Kamis, 27 Januari 2011

Akhir Perjalanan Mia Bustam


27 Januari 2011


Di kampung kandang, pemakaman asri yang entah kenapa menggunakan bunga plastik sebagai aksesori di atas pusara, se­orang perempuan usia 90 tahun dimakamkan, Senin, 3 Januari lalu.
“Ia juru taman yang hebat. Kawan sealumni saya,” ujar seorang perempuan setengah baya berbaju hitam, menunjuk pada peti yang mulai diturunkan.

 Seorang frater muda memanjatkan doa, mengantar jiwa menuju kekekalan. Di sebelahnya, terpancang di atas gundukan tanah yang baru digali, bersandar salib kayu baru dengan gurat cat putih di atasnya: Fransiska Emanuela Sasmiati, Lahir 04-06-1920, Meninggal 02-01-2011. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai Mia Bustam.

Mujiati, perempuan berbaju hitam yang berbisik ke saya, tak bercanda saat menyebut Mia sebagai juru taman. Ia hanya mengungkap kenangan tentang “peran” Mia saat berada di Plantungan, penjara perempuan di Cilacap Jawa Tengah, tempat ratusan perempuan yang dituding sebagai kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia –pasca insiden Gerakan 30 September 1965–ditempatkan belasan tahun, tanpa pernah diadili. Mujiati dan Mia adalah bagian dari mereka, sehingga Mujiati menyebut Mia sebagai kawan satu alumni dari Plantungan.
“Ia dipercaya menata taman (saat di Plantungan). Dan taman yang ia tata selalu tampak terawat dan bagus,” kenang Mujiati.
Mia mencecap dinginnya Penjara Pelantungan, hanya karena keaktifannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi budaya ounderbow PKI.

Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978.

Sasmiyarsi Sasmoyo, istri wartawan senior Aristides Katoppo, berkisah bagaimana anak-anak Mia harus berpindah pengasuhan antarkerabat karena kepergian sang ibu. Anak sulung Mia, Tedja Bayu, ikut jadi pesakitan dan berakhir dengan dibuang ke Pulau Buru akibat aktivitasnya saat itu di Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Sementara itu, tujuh anak lainnya, sempat diasuh oleh ibu Sasmiyarsi.

“Ibu kemudian meminta saya untuk merawat anak nomor tiga dan empat,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Mimis ini.
Mimis adalah saudara tiri Mia. Keduanya sama-sama memiliki darah Raden Ngabehi Sasmojo, namun lahir dari rahim ibu yang berbeda.

Mimis mengenang bagaimana keluarga besar Keraton Mangkunegaran menentang hubungan Mia dengan Sudjojono, pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, yang kelak dikenal sebagai “bapak pelukis modern Indonesia.”

Darah biru keraton sulit menerima Mia berhubungan dengan seorang lelaki yang hidup di lingkungan keluarga bohemian, komunitas kuli kontrak yang sarat dunia keras dan tak peduli lembaga perkawinan.


Terpikat Sudjojono


Tidak direstuinya hubu­ng­an Mia dan Sudjojono oleh pihak keluarga juga di­kisahkan oleh Hersri, aktivis Lekra, yang turut terlibat dalam pengerjaan buku memoar Mia, Sudjojono dan Aku (Pustaka Utan Kayu, 2006).

Namun Mia yang memiliki nama kecil Sasmiya Sasmoyo ini, bukan perempuan yang pantang menyerah. Pertemuannya dengan pelukis berambut gondrong yang pernah terang-terangan memuji kecantikannya di depan sang ayah ini, benar-benar membuatnya jatuh cinta. Di usianya yang ke-23, tak lama setelah perjumpaanya dengan Sudjojono, keduanya pun memutuskan menikah di Solo.

Sudjono sangat dikenal dalam kumpulan aktivis seniman. Ia motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Lekra.

Tahun 1955, Sudjojono duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, ketika duduk sebagai wakil rakyat inilah Sudjojono justru mengkhianati cinta Mia saat menjalin hubungan dengan penyanyi seriosa Rose Pandanwangi. Ia meminta kebesaran hati Mia untuk dimadu. Namun Mia menolak, terlebih saat kampanye pemilunya, Sudjojono menjanjikan perjuangan hak-hak perempuan, termasuk menentang poligami.
Akibat petualangan cintanya, Sudjojono kemudian tak hanya kehilangan cinta Mia, tetapi juga dipecat dari PKI. Tahun 1959, keduanya resmi berpisah.

Pada tahun yang sama, Mia disahkan menjadi anggota Lekra dalam Kongres di Solo. Ia kemudian memutuskan menggunakan nama Mia Bustam, bukan lagi Sasmiya Sasmojo. Bustam adalah moyang dari garis ibunya atau ayah dari pelukis besar Sarief Bustaman (Raden Saleh).

Pada tahun 1964, dalam catatan Hersri Memoar Pulau Buru, Mia pernah memamerkan karyanya bersama perempuan pelukis lainnya, yakni S Ruliyati, Kartika Effendi, dan istri Edy Sunarso.

Namun, menurut FX Rudy Gunawan, penyunting untuk memoar Mia Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan (VHR dan Spasi, 2008); Mia lebih identik sebagai inspirator aktivis perempuan yang tangguh, ketimbang seorang perupa.
 “Sikap politiknya sangat jelas,” ungkap Rudy.
Ketanggguhan Mia memang tiada banding. Ketika pertama kali bertemu lagi de­ngan Tedja Bayu, anak sulungnya, yang baru dibebaskan dari penjara, Mia hanya berujar ringan, “Inilah hidup!”
Pengalaman telah menempanya sedemikian rupa menjadi pribadi yang sangat kuat. Kemarin, saat jasad ibu dari delapan anak, eyang dari 20 cucu, dan eyang buyut dari 11 cicit itu diturunkan ke liang lahat, Tedja Bayu mengucapkan salam perpisahan yang indah. “Selamat Jalan Ibu. Tugas sejarah Ibu sudah selesai. Kami yang akan meneruskannya.”

Sinar Harapan, 4 Januari 2011


0 komentar:

Posting Komentar