Selasa, 19 Desember 2017

Detik-Detik Terakhir Hidup Amir [1]

Selasa 19 Desember 2017 WIB

Petualangan politik menggusur takdir Amir Sjarifuddin dari seorang pejabat tinggi Republik menjadi buronan politik.

Amir Sjarifuddin (berkemeja puith) sedang digiring tentara ketika tertangkap di daerah Babalan, Kudus.) Sumber: Madiun 1948: PKI Bergerak karta Harry Poeze.

Hari masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas di Desa Ngalian, sebelah timur kota Solo. Namun atas perintah tentara, dua puluh orang penduduk desa telah sibuk menggali kuburan. Salah satu liang dipersiapkan untuk mantan Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia: Amir Sjarifuddin.

Sementara menunggu, Amir bertanya kepada seorang perwira TNI berpangkat letnan: apa yang akan terjadi? Amir bersama 10 rekannya didakwa melakukan makar terhadap pemerintah Republik. Dalam ‘Menggugat Peristiwa Madiun’ termuat di Pilihan Tulisan I, D.N. Aidit mencatat detik-detik eksekusi.
“Apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya?” tanya Amir.
Perwira pemimpin regu tembak itu bergeming. “Tidak usah banyak bicara,” katanya. Surat dari Gubernur Militer Gatot Subroto disodorkan. Isinya: perintah eksekusi mati.
“Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih,” tanya Amir lagi. Tanpa tedeng aling-aling, pasukan regu tembak mulai mengisi bedilnya dengan amunisi.
Amin Sjarifuddin bersiap menghadapi ajalnya. Dia minta sedikit waktu agar bersama rekan-rekannya diberi kesempatan menulis surat. Permintan terakhir itu dikabulkan.

Sesudah surat-surat diserahkan mereka menyanyikan lagu Indonesia Rayadan mars komunis Internasionale. Sebelum peluru menghujam tubuhnya, Amir berseru, 
“Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!” Dan kemudian…Dor!
“Mulailah kesebelas orang gagah berani itu ditembak satu persatu, dimulai dengan menembak kawan Amir Sjarifuddin,” tulis Aidit.

Amir meregang nyawa bersama Maruto Darusman, Suripno, Sarjono, Oey Gee Hwat, Harjono, Sukarno, Djokosoejono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku. Semuanya dieksekusi pada pagi buta, 19 Desember 1948; beberapa jam sebelum Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua.


Menjelang Eksekusi

Tiga bulan sebelumnya, Amir bersama Musso mengadakan “pemberontakan” dengan mendirikan sebuah republik bercorak Uni Sovyet di Madiun. Pemerintah tidak menoleransi huru-hara ditengah perjuangan revolusi menghadapi Belanda. Sebagai perdana menteri, Hatta begitu sensitif terhadap tanda bahaya yang bisa memberi celah bagi Belanda menusuk Republik. Begitu mendengar kabar dari Madiun, Hatta berujar, 
Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder (Sekarang adalah soal hidup atau mati. Menang atau kalah),” kutip T.B. Simatupang dalam Laporan dari Banaran. Sidang kabinet memutuskan: pengacau Madiun harus ditindak.
Musso tewas dalam pengejaran pada 31 Oktober 1948. Sementara pasca penarikan mundur dari Madiun, Amir memimpin sejumlah besar loyalis dalam pelariannya. Bersama sekira 3000 pengikutnya yang dipimpin Maladi Yusuf, terdapat pula anak-anak dan perempuan. Mereka merupakan anggota keluarga para “pemberontak” tersebut.

Soe Hok Gie dalam skripsinya “Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun, September 1948” (terbit 1969) menguraikan bahwa kelompok Amir dapat bertahan dari kejaran sampai akhir bulan November. 

Meski melalui medan yang sulit, Amir berusaha untuk memelihara semangat pasukannya dengan meyakinkan kemenangan di pihak mereka. 
Pengembaraan Amir mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu tiba di daerah Pati dan Purwodadi.

Pada 28 November 1948, Kolonel Djokosoedjono, Maruto Darusman, Sajogo, dan kawan-kawannya ditangkap oleh satu seksi TNI yang patroli di Desa Peringan, dekat Purwodadi. Dalam pengakuannya, Djoko Soedjono menyatakan bahwa ia terpisah hanya 200 meter dari Amir Sjarifuddin. Berdasarkan keterangan ini, pihak TNI menyimpulkan rombongan Amir pasti berada di sekitar Purwodadi. Pengejaran dan patroli kian digencarkan.

Keesokan harinya, TNI dapat melacak lokasi persembunyian Amir di Desa Klambu. Pengepungan dilakukan oleh pasukan Komando Pertempuran Panembahan Senopati. Amir mencoba meloloskan diri melewati rawa-rawa dan hutan-hutan namun tertangkap juga. Pasukan yang meringkus Amir adalah Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris dari Divisi Siliwangi.
“Amir Sjarifuddin barangkali lebih banyak jasanya daripada siapapun juga dalam membangun angkatan bersenjata negeri itu (Indonesia), tetapi Idris tidak menyinggung sedikit pun mengenai pengalamannya dalam pertemuan yang dramatis ini, yang berakhir dengan kematian Sjarifuddin melalui hukum tembak,” ungkap Gerry van Klinken dalam “’Aku’ yang Berjuang” termuat dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia suntingan Henk Schulte Nordholdt, Bambang Purwanto, dan Ratna Hapsari.
Setelah melakukan perlucutan, Kemal Idris dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi mengakui menjarah persenjataan pasukan Amir yang tertawan. 
“Senjata yang mereka miliki dapat dikategorikan masih baru, sehingga dapat digunakan untuk melengkapi persenjataan pasukan Kala Hitam yang sedang mengadakan operasi pembersihan,” ujar Kemal.
Saat tertangkap, keadaan Amir sudah payah, kurus, dan agak pincang. Dia menderita penyakit disentri. Dalam catatan sejarawan Belanda Harry Poeze, mantan menteri dan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tidak lagi bersepatu. Kacamatanya masih bagus; pipa cangklongnya yang tak terpisahkan sudah hilang seperti halnya anjing gembala Jerman-nya yang bernama Zero (ternyata Zero sudah terlebih dahulu ditangkap dan lantas menjadi peliharaan seorang perwira Divisi Siliwangi). Sedangkan senjata yang ada padanya hanya sepucuk pistol.

Menurut keterangan tentara yang menangkap Amir, “Ia (Amir) menderita penyakit itu (disentri), ialah karena takutnya, hingga ia dalam menahan ketakutan melarikan diri sampai ‘buang-buang air’”, dikutip koresponden khusus Sin Po, 5 Februari 1949.

Amir bersama pimpinan PKI kelas kakap lainnya dibawa ke Kudus kemudian Yogyakarta. Mereka harus menghadapi penghinaan di muka umum. Ketika digiring di antara kerumunan massa, rakyat di sepanjang jalan mencacimaki bahkan hampir jadi korban main hakim sendiri.

Saat sampai di stasiun Yogyakarta, rakyat berjejal-jejal untuk melihat wajah Amir. Ia terlihat tenang dan di kereta api masih sempat menekuni novel romantik karya William Shakespeare, Romeo and Juliet milik Kapten Soeharto, perwira TNI yang mengawalnya. Sedangkan Soeripno, Amir, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng Yogyakarta. Mereka ada dalam kondisi memprihatinkan: hanya memakai kolor dan berbaju lusuh, serta duduk melantai namun masih terlihat santai.
“Ketika Jaksa Agung (Susanto Tirtoprodjo) dan Kolonel Nasution mengunjungi mereka, Amir tetap memelihara sikap kebesarannya,” tulis Gie. Atas pendapat Jaksa Agung, tawanan-tawanan ini dikirim ke Solo untuk diperiksa oleh Gubenur Militer.
Tiba di Solo, Amir dan kawan-kawan dihadapkan kepada Kolonel Gatot Subroto. Gatot Subroto masih sempat menjamu dengan kopi sembari melayangkan kata-kata peringatan. “Gatot Subroto telah memutuskan bahwa sebelas orang tersebut lebih baik dihabiskan saja,” tulis Poeze.

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar