Rabu, 26 Oktober 2011

Seandainya PKI Berhasil (1)


Rabu, 26 Oktober 2011 - Oleh: Bung Samdy*


Sudah 46 tahun berlalu, tapi peristiwa itu masih sulit dilupakan. Kita sebagai generasi muda pun pasti masih ingat masa-masa pemutaran filmPengkhianatan G30S/PKI yang menambah rasa benci pada Partai Komunis Indonesia.

Di sekolah dasar maupun menengah, buku sejarah menggambarkan sadis dan kejamnya PKI. Partai ini begitu buruk rupa karena tega membunuh enam jenderal dalam satu malam untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara komunis Indonesia. Seandainya terwujud, Indonesia tidak lagi ber-Tuhan. Kegagalan PKI membuktikan bahwa Tuhan masih mendengar doa orang Indonesia dan tentu saja: saktinya Pancasila.

Begitulah cerita-cerita Orba yang mencuci otak generasi muda. Setelah rezim tersebut runtuh, kita menemukan fakta ilmiah dari para ahli bahwa PKI bukan satu-satunya pihak yang “terindikasi” terlibat G30S tahun 1965.

Ada yang mengatakan murni konflik internal TNI-AD; keterlibatan CIA; permainan Soeharto; atau yang paling tak logis: keinginan Bung Karno sendiri. Saya tidak perlu menjelaskan satu-persatu fakta-fakta dari segala skenario tersebut. Namun yang pasti, kita melihat hingga kini, tidak ada satu anggota DPR yang berkartu anggota Partai Komunis; pun menteri dari partai yang sama. Partai ini, semua ormasnya, dan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme, dilarang di bumi Indonesia untuk selama-lamanya. 

Tapi, marilah kita berandai-andai, bagaimana jadinya jika G30S berhasil, dan PKI berkuasa. Benarkah Pancasila tidak ada lagi? Apakah Indonesia masih tetap “sambung-menyambung menjadi satu” dari Sabang hingga Merauke?

Pada tahun 1960, Partai Nasional Indonesia (PNI) menerbitkan sebuah analisa tentang partai-partai pesaingnya. Mengenai PKI, dokumen PNI menuliskan:

PKI merupakan bagian dari gerakan internasional dengan basis di luar Indonesia…Pada masa lalu PKI mengharamkan nasionalisme tetapi sekarang sangat aktif menggunakan lambang-lambang nasionalisme itu sendiri untuk memperoleh pengaruh…Jika PKI memperoleh kekuasaan, kelompok kanan [seperti Masyumi, NU, partai Protestan/Katolik, dan nasionalis] akan mengobarkan perang saudara dengan bantuan penuh blok Barat. Akibatnya negara kita akan terbagi seperti Vietnam atau Korea.

Begitulah bunyi dokumen yang dikeluarkan Departemen Penerangan dan Propaganda PNI yang dikutip Rocamora dalam bukunya, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965.

Katakanlah, apa yang menjadi kekhawatiran PNI tersebut benar adanya. Negara yang dibangun dengan darah dan air mata ini, terpecah gara-gara ideologi. Merujuk pada pemilu 1955, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat merupakan lumbung suara bagi PKI. Di luar Jawa, Masyumi berhasil “menghijaukan” Indonesia dengan menang di hampir semua provinsi. Sedangkan di provinsi yang mayoritas penduduknya Kristen, merupakan basis Parkindo dan Partai Katolik.

Dari komposisi seperti itu, kita bisa menduga, andaikata PKI merebut kekuasaan di Jakarta, maka daerah-daerah akan memilih memisahkan diri. PKI  tentu saja tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Tentara—dengan asumsi bisa dikuasai—akan dikerahkan untuk menghentikan segala pemberontakan di daerah.

Tapi, merujuk perkiraan PNI, maka segera Amerika Serikat dan sekutunya membantu perjuangan daerah. Amerika bisa saja mengirim senjata M-16, tank, uang atau tentara seperti Rambo demi menghindari serangan pemerintah (PKI). Indonesia pun akan seperti Vietnam. Bahkan bisa lebih buruk karena tidak terpecah menjadi dua negara saja, melainkan banyak negara baru.

Saya tidak bisa bayangkan kalau hal yang seperti itu sampai terjadi. Namun bagaimana sekiranya dugaan PNI keliru, di mana PKI berhasil menciptakan negara komunis seperti halnya Uni Soviet, Cina, dan Kuba?

Negara Indonesia pun akan berganti nama menjadi Republik Sosialis Rakyat Indonesia atau Republik Demokratik Indonesia atau Republik Rakyat Indonesia. PKI akan memberangus partai-partai yang ada sehingga melahirkan sistem satu partai. Pemimpin tertinggi PKI akan otomatis menjadi pemimpin negara. Tentu saja, Undang-undang Dasar 1945 diganti dan asas negara sesuai ajaran Marxisme/Leninisme.

Dalam bidang ekonomi, negaralah yang berkuasa sepenuhnya. Semua perusahaan asing otomatis dinasionalisasi. Tentu tidak ada yang namanya kontrak karya yang merugikan bangsa Indonesia. Di negeri yang kaya raya ini semuanya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya. Di bidang sosial pun begitu. Semua sekolah dinegerikan, tidak ada—atau dibatasi—yang namanya sekolah swasta. Konsekuensinya, si miskin tidak perlu takut untuk melanjutkan sekolah atau kuliah di perguruan tinggi. Kenaikan biaya SPP pun tak mungkin karena ditanggung oleh negara.

Semua itu adalah konsekuensi logis dari pemerintahan “proletar” yang mengenyahkan si “kapitalis”. Pemerintahan itu betujuan membentuk masyarakat sosialis yang mana “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasar pekerjaan”; untuk nantinya terciptalah masyarakat komunis yang “tiap orang memberi berdasar kemampuan dan menerima berdasarkan kebutuhan”. Kalau sudah sampai ke taraf ini, tidak perlu lagi namanya negara.

Siapapun yang merasa tertindas pasti merasa bak dihembuskan angin surga apabila mendengarnya. Itu pula yang barangkali dirasakan oleh manusia Indonesia yang hidup sepanjang tahun 1960-an. Kalau orang miskin di zaman ini saja masih berjibun jumlahnya, apalagi saat itu di mana Indonesia nyaris tidak memiliki apapun

*Samdysara Saragih- T Fisika ITS

0 komentar:

Posting Komentar