Rabu, 17 Desember 2008

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan

Rabu, 17 Desember 2008




Peristiwa itu masih terbayang di benaknya. Suatu siang yang tak begitu cerah, 25 Desember 1965 yang lalu, saat itu dia masih menjadi siswa kelas tiga Sekolah Teknik Negeri (STN) Pandeglang, berencana pulang kampung karena sekolah libur panjang.

Setelah pakaian, buku dimasukan ke dalam tas, sebelum mencegat kendaraan laki-laki yang saat itu masih malu-malu bertemu dengan lawan jenis itu pun bergegas terlebih dahulu ke kantor Komando Distrik Militer (Kodim) Pandeglang, untuk minta izin pulang.

Dia memang harus lapor karena sejak peristiwa 30 September meletus di Jakarta, dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang harus wajib lapor dengan perkara, laki-laki yang baru menginjak umur 16 tahun itu, tercatat sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

Apa yang terjadi, ternyata di kantor Kodim, bukannya surat izin didapat, dia ditangkap, tanpa proses pengadilan, langsung dijebloskan ke dalam penjara, selama 14 tahun, dari tahun 1965-1979.

Anggota IPPI dituduh bagian dari PKI memang berdasar pada keputusan Letnan Jenderal Soeharto "atasnama Presiden" yang menganggap IPPI masuk ke dalam 26 organisasi bersama PKI karena dianggap "seasas/berlindung/bernaung di bawah PKI" yang berarti ikut terlibat G-30-S/PKI istilah Orba. Walau pernyataan itu banyak dibantah oleh mantan aktivis IPPI. (Lihat Renungan Mantan Pelajar Terpidana Oleh HD. Haryo Sasongko; www.Apa kabar.ws)

Suatu hari, di bulan Desember 2009, saya bertemu dengan laki-laki yang kini dikenal sebagai seniman lukis itu, di sebuah café di Pandeglang, Banten. Kulitnya, tampak mulai keriput, tapi sorot mata, nada suara, dan gerak tangan ketika menjelaskan, tampak sangat menggebu-gebu.

Laki-laki kelahiran Pandeglang tahun 1949 itu, berencana akan berpameran dengan tema Rakyat Tak Berkata, bersama dengan Wiro Kadirah, dan Ki Suhardi, Maret mendatang di Jakarta, sebuah pameran yang penuh dengan nuansa kritik setidaknya menurut pengakuannya, tentang gambaran pemimpin termasuk wakil rakyat yang banyak berkata-kata, janji-janji tapi seringkali kurang ada artinya, sementara rakyat tanpa banyak kata-kata terus bekerja. Momentum yang teras pas menjelang pemilu.

Bukan hanya bercerita perihal rencana pemeran kami juga banyak berbincang tentang perjalanan hidup sampai kisah cintanya, berjam-jam, sampai hujan yang turun ditengah-tengah pembicaraan kami pun berhenti.

Saat berbincang, ketika saya ajak kembali berbicara masa lalunya tentang proses penangkapan dan pemenjaraan dirinya, Sasmita yang sekarang namanya lebih dikenal dengan Gebar Sasmita dan sering dipanggil Gebar itu, mengaku menjadi anggota IPPI hanya ikut-ikutan, sebagai ajang pergaulan semata sebagai pelajar, dan dia pun mengatakan tidak mempunyai jabatan apa-apa dalam organisasi itu, kecuali sebagai anggota.

"Hanya sebagai anggota biasa," kata dia.

Gebar mengaku mengetahui tentang PKI setelah dirinya banyak berbicara dengan tokoh, anggota atau orang yang senasib dengan dirinya dituduh PKI saat dipenjara.

"Saya baru tahu, karena di penjara saya bertemu dengan sejumlah tokoh PKI dan orang yang dituduh PKI seperti saya," kata dia.

Tapi, gara-gara di-PKI-kan oleh rezim Soeharto, Gebar harus mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Pandeglang, dari tahun 65-66, sempat dua bulan di Rutan Serang sebelum dipindah ke rutan Kebonwaru, Bandung dari tahun 1963-1973. Kemudian mendekam di Nusakambangan, sampai tahun 1979.

Di Penjara Gebar bukan hanya merasakan siksaan kurungan yang merampas kebebasannya begitu panjang, tapi juga tamparan dan tendangan dia terima. Sempat juga tidak diberi makan selama dua tahun 1967-1967.

Selama tidak diberi makan, Gebar mengaku, makan apa saja untuk bertahan hidup, bonggol pisang, daun-daunan, tikus, sampai tanah pun dijadikan bubur.

"Tanah itu kami buat bubur," kata dia.

Gebar dibebaskan tahun 1979, seiring dengan pembebasan yang juga diterima para tahanan politik lain, tidak bisa dilepaskan dari tekanan internasional pada pemerintah Indonesia terutama amnesti internasional, untuk membebaskan para tahanan politik.

"Kalau tidak ada desakan dari luar, saya tidak tahu kapan saya keluar," kata dia.

Amnesti internasional didirikan tahun 1961 oleh seorang pengacara Inggris bernama Peter Benenson, giat mengkampanyekan prisoner of conscience, untuk memastikan keadilan dan mengadakan persidangan untuk tawanan politik.

Waktu mau keluar, Gebar mengaku sempat ditanya oleh salah seorang petugas penjara, bagaimana perasaannya menjalani 'kurungan' selama 14 tahun, Gebar pun merasa mendapat kesempatan untuk mengeluarkan perasaannya, dan dia mengatakan, merasa hidupnya disia-siakan oleh pemerintah, yang seharusnya melindungi dan memberi kebebasan pada warga negaranya dengan adil.

"Seandainya, saya tidak dipenjara mungkin lebih banyak yang saya berikan untuk bangsa ini," kata dia.

Bagi Gebar tuduhan bahwa dirinya terlibat PKI bukan hanya harus mendekam di penjara, selepas mengirup udara bebas pun, stigma sebagai 'orang PKI' terus menguntit, bukan hanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tertera cap khusus. Pemikiran masyarakat yang sering kali mencap segala sesuatu yang tidak baik dilakukan oleh PKI pun sering membuat Gebar terbebani.

Sebagai contoh masyarakat sering menuduh segala perbuatan yang tidak baik, dari pencurian, pelecehan seksual adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh PKI. Sementara yang masyarakat ketahui, Gebar adalah orang yang ditahan karena dianggap PKI, dan pemerintah tidak pernah mengeluarkan sebuah ralat, bahwa Gebar bukan PKI.

"Kita yang dituduh terlibat PKI pun seringkali merasa tertuduh, karena masyarakat mengetahui kita dipenjara gara-gara terlibat PKI," kata dia.

Belajar Melukis

Gebar lahir dan besar di Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Banten. Orangtua Gebar bernama Amat-Sapidoh. Amat berasal dari Sukabumi sementara Sapidoh asli Citeureup, orangtuanya menurut Gebar mempunyai toko kelontong sekaligus petani.

"Orangtua saya meninggal, waktu saya di penjara," kata Gebar.

Waktu kecil Gebar yang anak bungsu dari tiba bersaudara itu, bercita-cita menjadi insinyur. Selepas Sekolah Dasar di Citeureup, Gebar pun melanjutkan pendidikan di STN Pandeglang. Jalur pendidikan telah diretas untuk menjadi insinyur.

Sekedar informasi, jarak antara Citeureup dan Pandeglang lebih dari 100 KM, lebih-lebih pada saat itu kendaraan masih jarang, jalanan pun tidak semulus sekarang, Gebar pun indekos di Pandeglang.

"Mungkin kalau tidak ditangkap, saya sudah menjadi insinyur," kata dia.

Sementara itu, terkait dengan dunia lukis, suami Dini Mardini itu mengaku sudah menyukai dunia lukis sejak kecil.

"Waktu itu, lukisannya masih gunung, orang, sungai dan apa yang saya lihat," kata dia.

Penjara tidak membuat hasrat Gebar untuk terus melukis surut, dia terus belajar melukis. Tahun 1969-1973 saat di Kebonwaru, dia berkesempatan belajar pada maestro seni lukis Indonesia , Hendra Gunawan (1918-1983). Hendra dipenjara antara tahun 1965-1978, karena tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra.

"Dia sangat fair, dan menerima saya sebagai murid," kata Sasmita, yang menganggap Hendra adalah gurunya.

Saat di penjara Sasmita mengaku mendapat kiriman bahan-bahan untuk melukis seperti cat dari orangtua dan saudara-saudaranya. Pada saat di PN Nusakambangan, dia harus bisa 'bermain-main' dengan petugas, karena melukis salah satu kegiatan yang dilarang.

"Biasanya, saya melukis di hutan, sembunyi-sembunyi," kata dia.

Saat keluar dari penjara, Gebar memutuskan menetap di Pandeglang. Tahun 1980-1990, laki-laki yang kini telah menjadi ayah satu anak itu, rela pindah dari satu kamar kontrakan ke kamar kontrakan yang lain.

Tahun 1990-an, dari hasil penjualan lukisannya, Sasmita berhasil membeli sebidang tanah, tapi dia tidak punya uang untuk membuat tempat tinggal, dan beruntung diatas sebidang tanah itu, ada bekas kandang ayam, luasnya 3x3 meter.

"Kalau ayamnya sudah ngga ada memang, sementara kotorannya saya bersihkan," kata dia.

Gebar mengaku tinggal di 'kandang Ayam' sampai tahun 1999, banyak suka duka menyertainya, dari tempat tinggalnya runtuh karena dihempaskan angin dan badai beruntung hanya setengahnya dan tidak menimpa dirinya yang sedang tidur, kehujanan, sampai seminggu tidak bisa makan, karena tidak punya uang.

"Ternyata, saya masih hidup walau seminggu tidak makan," kata dia, sambil terkekeh.

Gebar mengaku, kehidupannya mulai membaik setelah tahun 1999, setelah beberapa pameran dia ikuti terutama di Jakarta , beberapa kolektor sering datang meminta karyanya.

"Ya, walau belum mapan, tapi setidaknya saya punya tempat berteduh," kata dia.

Bagi Gebar lukisan bukan sekedar keindahan, tapi ada sebuah makna untuk mengungkap sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat.

"Keindahan yang kita bikin, nyaris tidak berfungsi bila kebohongan, ketidakjujuran, kemelaratan, masih terjadi di sekitar kita," kata dia.

Lukisan-lukisan Gebar, bukan hanya mencerimkan keindahan gambar, tapi juga syarat dengan nilai kritik. Satu contoh lukisan Gebar tentang seorang veteran perang dengan kaki buntung, mimik muka sedih, dibelakangnya, penggusuran tengah terjadi, dengan bendera setengah tiang, lusuh seperti enggan berkibar di masing-masing rumah yang akan digusur. Seakan ingin menunjukan sekali lagi bahwa penggusuran itu adalah ketidakadilan, Gebar pun menuliskan, akan dibangun mall prestisius.

Veteran perang itu menurut Gebar bukan menyesali pengorbannya, tapi meratapi mengapa kondisi seperti jaman kolonialisme, masih saja dipraktekan. Penggusuran memang boleh-boleh saja, pembangunan juga harus didukung, tapi penggusuran tanpa solusi dan kehidupan yang lebih baik, adalah sebuah ketidakadilan.

"Penjajah juga membangun, tapi meminggirkan hak-hak pribumi yang lain," kata Gebar.

Gebar kini tinggal di Ciekek, Pandeglang. Mengelola komunitas pelukis bunga rumput, mendirikan sanggar Gebar. Melukis sambil menyebarkan virus, bahwa menjadi pelukis bukan perkara menggores keindahan, tapi ada sebuah sikap pembelaan pada rakyat yang seringkali menerima perlakuan tidak adil.

Sumber: GinanjarHambali 

0 komentar:

Posting Komentar