Kamis, 21 April 2016

Sidarto Danusubroto: Rehabilitasi Umum Semua Korban Tragedi 1965

Kamis, 21 April 2016

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto (Ist)




JAKARTA- Saat ini perlu segera ada rehabilitasi umum yang dilakukan pemerintah Joko Widodo kepada para korban pelanggaran HAM 1965 dalam konteks pengembalian hak-hak sipil dan hak-hak kewarganegaraan sepenuhnya tanpa stigma dan diskriminasi sesuai yang telah direkomendasikan oleh Mahkamah Agung, DPR RI dan Komnas HAM. Hal ini ditegaskannya Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto menegaskan beberapa waktu lalu di Jakarta. 

Dibawah ini adalah pidato lengkapnya saat menutup Simposium Nasional, Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan, di Jakarta, 18-19 April 2016.

1. Selama dua hari ini kita semua telah hadir di ruangan ini untuk mendengarkan berbagai paparan, pandangan, testimoni dan pengalaman berbagai pihak tentang Tragedi 1965. Saya mendengarkan dan panitia telah mencatat.

2. Sebagai generasi yang telah mengalami turun naiknya gelombang kehidupan republik ini saya merasa berkepentingan dengan diselenggarakannya simposium ini. Melalui berbagai pengalaman sebagai perwira tinggi POLRI,

3. Periode menjadi Anggota DPR, serta saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, berbagai upaya telah saya laksanakan demi NKRI dan tercapainya tujuan pendirian negara sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi utamanya tujuan pertama yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia". Dalam hal ini salah satu dan yang terpenting adalah terwujudnya UU KKR pada tahun 2004 yang akan tetapi kemudian digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Selama sembilan tahun hingga saat ini berbagai upaya untuk mencari solusi untuk mengisi kekosongan undang-undang yang melandasi rekonsiliasi selalu kandas jika tidak ingin dikatakan didiamkan saja.

3. Bagi saya sebagai pejuang, keadaan ini dirasakan sebagai beban bahkan utang sejarah yang saya inginkan dapat dilunasi. Dengan segala kekurangan yang ada penyelenggaraan, simposium saya nilai sebagai peluang terbuka yang tidak boleh kita sia-siakan begitu saja jika kita semua yang hadir di sini menginginkan agar Tragedi 1965 kita tuntaskan secara baik dan beradab.

4. Tujuan dari simposium ini adalah :

a. menempatkan tragedi 1965 secara jujur dan proporsional dalam kesejarahan bangsa Indonesia . Tujuan pertama ini boleh dikatakan tercapai jika saya mendengarkan secara cermat paparan dari keempat sesi pada hari pertama. Terdapat simpul-simpul benang merah sejarah masa lalu bangsa hingga masa kini yang dapat kita telusuri dan ikuti bersama.

b. Membahas secara reflektif makna dan tatanan kebangsaan yang baru berlandaskan pembelajaran atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu khususnya Tragedi 1965. Tujuan kedua ini meski belum dapat dikatakan tercapai sepenuhnya tetapi telah memberikan titik-titik terang untuk melakukan refleksi guna membuat rumusan yang lebih tajam dan sesuai dengan makna dalam konteks budaya Indonesia. Titik-titik terang ini kiranya dapat kita petik sebagai essensi tercapainya tujuan pertama di atas.

c. Menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran berat HAM dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep pemulihan korban, rehabilitasi korban dan lain sebagainya). Pemikiran tentang rekomendasi ini menurut hemat saya perlu dirumuskan secara bijak karena ia tidak hanya terkait dengan keadilan secara hukum (justice) tetapi juga berlandaskan rasa dan sikap adil (fairness). Tujuan ketiga ini merupakan langkah lanjutan jika tujuan kedua telah sepenuhnya tercapai, suatu hal yang memerlukan tambahan waktu mengingat banyaknya materi paparan yang perlu diolah. Inilah yang perlu dipikirkan dan dituangkan oleh Tim Perumus dalam suatu naskah hasil simposium.

5. Sekalipun demikian, apa yang telah kita lakukan dan lalui bersama selama dua hari ini pada hakekatnya sudah merupakan suatu pencapaian tersendiri yang layak kita syukuri: bahwa kita bisa saling berhadapan, bertatap muka dan berdialog satu sama lain dalam suasana yang beradab sebagai warganegara yang memiliki harkat dan martabat dari suatu negara yang besar dan terhormat, NKRI. Sedikit banyaknya saya dapat merasakan terjadinya pencerahan dan pencerdasan wawasan tentang kesejarahan kita sebagai suatu bangsa selama kegiatan dua hari ini. Hal ini terbukti hingga hari terakhir pelaksanaan simposium masih banyak pihak yang ingin memberikan kontribusinya secara spontan, tanpa rasa takut meski masih diiringi dengan rasa cemas atau bahkan was-was di sana sini. Ini membuktikan bahwa kita bisa bertemu jika kita mau, tanpa pretensi namun dilandasi niat baik; bahwa kita memiliki keberanian untuk menghadapi dan menerima (meski belum tentu setuju) apapun yang ingin dikatakan pihak lain.

6. Terkait dengan Tragedi 65, dengan tetap mengakui adanya konteks politik internasional yaitu terjadinya perang dingin, kita tetap harus mengakui dengan kebesaran jiwa bahwa kita belum mampu mengelola bangsa kita yang majemuk secara beradab, utamanya dalam hal ini perbedaan ideologi. Hal mana kemudian masih terus membayangi kita hingga saat ini dimana kita mengelola berbagai perbedaan ras, etnis, agama maupun perbedaan lain dengan jalan kekerasan.

7. Kita mengakui terjadinya aksi horizontal dalam tragedi 65. Namun demikian, kita harus mengakui keterlibatan negara. Hal ini meminta kita untuk melakukan refleksi paling mendalam tentang bagaimana kita mengelola negara dan bangsa kita.

8. Saya mengharapkan bahwa semua pihak kemudian dapat memiliki kebesaran jiwa dalam memandang perjalanan kita sebagai bangsa. Kita sadar bahwa sebagai bangsa, pada masa lalu telah terjadi pelanggaran atas dasar negara dan tujuan pendirian negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah menyebabkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang kemudian menyebabkan luka bagi bangsa. Menjadi kewajiban seluruh bangsa pula untuk menyembuhkan luka bangsa dengan mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara pada dasar negara utamanya “Kemanusiaan yang Beradab” serta cita-cita pendirian negara utamanya tujuan pertama pendirian Negara kita yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia…”.

9. Tragedi 65 telah menyebabkan adanya korban Pahlawan Revolusi beserta keluarganya. Lebih jauh tragedi telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah besar, belasan ribu orang lainnya dibuang, dipenjara dan disiksa tanpa proses pengadilan atau diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan langsung mengalami penahanan untuk jangka waktu yang lama yang dikenal dengan istilah tahanan politik. Tidak saja perampasan hak dasar warga negara dialami oleh para tahanan politik dalam bentuk penahanan tanpa pengadilan tetapi perampasan hak dasar terjadi bagi warga negara yang diindikasikan sebagai ex anggota PKI dalam berbagai bentuk diskriminasi dan stigmatisasi dalam masyarakat,pelarangan terhadap banyak karya intelektual, serta rasa takut menyebar karena bahkan hanya dengan membicarakannya orang berisiko terkena stigma.

10. Dengan berpegang pada dasar dan tujuan pendirian negara, maka simposium ini telah mencatat beberapa pandangan tentang langkah penyelesaian dengan jalan Indonesian terbaik bagi tragedi 65, antara lain:

a. Harapan tentang penyelesaian tragedi 1965 dapat dikatakan semakin menguat dengan mendudukannya secara proporsional dalam perjalanan sejarah bangsa.

b. Memberikan pemulihan yang efektif dan menyeluruh kepada korban dan keluarga korban yang dituduh ‘PKI’ dan terkena stigmatisasi serta diskriminasi
c. Perawatan ingatan yang seimbang dan objektif tentang tragedy 1965 demi memelihara kesadaran kesejarahan dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

11. a. Saya mendengar berbagai aspirasi dalam simposium ini, termasuk dorongan yang kuat bagi Negara untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu demi masa depan Indonesia yang lebih beradab. Beberapa prinsip-prinsip penyelesaian yaitu pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan untuk ketidakberulangan mengemuka dalam simposium ini. Semuanya agar terjadi sebuah rekonsiliasi nasional. Pelaksanaan berbagai pandangan itu akan mempertimbangkan kondisi sosial, politik, hukum, dan budaya Indonesia.

b. Saya sangat mengharapkan agar simposium ini memberikan rekomendasi untuk diambilnya langkah segera berupa rehabilitasi umum bagi para korban (pelanggaran HAM) dalam konteks pengembalian hak-hak sipil dan hak-hak kewarganegaraan sepenuhnya tanpa stigma dan diskriminasi sesuai yang telah direkomendasikan oleh Mahkamah Agung, DPR RI dan Komnas HAM.

c. Suasana kebebasan selama simposium diharapkan bisa dilakukan di daerah tanpa adanya gangguan dari pihak manapun. Negara wajib untuk melindungi.
d. Saya berharap simposium ini menjadi sebuah langkah awal bagi sebuah jalan penyelesaian yang menyeluruh dan berkeadilan. Rumusan yang lebih lengkap yang menjadi rekomendasi bagi pemerintah dari symposium ini akan dirumuskan lebih lanjut oleh tim perumus.

12. Saya yakin bahwa dengan sikap penerimaan yang demikian bisa membuat kita semua tanpa kecuali semakin mantap menatap ke depan dan melangkah ke tahap selanjutnya dengan lebih mantap demi kehidupan bersama yang lebih baik, nyaman dan aman. Semoga Allah swt memberikan petunjuk dan perlindunganNya kepada kita semua. Amin

Simposium ini dilaksanakan oleh Gubernur Lemhanas, Jenderal Agus Widjojo,Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan dan Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto bekerjasama dengan Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB) diikuti oleh ratusan korban pelanggaran HAM 1965-1966 dari seluruh Indonesia. (Web Warouw)

http://www.bergelora.com/nasional/politik-indonesia/3276-sidarto-danusubroto-rehabilitasi-umum-semua-korban-tragedi-1965.html

0 komentar:

Posting Komentar