Sabtu, 29 Oktober 2011

Mas Marco Kartodikromo Dan Cerita Kaum Komunis Di Boven Digoel



Senin, 24 Oktober 2011, saya menulis kisah tentang sebuah kota kecil di Spanyol, Marinaleda, yang sukses menjalankan miniatur masyarakat sosialistik. Tiba-tiba, seusai menulis kisah sukses kota yang dianggap “oase komunis” di Spanyol itu, saya teringat dengan seorang pejuang besar dan salah satu karya terakhirnya.

Ya, saya teringat dengan Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis besar dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Juni 1927, sebagai akibat dari pemberontakan PKI yang gagal, Mas Marco termasuk dalam rombongan “orang-orang yang dibuang ke Digoel”.

Dari sinilah, saat ia merasa ketidakbebasan dan keterbatasan, ia masih sempat-sempatnya menulis sejumlah karangan. Nah, beberapa karangannya itu juga masih sempat dikirimkan dan disebarluaskan melalui koran-koran. Salah satunya melalui harian “Pewarta Deli”, yang memuat karangan Mas Marco dari tanggal 10 Oktober sampai 9 Desember 1931 dalam 51 angsuran.

Tahun 2002 lalu, Koesalah Soebagyo Toer mengumpulkan semua karangan itu dan menyuntingnya lagi, dan akhirnya diterbitkan (oleh KPG) dengan judul “Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel”. Memang, sudah banyak cerita tentang Digoel yang ditulis, baik oleh para pelaku maupun para peneliti sejarah. Sebut saja dua yang terkenal; “Cerita Dari Digoel” karya Pramoedya Ananta Toer dan “Kisah-Kisah Dari Tanah Merah” karya Tri Ramidjo.

***

Mas Marco tiba di Boven Digoel pada tanggal 21 Juni 1927. Ia disambut oleh kondisi para tahanan politik di Digoel yang sangat memprihatinkan.
“Sembilan puluh persen dari orang-orang itu sebagian badannya di perban atau diplester. Sedang orang-orang yang tidak sakit Malaria diharuskan makan tablet kina 6 biji seminggu,” kata Mas Marco menggambarkan kondisi orang-orang di sana.

Orang-orang yang dibuang di Digoel harus siap menderita. Pemerintah Belanda hanya memberi modal awal yang sangat terbatas: 1 kelambu kecil, 1 tikar kecil, 1 selimut kecil, 1 parang tumpul, 1 kapak yang belum bertangkai, 1 cangkul belum bergagang, dan 1 sekop yang juga belum bergagang. Dengan modal inilah orang dipaksa hidup survival.

Selain itu, seperti diceritakan Mas Marco, setiap orang diberi ransum berupa 9 kg beras, ikan kering, dendeng tengik, garam, gula jawa, kacang ijo, dan teh. Semuanya itu, jika diuangkan, senilai f 6,30.

Setiap orang juga disediakan ruangan seluas 2 x 2 meter untuk tidur dan 2 x 2 meter untuk barang. Sedangkan yang sudah berkeluarga disediakan ruangan seluas 4 x 2 meter (hal. 3). fasilitas-fasilitas publik juga banyak didirikan.

Konon, kehidupan di Boven Digoel masih lebih baik ketimbang Pulau Buru-nya Orde Baru. Tetapi itu pendapat orang. Saya sendiri tidak mengalami keduanya. Tetapi, pada tahun 1934, ketika Sjahrir dibuang ke sana, ia bercerita bahwa Digoel itu seperti Europeschewijk (pemukiman Eropa). Ada bioskop, kamar-bola (ballroom), rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja. Pertunjukan seni dan olahraga digalakkan.

Tetapi, perlu diketahui, Sjahrir tiba di Digoel setelah 7 tahun Mas Marco dan orang-orang PKI berjuang mati-matian di sana. Ia tidak merasakan masa-masa sulit ketika rumah baru dibangun dan hutan baru dibuka.

***

Mas Marco juga bercerita banyak soal kehidupan orang PKI di Digoel. Dengan gaya berceritanya yang sederhana, Ia seolah mengantar kita seperti hidup di tengah-tengah orang PKI di Digoel jaman itu.

Ia misalnya bercerita tentang orang-orang PKI yang berubah sikap: dari anti penjajahan menjadi bersedia bekerjasama dengan penjajah. Diceritakan pula tentang perseteruan tanpa ujung antara orang-orang PKI perihal kegagalan pemberontakan 1926/27.

Seorang PKI dari Bandung, Sanoesi, menjadi motor dari sebuah gerakan untuk mendakwa pimpinan pusat (Hoofdbestuur) PKI perihal kegagalan pemberontakan. Sanoesi dan kawan-kawannya menuding Hoofdbestuur PKI sengaja membuat pemberontakan itu menjadi sebuah kegagalan. Mereka bahkan menuding Sardjono, salah satu pucuk pimpinan PKI, sudah berkolaborasi dengan kaum reaksi (kolonial Belanda).

Bahkan, untuk menghakimi Hoofdbestuur PKI, Sanoesi dan kawan-kawannya mendirikan “Comite Pertanyaan” —selanjutnya berubah menjadi CK (Comite Kebesaran). Tetapi, menurut penuturan Mas Marco, banyak orang yang tidak termakan oleh propaganda busuk CK tersebut.

Situasi pun kemudian berbalik: kelompok Sanoesi dianggap telah menyebabkan perpecahan di kalangan orang buangan. Ia pun dianggap spion (mata-mata) pemerintah Belanda. Karena itu, Sanoesi pun harus berusaha keras untuk membersihkan nama baiknya.

Suatu hari, Ali Archam, salah satu tokoh PKI berpengaruh, merasa kesal juga dengan perilaku orang-orang CK itu. Terjadilah pertengkaran antara Ali Archam dan Sanoesi. Sebuah bogem mentah pun mendarat di muka Sanoesi. “Untung sekali Sanoesi tidak berani melawan. Umpama berani, ia pasti masuk liang kubur, paling tidak diangkut ke rumah sakit,” kata Marco menceritakan pertengkaran itu.

Selain soal pertikaian diantara orang PKI, Marco juga menyinggung soal orang-orang PKI yang mengalami penurunan semangat (demoralisasi). Salah satunya adalah seorang anggota PKI bernama Gondhojoewono. Gondho adalah salah satu contoh orang PKI yang mengalami kehidupan berat di Digoel.
Menariknya, demi menyemangati kawan-kawannya yang mengalami demoralisasi, orang-orang PKI sering mengutip kisah Leo Tolstoy, seorang graaf kaya Rusia yang memilih hidup melarat. Tentu, maksud dari cerita-cerita itu adalah memberi dukungan moral, bahwa pengorbanan memang diperlukan dalam perjuangan.

****

Berhadapan dengan kondisi alam, keterbatasan, dan tekanan pemerintah kolonial, orang-orang PKI tidak pasrah begitu saja. Mereka berusaha mengorganisir diri dan bergotong-royong membangun kampung.
Pada saat itu, ada tawaran kolonial untuk membentuk sistim lurah. Tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh orang kampung. Orang kampung ingin mengurus kampunya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Dibentuklan semacam Majelis Kampung dengan fungsi yang sangat luas.

Majelis kampung inilah yang merespon setiap persoalan rakyat kampung. Setiap persoalan juga didiskusikan secara bersama dan keputusan diambil secara demokratis. Majelis kampung juga mewakili orang buangan melawan berbagai keputusan-keputusan kolonial yang merugikan. Hampir semua keputusan diambil melalui rapat akbar (vergadering).

Seringkali, untuk menjalankan tata-sosial kehidupan kampung, orang-orang PKI merujuk pada teori-teori sosialistik yang dibacanya di buku-buku. Itulah usaha untuk menerapkan masyarakat “Sama rata, sama rasa”.

Pada januari 1928, seluruh Majelis Kampung itu diwadahi oleh organ bernama “Centrale Raad Digoel (CRD)–Dewan Pusat Digoel”. Aliarcham merupakan peraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota CRD dengan 515 suara. Sedangkan Mas Marco meraih 305 suara.

Meskipun didorong oleh orang-orang komunis, tetapi CRD sendiri berdiri untuk seluruh golongan rakyat di Digoel. Makanya, Anggaran Dasar CRD sangat memperhatikan kenyataan: tidak semua orang Digoel adalah orang komunis, tidak semua orang Digoel terpelajar, dan tidak semua orang Digoel adalah buangan politik. Tetapi, CRD ini hendak mengorganisir suatu masyarakat yang sejahtera tanpa kapitalisme.

Dan melalui buku “Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel”, saya menjadi faham kenapa orang-orang komunis mampu bertahan di tempat yang berawa-rawa dan menjadi sarang malaria itu. Jawabannya: kolektifisme (gotong-royong) dan keteguhan ideologi.

0 komentar:

Posting Komentar