Rabu, 27 April 2016

UGM Gelar Simposium Nasional 1965



YOGYA-Simposium Nasional Tragedi 1965 yang digelar pada tanggal 18-19 April 2016 menyedot perhatian banyak pihak. Sebab untuk pertama kalinya negara menyelenggarakan forum resmi yang membahas persoalan 1965 dengan menghadirkan perwakilan korban, pelaku, akademisi, para ahli dan pegiat HAM. Meskipun di dalamnya, beberapa pihak menyatakan bahwa negara tidak perlu meminta maaf untuk kasus 1965. 

Diskusi yang diselenggarakan oleh MAP Corner pada 26 April 2016 dengan tema “Simposium Nasional 1965 dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu” dimaksudkan untuk melihat prospek penyelesaian pelanggaran HAM dan bagaimana penyintas melihat Simposium Nasional tersebut. Diskusi ini mampu menyedot perhatian mahasiswa, masyarakat umum dan perwakilan Pemuda Pancasila.

Hadir Bu Christina Sumarmiyati yang akrab disapa dengan Bu Mamiek, sebagai perwakilan penyintas, menceritakan kisah kelamnya selama menjadi tahanan politik dari penjara Yogyakarta, Plentungan hingga penjara Bulu. Ia dipenjara hingga tahun 1987 tanpa tahu apa kesalahannya dan harus mengalami penyiksaan fisik maupun psikis. Berlangsungnya simposium nasional memberikan setitik harapan bagi Bu Mamiek untuk mendapatkan keadilan dan membersihkan namanya dari stigma buruk. 

Bagi Pak Budiawan, Dosen Kajian Budaya dan Media Pasca Sarjana UGM, tidak ada hal baru, terutama dalam materi, yang muncul dalam Simposium Nasional yang digelar di Jakarta. Sebab apa yang disampaikan oleh berbagai pihak yang hadir dalam simposium sudah bisa diprediksikan. Namun, simposium ini menjadi awal yang baik karena untuk pertama kalinya negara memfasilitasi pembahasan tragedi 1965. Oleh sebab itu, simposium ini menjadi titik tumpu dalam melanjutkan  penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. 

Bentuk konkrit dari penyelesaian pelanggaran HAM 65 salah satunya yaitu negara harus meminta maaf terhadap korban pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis. Pertanyaannya adalah apakah negara yang direpresentasikan oleh pemerintah Jokowi sekarang berkewajiban minta maaf sebagaimana dilontarkan oleh Gunawan Muhammad di catatan pinggirnya? 

Dalam diskusi tersebut, Budiawan membedakan konsep negara, pemerintah dan bangsa. Negara adalah suatu institusi politik yang durasinya lama. Sedangkan pemerintah hanya panitia dari negara, dimana orangnya bisa berganti-ganti dan durasi pendek. Sementara itu bangsa dipahami sebagai komunitas yang merupakan alasan adanya negara. Keberadaan negara tanpa bangsa tidaklah mungkin, namun bangsa tanpa negara masih mungkin meski lemah kedudukannya. Dari sini dapat kita pahami bahwa negara tetap berkewajiban minta maaf atas tragedi kemanusiaan dan pembohongan sejarah yang difasilitasi oleh negara.

Penyelesaian pelanggaran HAM secara hukum pun harus dilakukan melalui pengadilan ad hoc. Tujuan dari pengadilan ini bukan untuk menyudutkan individu yang satu dengan yang lain. Akan tetapi lebih kepada pengungkapan kebenaran tentang apa yang terjadi seputaran tahun 1965. Menurut Budiawan, bentuk lanjutan dari proses rekonsiliasi yaitu harus ada undang-undang rekonsiliasi yang sejatinya pernah dibuat oleh pemerintah pada tahun 2004, namun dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. [d01] 

0 komentar:

Posting Komentar