Senin, 22 April 2019

Menyoal Komitmen Penyelesaian Kasus Kejahatan HAM

  • Materi untuk Diskusi Mahasiswa UNJ 
Baru-baru ini kita usai menggelar hajat demokrasi pilpres dan pileg yang untuk pertama kali pemilihannya dilaksanakan secara bersamaan. Apa yang menarik dari gelaran event demokrasi elektoral ini, salah satunya,  adalah munculnya fenomena ‘golput’ yang selalu menyeruak setiap kali pemilu dihelat. Selain bahwa ‘golput’ yang notabenenya ‘memilih tak memilih’ merupakan representasi hak mendasar -asasi- pemilih, menarik karena alasan-alasan yang melatarinya.

Golput vs Demokrasi Oligarki

Diantara alasan ‘golput’ itu, dimana YPKP 65 menyelami dinamika prosesnya, adalah bahwa pemilu 17 April 2019 lalu, selain merupakan ‘pemilunya para oligark’ juga pemilu yang mengabaikan penegakan hak asasi manusia (HAM). Faktanya, penyelesaian kejahatan HAM berat masa lalu1, perampasan ruang hidup rakyat, problem kesejahteraan buruh; tak mendapat tempat bagi penyelesaian tuntas yang berkeadilan.

Bahkan tidak juga dalam ruang-ruang kampanye dan debat capres-cawapres maupun paparan program-program para –politisi- calon legislator pada musim kampanye lalu. Tak muncul itu. Sementara dari perspektif HAM, golputers meyakini –meski ada perdebatan sengit- tapi menyepakati ‘tak ada demokrasi tanpa penegakan HAM’. Perdebatan ini bahkan mendapat ‘kritik tajam’ dalam diskusi diantaranya dengan jurnalis investigasi Allan Nairn.

Gambaran mengenai suramnya demokrasi di Indonesia, telah ditunjukkan melalui politik elektoral pemilu yang baru lalu, dengan melihat siapa yang menyokong ‘pesta demokrasi’ lima tahunan itu. Kepentingan politik apa di sebalik sokongan modal? Secara gamblang, bahkan pertarungan para aktor –capres/cawapres, caleg- yang tak merepresentasikan pertarungan program dan kepentingan rakyat banyak; melainkan kepentingan para oligark terutama kepentingan ekonomi politik korporasi raksasa tambang.

Secara detil gambaran lanjut ini dieksplor dalam karya film dokumenter Ekpedisi Biru ‘Sexy Killers’, dimana para aktor politik elektoral yang tengah bertarung memperebutkan kekuasaan negeri ini adalah para elite oligark yang berada di belakang kedua kubu dalam medan pencapresan. 

Sehingga atas salah satu referensi dokumenter berbasis data peta modal ini, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini adalah demokrasi oligarki; bukan demokrasi kerakyatan yang sejati.
Oleh karenanya maka gagasan membangun gerakan advokasi, terutama di kalangan mahasiswa; seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip demokrasi rakyat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ilustrasi - Kekerasan massal terhadap para korban Tragedi 65 [Kredit Gambar; Mardadi Untung]

Impunitas dan Reproduksi Kejahatan HAM

Dalam konteks Indonesia dimana penegakan hukum dan HAM masih jauh dari harapan, gerakan advokasi menjadi keniscayaan yang dibutuhkan. Tengok bagaimana pada tahun 2012 Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan pro-jutisia atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu dan merekomendasikan kepada pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, untuk menindaklanjutinya ke tahap penyidikan. 

Namun selain terjadi ‘bolak-balik pengembalian berkas’ antara Komnas HAM dan Kejakgung, realitas yang terjadi sampai hari ini adalah bahwa upaya itu telah menapaki jalan buntu, seakan semua upaya telah blunder dalam labirin politik serta membentur tembok kekuasaan yang beku dan tak tergoyah. Impunitas para pelaku kejahatan HAM berat masa lalu tak tersentuh, bahkan setelah Reformasi 1998 yang menumbangkan rezim oligarki Orba Soeharto pun telah lewat dua dasawarsa.

Dan khusus untuk pelanggaran HAM berat dalam Tragedi 1965 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) dan bahkan kejahatan Genosida2 maka pertanyaannya adalah akan sampai kapan impunitas para pelaku kejahatan HAM masa lalu itu bisa dijebol dan disudahi?

Ini adalah panggilan bagi para aktivist kemanusiaan. Impunitas, yang dalam konstruksi dan implikasinya berkelindan dengan militerisme adalah nyata dalam Genosida 1965-66 di Indonesia; termasuk pada saat mana militerisme ala Orba menguat kembali dalam realitas politik negara hari ini.

Dan pemilu 17 April 2019 yang baru lalu, selain merepresentasikan pestanya demokrasi oligarki juga merupakan pemilu yang menihilkan agenda tuntas penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu.

Nihilnya agenda penuntasan kasus kejahatan Genosida 1965-66 dan kejahatan HAM lain setelahnya, yang berarti melanggengkan impunitas para pelakunya, berkorelasi dengan terulangnya kejahatan HAM serupa pada masa-masa berikutnya karena tiadanya jaminan hukum dan penegakan HAM.

Temuan Lokasi Kuburan Massal

Sebagai sebuah organisasi yang langsung mewadahi kepentingan para korban dan penyintas, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 [YPKP 65] melakukan penelitian berkelanjutan. Salah satu bidang obyek risetnya adalah temuan lokasi kuburan massal para korban genosida 65 yang tersebar di berbagai daerah; terutama Sumatera, Jawa dan Bali.

Temuan lokasi kuburan massal ini bahkan pernah dilaporkan ke Komnas HAM dan pemerintah melalui Menko Polhukam pada Maret 2016 sebanyak 162 titik. Jumlah temuan lokasi kuburan massal ini terus bertambah dari waktu ke waktu hingga mencapai 355 lokasi pada April 2019, pada saat mana pesta demokrasi bernama Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif dihelat secara nasional.

Fakta temuan lokasi kuburan massal korban genosida 65 ini, selain sebagai bukti faktual telah terjadinya kejahatan HAM di masa lalu, seharusnya dapat menjadi bukti hukum baru (novum) yang akan melengkapi hasil penyelidikan pro-jutisia Komnas HAM 2012 yang terhenti terjegal proses lanjutannya itu. Untuk kemudian dilakukan penyelidikan lanjutan atau pun langkah terobosan lainnya. 

Tabel Data
Temuan Kuburan Massal Korban Tragedi 1965-66 s/d April 2019
  1. Jawa Tengah: 117 lokasi
  2. DIY: 9 lokasi
  3. Jawa Timur: 111 lokasi
  4. Jawa Barat: 7 lokasi
  5. Banten: 1 lokasi
  6. Nangro Aceh Darussalam: 7 lokasi
  7. Sumatera Utara: 17 lokasi
  8. Sumatera Barat: 22 lokasi
  9. Sumatera Selatan: 2 lokasi
  10. Kepri: 6 lokasi
  11. Lampung: 8 lokasi
  12. Bali: 8 lokasi
  13. Kalimantan Timur: 1 lokasi
  14. Kalimantan Tengah: 1 lokasi
  15. Sulawesi: 8 lokasi
  16. Nusa Tenggara Timur: 10 lokasi

Komitmen 

Meski kejahatan kemanusiaan genosida 65 telah lewat 53 tahun, masih belum ada tanda-tanda negara akan menyelesaikan kasusnya. Berbagai upaya untuk pengungkapan kebenaran melalui kerja-kerja penelitian, pendokumentasian, memorialisasi dan rekonsiliasi di tingkat grass-root telah dilakukan meskipun terbatas. Upaya yang bukan saja lebih didorong oleh inisiatif lokal dan masih terpisah-pisah satu sama lain sehingga tak terjamin keberlanjutannya3; namun juga rawan dipersekusi.

Pada kenyataannya, pertemuan-pertemuan para korban dan penyintas di berbagai daerah, bahkan juga pertemuan yang menghadirkan pejabat negara seperti LPSK4; tak luput dari tindakan persekusi dan intimidasi.

Menyikapi realitas seperti ini tak ada lain kecuali mempertanyakan kembali komitmen pemerintah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya.  

Siapa pun –presiden dan politisi- yang terpilih, setelah usai event pemilu presiden dan pemilu legislatif yang hingar-bingar ini, maka seberapa kuat komitmen pemerintah untuk merealisasikan penuntasan kasusnya?
____
Lihat komitmen ‘Nawacita’ dalam dokumen RPJM Nasional 2014-2019
Putusan akhir International People’Tribunal 1965, DenHaag, 10-13 Nov.2015 dan putusan finalnya dibacakan Zak Yacoob, Capetown, 20 Juli 2016. 
Kasus Rekonsiliasi yang dilakukan Walikota Palu, Rusdi Mastura, 2016.
Insinden Kroya saat Komisioner LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) menemui para korban pelanggaran HAM guna sosialisasi program layanan medis dan psiko-sosial.  

0 komentar:

Posting Komentar