Sabtu, 01 Oktober 2011

Pembantaian Terbesar Di Indonesia Setelah G30S PKI

1 Oktober 2011



Paska peristiwa G30S PKI tidak hanya menyimpan misteri, tetapi ternyata menyisakan cerita yang sangat mengerikan. Pembantaian dan pembunuhan kepada anggota PKI terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.”

Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”.
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan: “Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Basis PKI Blitar
Blitar Selatan adalah basis PKI. Cap itu masih melekat hingga sekarang meski PKI sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketika negara mengejar anggota serta mereka yang dianggap sebagai pendukung PKI pada tahun 1965, ribuan nyawa melayang. Dieksekusi tanpa peradilan. Sebagian dari mereka dikuburkan secara massal di sejumlah desa di Blitar Selatan, Jawa Timur. Peristiwa 1965 memang masih menyisakan beribu tanda tanya. Membongkar makam massal punya nilai penting, tidak hanya bagi mereka yang dikuburkan di dalamnya, tapi penting bagi kebenaran itu sendiri. Namun rupanya ada yang tak setuju makam dibongkar.
Markus Talam dan Sanjoyo, bekas narapidana di Pulau Buru, mengatakan, di makam Bakung inilah pertama kali terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI. 
“Di sini ini saja ada 48, disitu ada 7. Mati itu bukan semuanya ditembak. Ya ada yang dipukul, digorok, disembelih,” ujar Markus Talam.
Sementara Sanjoyo berkata: “Sekitar 25 atau 30 orang itu dalam satu lobang.”
Ini kuburan massal PKI, begitu kata warga Blitar. Kuburan ini adalah buntut dari Operasi Trisula yang digelar tahun 1966 di Blitar Selatan, ketika itu warga yang dicap PKI dikejar dan dibunuh. Lebih jauh Markus Talam berkata: 
“Itu gencar sekali, istilahnya operasi Tumpes Kelor!!!! Jumpa kelihatannya itu orang mencurigakan langsung dibawa, termasuk saya. Tinggal yang di rumah itu cuma perempuan-perempuan. Ada orang yang bertani dibawa, direntengi sampe 10, 7, 4 itu dibunuh. Pembunuhannya ya di tempat-tempat itu aja. Yang dibunuh di sini juga ada, yang dibawa di gunung di luar desa juga ada.”
Markus Talam lolos dari pembunuhan karena kabur saat diangkut tentara dari tempat persembunyiannya di Trenggalek, menuju Markas Kodim di Blitar. Tapi selama ia melarikan diri, giliran anggota keluarganya yang jadi sasaran. Ditangkap, lantas dieksekusi.
“Saya ini nggak kurang dari 30 dik, korban. Keponakan, terus saudara-saudara sepupu, banyak! Orang-orang yang nggak tahu apa-apa itu, petani. Ya mereka itu ditembak di sini saja, yang deket sungai ya dibuang ke sungai, kalo nggak ya ditaruh begitu saja, nggak dikubur.
Kuburan massal bagi mereka yang dicap PKI juga bisa ditemukan di Kecamatan Nglegok, Blitar Utara. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari desa pertama. Sanjoyo adalah bekas Kepala Desa Kedawung. Di desa ini, kata dia, ada dua kuburan massal PKI. Sementara di desa lain seperti Selorejo, Penataran, Bangsri dan Karanganyar terdapat tiga hingga lima makam. Total di Kecamatan Nglegok saja, ada puluhan kuburan massal. Sanjoyo salah seorang saksi dalam peristiwa pembantaian massal bagi mereka yang dicap PKI. Ketika Operasi Trisula digelar TNI, hampir setiap malam di Desa Tumpakoyot, Kecamatan Bakung, terdengar bunyi rentetan senjata. Setiap pagi pun ia harus mencari potongan bambu sepanjang dua meter, untuk mendorong puluhan mayat yang bergelimpangan di sungai belakang rumahnya.
“Kalau di Blitar Selatan malah lebih ngeri lagi karena cuma diceburkan di kali aja. Pada waktu peristiwa Gestapu itu airnya nggak putih lagi atau cokelat lagi tapi merah! Itu karena banyak jenazah-jenazah yang dibuang begitu saja.”
Bagi warga Blitar, makam massal yang paling terkenal, di antara ratusan yang ada, adalah Goa Tikus di Desa Lorejo. Letaknya di pegunungan kapur Blitar Selatan, yang dikenal sebagai lokasi pembuangan mayat. Goa Tikus adalah lubang selebar 2,5 meter dengan kedalaman 20 meter. Tampak puluhan tengkorak manusia menyembul di antara air berlumpur. Tulang belulang juga terserak bercampur serpihan kain.
Begitu peluit dibunyikan, Santiko dan Jumani menarik tubuh saya ke atas. 
“Saya baru saja melihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, didalam gua tikus tadi ada tumpukan tulang manusia yang sudah tak utuh lagi setinggi 2 meter. Dan tulang tulang itu bercampur dengan lumpur serpihan kain, sandal karet dan batu. Dari banyaknya tulang yang ada, sepertinya benar yang dikatakan warga, bahwa jenazah yang dibuang di gua Tikus mencapai ratusan orang.”
Bu Put, dikenal warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Blitar, sebagai tokoh Gerwani Jawa Timur. Gerwani adalah organisasi perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia, PKI. Posisinya cukup tinggi, ia sempat menjabat sebagai anggota DPRD Blitar. Tahun 1965, ia lari ke Blitar Selatan. 
“Ya lari, he….he…. kenapa Bu ?. Ya takut to saya, wong orang orang pada disembelih, rumahnya dibakar harta bendanya diambilin.” 
Put Mainah sudah kenyang merasakan penjara 10 tahun karena keputusannya bergabung dengan PKI. Ia tak pernah menyesal menjadi anggota PKI. Satu-satunya penyesalan adalah karena negara tak menghargai keyakinan dan jalan hidup orang lain.
Upaya pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar bukannya tak pernah dilakukan. Pemkab Blitar beberapa kali melontarkan gagasan ini, tapi selalu ditentang. Penentang utama datang dari kelompok tentara. Sukirno seorang pensiunan Komandan Kodim di Blitar berpendapat, pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar lebih banyak sisi negatifnya. 
“Kalau itu dilaksanakan menurut saya justru akan menimbulkan efek yang negatif. Baik korban maupun yang dikorbankan pada tahun 65-66 itu, bahkan mungkin akan mereview pada tahun 48.”
Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya meminta meminta Komnas HAM meneliti keberadaan kuburan massal tersebut. Kuburan dirasa perlu dibongkar, untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat saat berlangsung Operasi Trisula.
 “Peristiwa tahun 65 itu merupakan tidak hanya pelanggaran tidak hanya HAM, tapi lebih dalam pada perikemanusiaan itu. Tidak bisa menghilangkan nyawa orang itu seenaknya sendiri tanpa proses yang jelas. Oleh karena itu saya sangat mendukung upaya upaya itu dan mudah mudahan setelah bukti bukti kongkrit, kebenaran bisa ditegakkan.”
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sumber: Perambah 

0 komentar:

Posting Komentar