Jumat, 29 April 2016

Perlukah negara Indonesia meminta maaf terkait peristiwa 1965?

29 April 2016

Akankah pemerintahan Jokowi atas nama negara meminta maaf pada para penyintas dan keluarga korban peristiwa 1965? 

Diskusi terkait perlunya negara meminta maaf atas peristiwa 1965 menghangat di dunia maya setelah digelarnya simposium 1965 yang pertama digelar oleh pemerintah Indonesia, 18 April lalu.

Mengapa negara harus meminta maaf? Apakah maaf menyelesaikan masalah? Mengapa begitu penting kata itu diucapkan, sembari para penyintas menuntut keadilan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menguak dalam berbagai tulisan di Facebook, Twitter, blog, dan situs terkait pentingnya kata maaf dalam peristiwa 1965. Pemerintah sendiri menegaskan belum ada keputusan apapun terkait apakah negara akan meminta maaf tentang peristiwa 1965.

Namun Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menkopolhukam untuk mencari kuburan massal.

Bilapun ketika negara betul memita maaf, bisakah Anda menerimanya? Ketika Anda disiksa, disengat listrik, dan ditelanjangi seperti Deborah Sumini?
Ada banyak argumen muncul baik yang pro dan kontra permintaan maaf. Berikut rangkuman sejumlah pendapat yang tulisan lengkapnya bisa Anda baca dalam tautan-tautan yang kami sertakan.

1. Apa itu maaf, untuk apa, lalu apa?

Salah satu opini yang paling banyak dibagikan adalah Catatan Pinggir esais Goenawan Muhammad dalam majalah Tempo yang berjudul "Maaf".

"Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk kejahatan yang bukan kejahatannya, atas nama Negara yang sebenarnya tak bisa diwakilinya?" begitu salah satu kutipan dalam tulisan yang mendapat banyak kritik di media sosial.

"Apa sulitnya minta maaf atas tragedi 65? Ternyata buat GM sulit. But can the president speak for himself?" kata Damar Juniarto di Twitter. "Bahkan permintaan maaf pada jutaan orang yang dirampas hidupnya saja dianggap tak perlu oleh GM. Pun ia menghilangkan tanggungjawab negara!" kata yang lain.

Tapi tak semua mengkritik, "GM memang benar. Apalah arti sebuah maaf? Yang dibutuhkan adalah pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan pelurusan sejarah. Bukan maaf," kata @siputriwidi di Twitter.

Menanggapi beragam reaksi ini, dua hari setelahnya, Goenawan Muhammad menulis kembali dalam situs Qureta, yang menegaskan opininya bahwa "kejahatan Negara di pertengahan 1960-an, di bawah rezim Soeharto, tak bisa diteruskan jadi dosa Negara Indonesia di awal abad ke-21 yang justru dilahirkan kembali dengan menampik Orde Baru."

"Ketika Negara yang sekarang minta maaf untuk dosa itu, ia mau tak mau hanya jadi proxy -- dan permintaan maaf dari si "pengganti" tak akan bisa setara nilainya, baik dalam ketulusan maupun efek psikologisnya, dengan permintaan maaf yang diungkapkan mereka yang berbuat kejahatan." 

Simposium peristiwa 1965 yang digelar 18 April lalu. BBC INDONESIA
 

2. 'Maaf itu pintu'

Ugoran Prasad, fiksionis, peneliti kajian pertunjukan, yang juga aktif dalam kelompok musik Melancholic Bitch ikut memberi tanggapan dalam tulisannya berjudul Pintu.

Dalam tulisannya dia mengatakan bahwa maaf memang tidak cukup, tetapi maaf bisa jadi awal atau pintu untuk langkah selanjutnya, termasuk misalnya membangkitkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, perubahan drastis kurikulum pendidikan sejarah, dan lain-lain.

"Begitu banyak yang harus dilakukan, dan seluruhnya tak bisa dilakukan tanpa bermula dari sikap-penanda keadilan dari negara untuk mengakui kesalahan ini. Tanpa maaf, kita berputar di tempat, sibuk bertengkar dengan tetangga sendiri, babak yang tak selesai-selesai, bengong di lereng, tak bisa naik, tak mungkin turun. Bahkan Camus, yang percaya bahwa batu harus sampai puncak terlebih dahulu sebelum menggelinding jatuh lagi, tak bakal suka drama macam ini," tulisnya.   

 Deborah Sumini: Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal BBC Indonesia
 

3. 'Maaf itu murah'

Dalam status Facebook, penulis dan peneliti Made Supriatma enggan membicarakan maaf. "Maaf itu Murah," katanya di awal tulisan. 
"Pertanyaan saya, apakah kita mau minta maaf atau minta keadilan?"

"Sudahlah. Berhentilah maaf-maafan. Kita minta keadilan. Negara ini berjanji menegakkan keadilan. Bukan membuka pintu maaf ... Maaf, saya tidak sependapat dengan maaf-maafan."

4. Maaf itu tentang memberikan ketenangan pada mereka yang dilukai

"Kepala Negara meminta maaf? Ini lebih konyol ketimbang pertanyaan internet cepat buat apa?" kata penulis Arman Dhani dalam status Facebook-nya.

"Ini bukan soal pemerintah siapa yang menjagal dan pemerintah siapa yang minta maaf. Ini soal memberikan rasa lega kepada mereka yang kepalang menanggung dosa yang tak pernah mereka buat."

5. Mengapa sulit minta maaf?

Sementara itu Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York, dalam situs IndoProgress mencoba mencari jawaban tentang mengapa meminta maaf sulit.

Ada dua sisi yang dia ulas, yaitu dari perspektif hak asasi manusia (HAM) dan perspektif ekonomi politik. Dalam kesimpulannya Coen mengatakan bahwa meminta maaf pada akhirnya adalah langkah awal untuk mengungkap mengapa, untuk kepentingan siapa, dan siapa yang diuntungkan dari 'genosida' tersebut.

"Permintaan maaf itu, karenanya, bisa berujung pada pembalikan kembali Negara Indonesia ke relnya semula, yakni sebuah Republik seperti yang diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan itu adalah ancaman nyata buat mereka." 

Dokumen yang dimiliki Supardi, eks tapol 1965. 
 

6. 'Refleksi yang tidak hitam putih'

Terkait polemik yang ditimbulkan tulisan Goenaawan Mohamad, Saidiman Ahmad yang menyelesaikan program doktoral di Canbera, Australia mengaggap, kebanyakan orang keliru dalam menafsirkan catatan Goenawan.

Di akun Facebooknya, Saidiman menulis, "banyak yang kurang mengerti cara membaca catatan pinggir. Dikiranya catatan pinggir itu semacam makalah kuliah yang runut, sistematis dan berisi tesis yang jelas terang. Bukan."

Ditandaskannya, Catatan Pinggir, kolom tetap Goenawan Mohamad di majalah Tempo, "acapkali hanyalah refleksi atas persoalan yang rumit, yang tidak hitam dan putih. Sebuah catatan tanpa jawaban pasti. Sebuah kegelisahan yang dibiarkan mengambang. Catatan yang dibiarkan tidak selesai."

7. Lalu, apa kata penyintas dan keluarga korban soal maaf?
Wacana minta maaf sudah ramai dibicarakan tahun lalu, tepat 50 tahun peristiwa 1965 terjadi. BBC Indonesia bertanya pada sejumlah penyintas, termasuk Tedjabayu Sudjojono, aktivis organisasi pemuda CGMI, yang ditangkap Oktober 1965 dan dibuang ke Pulau Buru.

"Saya tidak mengharapkan terlalu banyak," katanya. "Meski banyak teman-teman yang mengharapkan kompensasi, ganti rugi. Hanya satu syaratnya, mereka (pemerintah) minta maaf, bahwa itu ada kompensasi itu nanti dulu. Kalau tidak minta maaf dan bahkan menghukum mereka, bagi saya tidak masuk akal, karena nanti akan membangkitkan dendam kembali dan saya tidak setuju itu."

Yadiono, 79 tahun, yang ditangkap karena dituduh menjadi anggota PKI mengatakan pemerintah tidak perlu minta maaf. "Untuk apa minta maaf? Kembalikan nama baik kami. Tidak ada guna minta maaf, kami ini tidak salah dibuang tanpa pernah diadili bagaimana dengan hukum di negara ini."

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160428_trensosial_mintamaaf

0 komentar:

Posting Komentar