Senin, 07 Februari 2011

Cara Haji Misbach Melawan Penyimpangan Dalam Islam

7 Februari 2011 | 18:35



Sembilan puluh dua tahun yang silam. Di Surakarta tersiar kabar mengenai rencana debat antara Haji Misbach dan Martodharsono. Jauh-jauh hari, kedua tokoh ini sudah saling serang di media masing-masing: Haji Misbach dengan “Medan Moeslimin”, sedangkan Martodharsono dengan koran “Djawi Hiswara”-nya.

Atas titah dari Tjokroaminoto, pemimpin utama Sarekat Islam (SI) kala itu, sebuah vergadering akbar akan segera dilakukan pada 24 Februari 1918, sekaligus akan mempertemukan antara Haji Misbach dan Martodharsono di atas podium. Vergadering itu rencananya akan dilakukan di Sriwedari, dan akan diikuti oleh sedikitnya 20.000 orang. Umat islam Surakarta sangat menunggu vergadering itu.

Pemicu pertikaian ini adalah artikel Djojosoediro di koran Djawi Hisworo, yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Pada saat itu, Djojosoediro, atas persetujuan dan dorongan dari Martodharsono, menulis:
“Ah seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, keboetoelan sekarang ada waktoenja.
 Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. SEBAB GOESTI KANDJENG NABI RASOEL ITOE MINOEM TJIOE A.V.H. DAN MINOEM MADAT, KADANG KLE’LE’T DJOEGA SOEKA. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Maskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”

Umat Islam, terutama di Surakarta, gempar dengan tulisan tersebut. Sebagian besar menganggap bahwa tulisan tersebut merupakan pelecehan terhadap nabi Muhammad dan umat Islam. Sarekat Islam, sebagai organisasi islam terbesar kala itu, merasa wajib untuk melakukan pembelaan. Untuk itu, pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto telah membentuk apa yang disebut Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”.

Martodharsono sendiri bukan orang sembarangan. Dia adalah murid Tirto Adhi Soerjo, sang pemula, dan Raden Pandji Natarata alias Raden Sastrawidjaja, ahli sastra dari Yogyakarta. Ketika artikelnya mulai mendapat respon dan kemarahan dari umat Islam, Martodharsono pun berusaha memberikan klarifikasi di koran “Djawi Hiswara”. Namun, klarifikasi tersebut tidak bisa memadamkan api yang sudah terlanjur berkobar.

Di Surakarta, Haji Misbach segera membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) untuk memperkuat “kebenaran dan memajukan islam”. Akan tetapi, SATV ini jangan dibayangkan semacam milisi untuk memukul lawan, melainkan sebuah gerakan untuk mempropagandakan islam, mendirikan sekolah-sekolah bumi-putra, dan menerjemahkan Al-quran dan teks-teks keagamaan klasisk yang berbahasa Arab.

Bagi Haji Misbach, melawan penyelewengan terhadap ajaran islam tidak bisa dengan kekerasan, melainkan dengan bantahan lewat famplet dan tulisan-tulisan. Bahkan, untuk semakin memperkokoh islam itu, Haji Misbach mendorong berdirinya sekolah-sekolah dan pusat-pusat pengajaran. 
Ia menganjurkan kaum muslimin untuk terus “bergerak”, tidak diam atau pasif.

Coba anda bayangkan jika orang seperti Djojosoediro dan Martodharsono menulis artikelnya di era sekarang, maka ia bisa diserukan untuk dipenggal kepalanya oleh kelompok FPI dan sejenisnya. Tetapi, Haji Misbach dan umat islam saat itu melawan pelecehan dengan cara bijaksana dan terhormat.

KUSNO
http://www.berdikarionline.com/cara-haji-misbach-melawan-penyimpangan-dalam-islam/

0 komentar:

Posting Komentar