Rabu, 13 Desember 2017

Menangkal Hantu Masa Lalu

*Dita Nadine | December 13, 2017 

Ilustrasi diambil dari Flickr Creative Commons
Di suatu sore di Yogyakarta, beberapa tahun silam, saya terkesima mendengar cerita Ria, pendiri Papermoon, studio boneka asal Yogyakarta tentang pak Wi yang terpisah dengan kekasihnya karena dirinya terlibat peristiwa 1965. Cerita itu kemudian dikemas dalam sebuah pementasan teater boneka berjudul berjudul Secangkir Kopi dari Playa. Pementasan itu bercerita tentang pak Wi yang karena terlibat peristiwa 1965 tidak bisa kembali ke Indonesia saat dirinya ditugaskan belajar ke Rusia. Kewarganegaraannya dicabut tanpa dia tahu sebabnya. Sementara itu, kekasihnya menunggu tanpa kabar berita. Sampai usianya senja, Pak Wi tetap tidak menikah karena dia merasa sudah berjanji dengan kekasihnya. Puluhan tahun kemudian Ia akhirnya bisa pulang ke Indonesia dan mencoba mencari kekasihnya, yang ternyata sudah bahagia dengan anak cucunya. Kisah nyata? Iya, saya percaya cinta seperti cinta Pak Wi ada. Tapi apakah saya percaya kejadian 1965 itu kisah nyata? Jujur, karena saking chaos-nya gambaran peristiwa di tahun itu, otak dan hati saya menolak untuk percaya.
Namun tentu saja saya harus percaya bahwa kejadian 1965 itu nyata adanya. Ketika menonton secara langsung pertunjukan Secangkir Kopi dari Playa, airmata saya mengalir bukan cuma karena kisah nyata romantisme itu begitu tragis, tapi juga adegan singkat menggambarkan Indonesia di tahun 1965 mulai pelan-pelan menyentuh dan menggugah saya.
Siapa sih yang tidak tahu tentang peristiwa 1965 , apalagi buat generasi 90-an yang sudah pasti nonton film pembantaian G30S/PKI yang diputar dari tahun ke tahun.
Saya dibesarkan di dalam keluarga yang lurus-lurus saja. Ayah pegawai negeri, ibu seorang ibu rumah tangga. Mereka tidak pernah menjelaskan kekejaman itu meskipun saya bertanya. Sejak saat itu, saya menganggap itu fiksi. Isi buku sejarah cuma saya pelajari demi status juara kelas. Selebihnya, jujur, terlalu menyakitkan untuk dipercaya.
Mungkin ada kegelisahan dan juga ketakutan yang saya tutup rapat-rapat karena saya tidak mau percaya jatuhnya jadi terkesan tidak mau tahu. Tapi apa yang saya baca, apa yang saya lihat, terus mendesak pemahaman saya bahwa peristiwa nyata adanya. Saya membaca novel mulai dari novel yang lalu semacam Ronggeng Dukuh Paruk sampai yang terkiri seperti novel Pulang. Saya juga mendengar kisah dari mertua saya yang melewati tahun 1965. Ada kegetiran luar biasa yang harus saya percaya. Meskipun bagi saya, tetap skenario itu terlalu kejam untuk ada di negeri saya.
http://hartonomall.com/ronggeng-dukuh-paruk/
https://www.goodreads.com/book/show/16174176-pulang
Tiba-tiba beberapa hari yang lalu, sahabat SD saya menanyakan memori tentang 1965. Saya pun terkejut dan bingung. “Kenapa harus ke saya ya?” Tapi di tengah-tengah kebingungan, saya tak menyangkal ada rasa takut yang menyusup. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di kepala. “Apakah berbicara tentang 1965 itu aman? Yakin tidak ada ancaman apa-apa di kemudian hari? Bagaimana jika Hantu Soeharto muncul?
Untungnya sahabat saya bisa menyakinkan saya. Dia mengatakan bahwa cara terbaik melawan ketakutan adalah dengan menuliskannya dan membaginya ke orang-orang lain.
Dan, disini saya menuliskan semua ketakutan dan kegundahan saya terkait peristiwa 1965. Ketika menulis, saya jadi sadar bahwa selama ini saya menolak untuk percaya tentang apa yang sudah terjadi dengan memilih jalan hidup jauh dari politik, jauh dari aksi dan demo juga kekacauan apapun. Saya memilih terbelenggu dengan garis-garis kematian (deadlines) yang ditentukan oleh klien. Apalagi ketika tahu bahwa penyimpangan sejarah yang secara besar-besaran dilakukan oleh sebuah rezim. Efek sampingnya adalah saya kabur saat disuruh jadi pegawai negeri sipil dan saya juga menolak saat harus meliput berita politik. Malas rasanya.
Tapi saya juga sadar bahwa dengan cuek saya tidak membuat keadaan jadi lebih baik. Mungkin ini saatnya mendukung siapapun yang mendesak pemerintah untuk mengungkap fakta dibalik semua kekejaman dan penghancuran manusia secara sosial dan ekonomi karena pengungkapan kebenaran adalah satu-satu cara memulai mengurai kepelikan kasus 1965. Saatnya berani buat mereka yang selama ini bungkam. Toh, belakangan paparan fakta mulai bertebaran. Dan perlu diingat bahwa apa yang belum terungkap menjadi hutang pemerintah untuk mengungkap fakta. Kegelisahan terlalu lama ditutupi, hingga jadi penyakit. Jangan biarkan ketakutan diciptakan terus menerus, untuk kepentingan pihak tertentu.
Dan saya disini mungkin adalah satu di antara banyak yang sedang belajar untuk mengalahkan hantu dan perangkap ketakutan di orde yang lalu.
___
*I am a storry teller, an astronout on Yoniverse content factory, love to sleep and sleep.

Sumber: Medium.Com 

0 komentar:

Posting Komentar