Jumat, 19 April 2019

Marx House


Oey Hay Djoen


Hari itu barangkali telah sangat menentukan perjalanan hidupku.
Pada suatu hari di akhir tahun 1945 atau awal 1946 itu, aku mampir ke subuah gedung tua yang terletak di ujung jalan "spoorstraat“ tepat di belokan ke jalan "Boldi“. Di atas pintu masuk gedung itu terpasang papan nama: "Serikat Rakjat“, dalam huruf-huruf cat hitam di atas latar belakang cat merah menyala.

Aku mampir ke situ karena mengetahui bahwa di situ ada dijual buku-buku yang telah menarik perhatian dan minatku.

Selagi asyik melihat-lihat dan memperhatikan buku-buku yang secara sederhana digelar di atas sebuah meja panjang (di ruangan depan yang dimaksudkan sebagai semacam toko buku itu, tidak ada lemari-lemari atau rak-rak buku sebagaimana layaknya di sebuah toko buku), dan yang di antaranya aku dapatkan buku Manifesto of the Comunist Party, aku merasakan tangan seseorang menepuk bahuku.
“Anda berminat akan buku-buku seperti ini?“ tanya seseorang yang berdiri di belakangku.
Seseorang berperawakan tegap, tidak terlalu tinggi, dan bermata sedikit juling. Belakangan aku mengetahui bahwa orang itu bernama Tukliwon, seseorang yang berbapak seorang Digulis, dan belum lama “pulang“ ke Indonesia dari Australia.
Sambil membalikkan badanku, aku menjawab, “O, saya Cuma lihat-lihat saja. Dan memang saya tertarik pada buku-buku seperti ini.“
Dan dari perkenalan secara “kebetulan“ itu, berkembanglah percakapan yang mengasyikkan, dan yang berakhir dengan sebuah penawaran Tukliwon itu padaku: “Apakah anda berminat untuk lebih mengenal dan mendalami yang ditulis dalam buku-buku seperti ini? Jika anda mau, maka saya dapat memperkenalkan dan mengantar anda sehingga anda dapat mengikuti semacam mimbar pengetahuan politik.“
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan yang disampaikan oleh Tukliwon padaku, setiap petang hari, dari jam 19:00 hingga (rata-rata) pukul 22:00 aku mengikuti yang kemudian ternyata adalah kursus Serikat Rakjat, suatu bagian dari kegiatan pendidikan/pengkaderan yang dilakukan oleh Seksi Comite Partai Komunis Indonesia di kota Malang itu.

Sejak kapan kursus-kursus itu diadakan, tidak pernah aku ketahui. Tetapi kursus itu tanpa dipungut bayaran. Dan tanpa ikatan apapun. Yang bertindak sebagai pemberi kursus itu juga seorang Digulis, bernama Sujitno. Seorang yang berbadan tegap, berwajah kasar dan hitam. Seseorang yang tidak akan pernah kulupakan, karena gayanya “mengajar“ yang selalu tegas, jelas dan lengkap.

“Kursus“ itu aku ikuti selama kira-kira 4 atau enam bulan. Dan yang kudapatkan dari kursus itu adalah pengetahuan paling dasar mengenai sebab-sebab dan sumber-sumber adanya kemiskinan, adanya penindasan manusia oleh manusia, tentang kapitalisme dan imperialisme.
Aku tidak mengetahui apakah setelah mengikuti kursus Serikat Rakjat itu sekian bulan lamanya, aku dianggap sudah mencapai tingkat “tamat“, tetapi pada suatu hari, setelah selesai kursus untuk hari itu, aku diundang oleh pak Jitno untuk menemuinya.

Pak Jitno menanyakan/menawarkan padaku, apakah aku berminat untuk melanjutkan “kursus“ Serikat Rakjat itu dengan mengikuti Marx House, yang diselenggarakan oleh sebuah badan gabungan dari Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia di Yogya.

Marx House itu untuk setiap angkatan berlangsung dua bulan lamanya.
Mengikuti Marx House juga tiada dipungut biaya, bahkan sebaliknya, para pesertanya akan tinggal dalam sebuah asrama, singkat kata disediakan papan dan pangan serta pelajaran sesuai jadwal, 7 hari dalam seminggu dan 4 jam di pagi dan 4 jam di petang hari, dengan waktu-waktu tertentu untuk studi bersama dan diskusi bahan pelajaran.
Angkatan Marx House yang ditawarkan padaku adalah angkatan ke 2.

*

Tempat Marx House angkatan ke 2 itu diselenggarakan adalah bekas gedung administrator Pabrik Gula Padokan di Yogya.

Sebelum masuk ke gedung itu, aku sempat mengalami stress berat, karena setibanya di Yogya dan mendaftar ke sebuah alamat di (kalau tidak salah) Songoyudan, aku ditolak mengikuti Marx House itu, dengan alasan (walaupun aku menyerahkan sepucuk surat keterangan dan rekomendasi dari pak Jitno dari Serikat Rakjat) bahwa aku masih di bawah usia (usiaku pada waktu itu sudah 17, pertengahan tahun 1946).

Besar kemungkinan bahwa penolakan itu datangnya dari Sitoroes, salah seorang sekretaris Partai Sosialis. Aku sebenarnya tidak berdaya melakukan sesuatu apapun untuk menembus penolakan itu sekalipun aku sudah sepenuh hati ingin mengikuti Marx House itu, karena ku pikir ini suatu kesempatan yang tidak akan datang seratus tahun sekali bagiku.

Ternyata, aku "diselamatkan" oleh intervensi Tan Ling Djie, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia, yang --seperti juga Sitoroes-- belum pernah aku kenal/jumpa sebelumnya. Hingga hari ini, 60 tahun kemudian, aku tidak mengetahui (bahkan bertanya pun tidak) dasar yang dipakai Tan Ling Djie mengijinkan aku mengikuti Marx House itu.
Maka masuklah aku ke Marx House, Padokan, Yogyakarta, angkatan 2 - tahun 1946.

Para peserta "pendidikan" di Marx House itu terdiri dari para aktivis partai, serikat buruh (aku sendiri tidak mengetahui ke dalam kategori mana diriku dimasukkan, karena aku tidak aktif di sesuatu partai maupun serikat buruh. Mungkin aku diterima sekedar karena rekomendasi Serikat Rakjat Malang itu) dari berbagai daerah. Jumlahnya tidak aku ingat, mungkin sekitar 40 atau 50 orang. Yang masih kuingat hingga sekarang, hanyalah beberapa orang yang kemudian aku sering berhubungan dengannya, antara lain Soedarmo dan Ahmad Ireng yang memimpin SBPP Surabaya, Siti Asiah, pemimpin Gerwis/Gerwani dan kemudian menjadi istri Satyagraha (wartawan terkemuka Soeloeh Indonesia dari PNI), H.M. yang kemudian aku ketahui menjadi seorang pimpinan NU, Mbak S. yang kemudian kekuketahui menjadi istri seorang menteri dalam pemerintahan Soekarno.

Suasana dan pergaulan dalam Marx House itu setepatnya disebut sebagai keakraban yang layaknya sebuah keluarga besar. Urusan rumah tangga berada di tangan bijaksana dari Ibu Jaetun.

Setelah jarak waktu yang enampuluh tahun ini, sungguh membuat diriku menggandrungi kebersamaan sesama peserta, yang memang berdisiplin, tetapi bukan disiplin mati dan yang mematikan inisiatif dan kreativitas. Rasa kebersamaan itu tidak saja menghidupkan jam-jam pelajaran maupun diskusi-diskusi, tetapi dan terutama membina dan mengukuhkan keakraban dan kepedulian antara sesama peserta.

Selama dua bulan itu, aku berusaha sebanyak-banyak mungkin dan selengkap-lengkap (semendalam) mungkin menyerap semua pelajaran yang diberikan. Msterialisme Dialektik dari pak Jaetun, Digulis dan yang secara pribadi kuberi julukan Mr Universum, Ekonomi Politik dari pak Akhiar (pada tahuh + 1997 meninggal dalam usia 92 tahun), yang darinya aku beruntung mendapatkan dan menyimpan sebuah buku catatan mengenai pekerjaan di bawah tanah yang dilakukan pak Akhiar pada tahun-tahun 1949-1950-an (segera setelah peristiwa Madiun), Gerakan Buruh dari Gondo, bangsawan Yogyakarta yang kini hidup di negeri Belanda, Organisasi dari Abdulrahman, yang adalah juga salah seorang laksamana RI pertama, mantan ajudan laksamana Belanda yang berkedudukan di Colombo di masa perang dunia ke II, yang meninggal dalam usia 82 pada tahun 2004. Dan dari "guru-guru" lain yang sungguh bukan orang sembarangan: pak Alimin, Sardjono, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Setiadjit, Maruto Darusman.

Jika dibandingkan keadaan masa itu dan sekarang, maka keberadaan dan yang diselenggarakan/dilaksanakan Marx House sebagai dan dalam bidang pendidikan kader dan politik sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa. Dan dalam mengajukan segala macam kritik tentang kekurangan-kekurangan Marx House, apa yang dihasilkannya dan apa jadinya dengan semua usaha itu, jangan sekejabpun orang melupakan dalam keadaan bagaimana, dengan perlengkapan yang bagaimana, dengan sumber daya bagaimana semua itu telah dilakukan.o 

0 komentar:

Posting Komentar