Selasa, 27 Oktober 2015

Konflik Vertikal dan Horizontal Terjadi Pada Kasus Korban 65


27 Oktober 2015 | Luvina Soenmi

Tom Iljas [Foto: Dok. LBH Padang]

DUA KALI Tom Iljas diusir pemerintah Indonesia. Paspornya pernah dicabut dari Indonesia lantaran huru-hara 1965. Dan 50 tahun kemudian, ia kembali terusir dari Indonesia karena berziarah ke makam orangtuanya di Padang.

Tahun 1960, Tom Iljas mendapat tugas belajar di Peking Institute of Agricultural Mechanization, China. Ia lulus tahun 1965, tepat ketika huru-hara sedang berguncang di Indonesia. Tiba-tiba paspornya ditahan imigrasi. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi di Indonesia. Selama 18 tahun ia terlempar jadi manusia tanpa kewarganegaraan, hingga akhirnya diterima sebagai warganegara Swedia.

Pada 15 Oktober 2015, ia dideportasi oleh imigrasi. Pada 10 Oktober, Tom Iljas bersama keluarga berangkat ke kampung halamannya, Salido, Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, untuk berziarah ke makam keluarga. Perjalanan sekitar tiga jam dari kota Padang.
Esoknya mereka berziarah ke makam ibunda Tom Iljas di pemakaman Kampung Salido. Selanjutnya, mereka meneruskan perjalanan menuju sebuah lokasi yang diyakini penduduk desa sebagai pemakaman massal tempat di mana ayah Tom Iljas berada.

Karena tidak tahu persis lokasi pemakaman massal korban peristiwa 1965, Tom dan keluarga mengajak dua penduduk desa untuk menunjukkan lokasi tersebut. Sampai di lokasi, anggota keluarga Tom Iljas meminta izin kepada pemilik tanah yang baru untuk berdoa. Pemilik tanah bilang agar mereka minta izin pada kepala kampung yang juga sedang ada di tempat itu. Kepala kampung tidak mengizinkan. Karena itu, Tom Iljas beserta keluarga memutuskan pulang dan membatalkan ziarah ke makam ayah Tom Iljas.

Setelah mengantar dua penduduk desa pulang ke rumahnya, rombongan melanjutkan perjalanan ke Padang. Dalam perjalanan, tiba-tiba mobil mereka dihadang oleh mobil polisi berpakaian preman. Mereka menutup jalan dan mengambil kunci mobil. Tom Iljas dan keluarga dibawa ke Polres Pesisir Selatan untuk diinterogasi.

Selama proses interogasi, dari dokumen tertulis, disebutkan bahwa tidak ada pasal yang dikenakan pada Tom Iljas. Namun polisi terus menyatakan bahwa rombongan adalah pembuat film dokumenter di Padang tentang kekejaman terhadap PKI. Keluarga mengalami penekanan dan penggeledahan selama proses pemeriksaan. Mobil digeledah, semua barang disita. Polisi meneror dengan cara membentak dan menggebrak meja. KTP dan Paspor ditahan.

Kewarganegaraan Tom Iljas lah yang kemudian mereka persoalkan. Kapolres Pesisir Selatan menyatakan rombongan dilepas tapi warga asing akan diperiksa terlebih dahulu. Pada 12 Oktober pukul 15.00 rombongan dinyatakan bebas semua. Tom Iljas, karena berstatus warga negara asing (Swedia), dibawa ke imigrasi terkait pemeriksaan administrasi.

Saat diperiksa, Tom Iljas menjelaskan kepada petugas imigrasi bahwa kunjungan yang dilakukannya adalah kunjungan pulang kampung untuk berziarah ke makam orangtua. Ia juga menyatakan keinginan pulang kampung untuk mendokumentasikan tentang kampung halamannya dan diperlihatkan kepada anak-anaknya di Swedia yang belum pernah sekalipun ke kampung halaman orangtuanya.

Pihak imigrasi mempersoalkan alat dokumentasi yang digunakan rombongan Tom Iljas (bukan dipegang oleh Tom Iljas). Pihak imigrasi menyatakan bahwa jika untuk dokumentasi pribadi, harusnya menggunakan kamera HP saja dan menurutnya visa kunjungan wisata tidak boleh dibuat untuk mendokumentasikan (merekam) perjalanan wisata.

Pada 15 Oktober 2015, pihak imigrasi memutuskan Tom Iljas dideportasi dan kena daftar cekal.

Melalui wawancara eksklusif dengan KBR 68 H, Tom Iljas menyatakan keinginannya kembali ke Indonesia.
“Tentu ada keinginan. Tapi sekarang sudah terlambat. Dulu keinginan itu kuat, tetapi setelah pensiun tidak ada yang bisa saya sumbangkan untuk Indonesia. Nanti jadi beban saja.”
“Tetapi ini kan sekunder. Masalah pokok seperti Pak Harto mencabuti paspor orang, itu kan salah, melanggar HAM. Itu harus dikoreksi dengan kebijakan baru, apakah bentuknya Perpres atau keputusan DPR, apa saja yang bisa menganulir keputusan itu. Jadi apakah orangtua itu mau pulang atau tidak, itu pilihan.”

PENCABUTAN paspor menyusul peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan satu fenomena yang harus dihadapi warga negara Indonesia di luar negeri. Para korban ‘65 ini terpaksa hidup mengembara dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut oleh negara dan mereka tak bisa pulang ke Indonesia. Mereka dikirim ke luar negeri oleh Presiden Sukarno untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi, maupun sebagai diplomat.

Selain Tom Iljas, peristiwa pencabutan identitas tersebut juga dialami Ibrahim Isa, kini menetap di Belanda. Pada akhir 1960, Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain. Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afrika dan Amerika Latin pada 1966. Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.

Dari Kuba, ia mendapat tawaran bekerja di lembaga riset Asia Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986, sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Hal sama menimpa Chalik Hamid. Ia berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi peristiwa 30 September 1965. Karena paspornya dicabut, Chalik Hamid tak bisa pulang ke Indonesia. Selama 25 tahun ia tinggal di Albania.
“Saya tinggal di sana tanpa paspor, hanya dikasih izin tinggal. Saya tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi tak pernah keluar dari Albania.”
Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990-an, ia pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.

Lain lagi cerita Sungkono. Saat peristiwa 1965, ia berada di Moskow, sedang belajar teknik mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1962. Saat paspornya dicabut pada 1966, Pemerintah Uni Soviet masih memberikan kesempatan kepada Sungkono untuk menyelesaikan sekolah sampai tahun 1967. Ia ditawarkan bekerja dan tinggal di sana.
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Saya berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok… Pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.”
Akhirnya tahun 1981, Sungkono meninggalkan Tiongkok ke Belanda dan pada 1987, ia dan teman-temannya mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan mereka yang berada di luar negeri, khususnya Belanda.

Diwawancarai BBC, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal. 
“Soal pencabutan paspor para eksil perlu dijadikan satu kasus. Kemudian kasus diskriminasi anak korban yang tak boleh menjadi pegawai negeri dan tentara pada 1981 dijadikan satu kasus lain,” katanya.
IBARRURI SUDHARSONO AIDIT adalah korban peristiwa 1965 lainnya. Ketika peristiwa itu terjadi, ia baru berusia 16 tahun dan sedang bersekolah di Moskow. Paspornya dicabut dan ia kehilangan kontak dengan keluarganya di Indonesia.

Pada acara soft launching situs 1965tribunal.org di Auditorium International Instituut voor Sociaal Geschiedeness (IISG) di Amsterdam, 17 September 2014, Ibarruri bercerita tentang paranoid warga Indonesia terhadapnya sebagai anak DN Aidit, yang dianggap tokoh PKI.
“Ketika sedang kuliah di luar negeri, saya punya teman bicara yang cukup dekat di kampus. Suatu kali, saya menunjukkan kartu identitas yang memuat nama Aidit. Waktu tahu saya anak Aidit, teman saya terdiam, kemudian lari,” katanya saat menjadi pembicara pada peluncuran situs 1965tribunal.org.
Ibu SH (85 tahun), merupakan janda dari seorang eks-tapol 1965 asal Karangasem, Solo. Ia bercerita mengenai perjuangannya menghidupi delapan putra-putrinya, sementara suaminya berada di tahanan saat peristiwa 1965.

Selama suami berada di tahanan, Ibu SH menuturkan bahwa ia harus mengambil alih peran sebagai kepala keluarga. Status sebagai istri tapol cukup mempersulitnya mendapat pekerjaan. Satu-satunya jalan yang dilakukan adalah dengan berwirausaha, mulai dari usaha ternak ayam broiler, budidaya ikan hias, hingga berdagang beras. Akhirnya Ibu SH mampu mengantar anak-anaknya hingga memperoleh gelar sarjana.

Diskriminasi tak berhenti sampai di sana. Salah seorang putranya pada awalnya diterima bekerja sebagai PNS di salah satu instansi. Namun setelah tahu ayahnya seorang tapol ‘65, tiba-tiba didiskualifikasi begitu saja. Suami Ibu SH hingga akhir hayat tidak mendapat pemulihan nama baik, uang pensiun maupun ganti rugi meski telah mengabdi puluhan tahun di TNI.

Diskriminasi terhadap korban ‘65 masih berlangsung hingga kini. Setahun belakangan, muncul kejadian pengusiran dan pembubaran pertemuan para korban ‘65.

Pertemuan korban ‘65 yang mayoritas lanjut usia, dibubarkan dan diusir paksa oleh sekelompok yang mengatasnamakan warga Bukit Cangang, Bukit Tinggi, pada 22 Februari 2015. Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 200-an korban ‘65 dari berbagai wilayah di Sumatera Barat untuk berdialog dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komnas HAM, serta Nursyahbani Katjasungkana, pengacara korban ‘65. Tujuannya untuk berdialog dengan lembaga negara untuk mendengar persoalan para korban, terutama kebutuhan mendesak korban ‘65 dan keluarganya.

Jelang pertemuan dimulai, tiba-tiba terdengar teriakan massa yang mengatasnamakan warga untuk membubarkan pertemuan dengan alasan tidak dihadiri lembaga negara dan tidak melibatkan seluruh warga. Padahal penyelenggara negara sudah berkoordinasi tertulis dengan kepolisian, kejaksaan, dan pihak lainnya.

Warga membubarkan acara tersebut degan memukul benda-benda sambil berteriak, “potong-potong jadi tujuh”, “bunuh sekarang”, “sudah bau tanah”, “binatang”. Warga menarik dan mendorong para korban ‘65 dari rumah pertemuan. Para lansia ketakutan, lari kocar-kacir, dan terjatuh. Aparat keamanan yang hadir menenangkan warga dan memilih setuju dengan desakan massa untuk membubarkan pertemuan, dengan alasan agar tidak memuncak menjadi tindakan kekerasan.

Kejadian serupa juga terjadi di Surakarta, 24 Februari 2015. Beberapa organisasi masyarakat, termasuk Front Pembela Islam Surakarta, melarang seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bersama Korban ‘65 di Surakarta. Seminar dengan tema Layanan Kesehatan Korban Tragedi 1965/1966 untuk Mewujudkan Rekonsiliasi” tersebut dinilai menghidupkan kembali komunisme.

Ormas tersebut menggelar aksi demo di sekitar lokasi penyelenggaraan acara. Mereka menolak acara berbau komunis itu diselenggarakan di Kota Solo. Polisi berjaga di sekitar lokasi acara. Peserta kesulitan masuk ke lokasi. Karena itu, pihak penyelenggara akhirnya memilih membatalkan acara tersebut.

Acara Semiloka Korban ‘65 di Salatiga pada 7-8 Agustus 2015 juga batal terselenggara karena aksi intimidasi dan teror oleh sekelompok fundamentalis atas nama FPI dan GPI. Padahal acara tersebut sudah medapat izin dari pemilik Wisma LP3S, tempat acara digelar, serta Walikota Salatiga dan pihak kepolisian.

Kasus terbaru terkait peristiwa ‘65 adalah pembredelan majalah mahasiswa Lentera yang dikelola mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Majalah Lentera Edisi Salatiga Kota Merah terbit pada 9 Oktober 2015. Para jurnalis majalah tersebut melakukan penelusuran terhadap Walikota Salatiga, Bakri Wahab, yang diduga merupakan anggota PKI. Selain itu, mereka juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Salatiga dan sekitarnya dengan melakukan investigasi di beberapa titik pembantaian.

Sepekan setelah terbit, Pemimpin Redaksi Majalah Lentera, Bima Satria Putra, dipanggil Rektor Universitas Kristen Satya Wacana serta jajaran universitas lainnya. Hasil pembicaraan saat itu, dikabarkan bahwa redaksi harus menarik semua majalah yang tersisa di agen-agen. Bahkan, polisi dikabarkan secara sepihak telah menarik majalah tersebut dari peredaran dengan alasan menciptakan situasi kondusif pada masyarakat.
Puncaknya, Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum Lentera, Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi, Bima Satria Putra, dan Bendahara, Septi Dwi Astuti, diinterogasi di Mapolres Salatiga.

Polisi berdalih penarikan Majalah Lentera setelah menerima protes dari sejumlah organisasi masyarakat yang mempersoalkan sampul depan majalah tersebut. Cover yang dipersoalkan adalah gambar bendera palu arit. Judulnya Salatiga Kota Merah, juga dipersoalkan. Polisi minta majalah yang sudah beredar ditarik kemudian diserahkan ke Polres.

ASVI WARMAN ADAM, Sejarawan LIPI, dalam opininya untuk Koran Kompas, 30 September 2015, menulis lima episode kajian peristiwa 50 tahun tragedi 1965 dari perspektif sejarah.
“Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan. Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode kelima ditandai dengan pemutaran film The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang.”
Kemajuan kajian mengenai Gerakan 30 September 1065 telah menciptakan gagasan rekonsiliasi nasional dari Presiden Joko Widodo yang disampaikan saat pidato kenegaraan, Agustus 2015. Jokowi lebih memilih jalur non-yudisial karena menganggap akan sulit melakukan pembuktian dan mengungkap kebenaran atas peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun tersebut melalui jalur pengadilan.

Di sisi lain, sejumlah aktivis hak asasi manusia, akademikus, dan jurnalis menggagas pembentukan pengadilan rakyat peristiwa 1965. Pengadilan itu akan diadakan di Den Haag, 11-13 November 2015. Nursyahbani Katjasungkana, koordinator tim pembentukan pengadilan rakyat 1965 menyatakan, International People’s Tribunal on 1965 (IPT 1965) diadakan untuk membuktikan terjadinya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang selama ini tidak pernah diakui oleh negara.

Putusan IPT 1965 akan dikeluarkan pada tahun 2016. Hasil putusan akan diberikan kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, dengan harapan akan keluar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan begitu, kata Nursyahbani seperti dikutip dari situs Tempo, terbuka peluang komunitas internasional mengeluarkan desakan agar Indonesia memenuhi tuntutan dalam putusan IPT 1965.

DARI PAPARAN kasus-kasus di atas, terlihat bahwa para korban ‘65 mengalami konflik vertikal maupun konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi pada kasus pencabutan paspor oleh Soeharto saat huru-hara 1965. Soeharto menganggap utusan Indonesia yang sekolah atau menjadi diplomat di luar negeri adalah antek-antek PKI. Praktik yang dilakukan Soeharto, dalam kasus pencabutan paspor yang menimpa Tom Iljas, Ibrahim Isa, Chalik Hamid, Sungkono, menggunakan tangan imigrasi. Konflik ini berlangsung antara negara/aparat negara, melalui tangan Soeharto maupun imigrasi (lembaga negara), dengan warganegara, baik secara individual maupun secara berkelompok.

Terkait konflik vertikal, peristiwa terbaru terjadi pada acara Ubud Writers and Readers Festival di Bali. Pada 23 Oktober 2015, panitia penyelenggara secara resmi mengumumkan pernyataan pembatalan tiga diskusi panel terkait rekonsiliasi dan pemulihan peristiwa Gerakan 30 September 1965, yakni pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer dan pameran, serta peluncuran buku The Act of Living tidak dapat dilaksanakan.

Polres Gianyar mengeluarkan larangan diskusi tersebut. Kapolres Farman menyatakan masih ada larangan tentang ajaran-ajaran PKI, sesuai TAP MPRS 1966.
“Itu masih berlaku,” katanya seperti dikutip dari media Tempo. “Dan masih ada Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara,” tambahnya.
Rezim neo-fasistik militeristik ala Orde Baru yang menyebabkan petaka disintegrasi masih berlangsung hingga kini. Padahal aturan hukum terkait diskriminasi negara terhadap para korban 1965 sudah dihapuskan.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 33 P/HUM/2011 tanggal 2 Desember 2013 telah menyatakan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI golongan C tanggal 25 Juni 1975 beserta seluruh peraturan di bawahnya sudah dihapuskan.

Keppres tersebut dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu: Pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945, pasal 28 D ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945, Pasal 28 I ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945; Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 23 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 26 Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.

Terkait hak politik eks PKI dan/atau keturunannya, yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif pada masa sebelumnya, hak tersebut sudah dikembalikan sesuai dengan semangat keadilan, hukum, demokrasi dan hak asasi manusia.

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 011-017/PUU-I/2003 yang merupakan hasil Judicial Review atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 60 huruf g. MK menyatakan Pasal 60 huruf g dalam undang-undang tersebut berbunyi: “Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya” dibatalkan.

Di Indonesia, memang masih ada aturan hukum yang melarang komunis, yaitu TAP MPRS 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999, seperti yang dijelaskan Polres Gianyar AKBP Farman di atas.

Tahun 2003 terjadi upaya penghapusan sedikit demi sedikit TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Selanjutnya lahir Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum.

Namun, Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketetapan dalam ketentuan ini diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Ideologi ajaran komunisme dianggap bertentangan dengan ideologi Negara Republik Indonesia sehingga TAP MPRS 1966 tetap dipertahankan. Ketetapan ini dinyatakan memiliki semangat “aturan dasar bernegara” untuk menyelamatkan ideologi Pancasila dan mencegah kembali terjadinya tragedi politik seperti G.30.S/PKI.

UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara juga memuat larangan komunis di Indonesia dan masih berlaku hingga kini. Ia dapat ditemukan pada Pasal 107 a (menyebarkan ajaran komunisme dalam segala bentuk dan perwujudannya), Pasal 107 c (menyebarkan ajaran komunisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, menimbulkan korban jiwa dan atau kerugian harta benda), dan Pasal 107 d (menyebarkan ajaran komunisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara).

Selain konflik vertikal, para korban 1965 juga mengalami konflik horizontal, yakni terjadi antar kelompok-kelompok masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia. Menurut Tamrin Amal Tamagola dalam makalahnya berjudul Dinamika Konflik Identitas dalam Sejarah Menuju Bangsa Berwatak, biasanya konflik horizontal ditandai oleh suatu sentimen subyektif yang sangat mendalam kental diyakini oleh para warganya, berupa sentimen kesukuan maupun sentimen keagamaan.

Konflik horizontal tersebut ditunjukkan melalui diskriminasi dan stigma antara masyarakat terhadap para korban ‘65, seperti yang dialami Ibarruri Sudharsono Aidit, anak dari DN Aidit, di mana temannya langsung lari begitu tahu bahwa Ibrarruri anak dari Aidit, dianggap tokoh PKI.

Pembubaran paksa kegiatan-kegiatan yang digelar para korban 1965 oleh sejumlah kelompok tertentu, juga menunjukkan terjadinya konflik horizontal. Seperti pembubaran acara korban ‘65 di Padang, Surakarta, dan Salatiga, seperti peristiwa yang sudah digambarkan di atas.

Timbulnya gagasan menyelenggarakan pengadilan rakyat peristiwa 1965 (IPT 1965) di Den Haag November 2015 ini merupakan wujud gerakan rakyat yang tak puas dengan penyelesaian perkara 1965 oleh negara. Janji Jokowi menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang menimpa para korban 1965 saat kampanye tahun lalu belum terlihat realisasinya. Bahkan pada Agustus 2015, Jokowi menyatakan akan melakukan upaya rekonsiliasi non-yudisial karena menganggap proses pengadilan sangat sulit dilakukan.

Padahal tahun 2012 lalu, Komnas HAM sudah mengumumkan bahwa peristiwa 1965 merupakan pelanggaran HAM berat. Pelakunya harus dihukum. Film The Act of Killing dan The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer semakin membuka mata terkait perlakuan para jagal di masa lalu. Mestinya Jokowi bisa lebih ‘garang’ mengungkap kejahatan masa lalu terkait peristiwa Gerakan 30 September 2015.

0 komentar:

Posting Komentar