang diduga menjadi tempat orang PKI dikubur juga ditemukan di Bali pada 2015. Tempatnya di Jalan Banjar Masean, Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali. Kuburan itu sempat dibongkar dengan pengawalan anggota Polres Jembrana dan aparat TNI serta Pecalang setempat.

Hasilnya ada sembilan kuburan yang diduga eks anggota PKI. Dari sembilan kuburan itu, ada tiga kuburan yang isinya hanya tinggal tulang belulang, yaitu tulang lengan dan pecahan tulang tengkorak.

Penemuan kuburan itu tidak lepas dari penuturan Kakiang (Kakek) Kerende (96), salah seorang warga Mesean yang merupakan saksi peristwa."Mereka itu dikubur di bulan awal-awal tahun 1966. Setelah kejadian G30S PKI di Jawa," ujarnya dalam bahasa Bali.

Kesaksian adanya kuburan massal anggota PKI juga pernah diungkapkan Radimin (81). Kepada BBC Indonesia yang menemuinya ia menunjukkan kuburan massal yang berlokasi di hutan Jeglong milik Perhutani, Desa Mantup, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

"Di sini, 10 orang dalam keadaan terikat, ditembak dari belakang, dan dimasukkan lubang," ujar Radimin. Dia kemudian melangkah beberapa meter dan menunjuk sebuah gundukan tanah lainnya. "Di dalamnya ada 15 jasad manusia," katanya.

Di malam pembantaian yang berlangsung Desember 1965, Radimin mengaku dipaksa menyaksikan tindakan brutal itu. "Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak boleh jauh-jauh," ujar petani yang tinggal di desa tidak jauh dari lokasi pembantaian.

0 komentar:

Posting Komentar