Senin, 05 Februari 2018

YPKP 65 Desak Komisi Tinggi HAM PBB Ambil Alih Kasus 1965


HAM-PBB: Pertemuan dengan Komisi Tinggi HAM PBB (5/2) di Komnas HAM Jakarta. Ketua Komisi Tinggi HAM-PBB, Zeid Ra'ad al Hussein (kedua dari kiri, berdasi) mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan beberapa NGO di Jakarta. 

Jakarta - Pada Senin petang (5/2) YPKP 65 menemui Komisi Tinggi HAM PBB (United Nations Commission on Human Rights – UNCHR) karena menilai persoalan pelanggaran HAM masa lalu khususnya tragedi 65; sangat krussial. Dalam kesempatan itu YPKP mendesak komisioner UNCHR, Zeid Ra'ad Al Hussein agar segera mengambil alih tanggung jawab penyelesaian tuntas kejahatan kemanusiaan pasca Oktober 1965.

Zeid yang berkebangsaan Yordania dan menjabat Komisioner UNCHR sejak 2014, didesak agar mengambil langkah-langkah sebagaimana diatur dalam mekanisme hukum internasional, convenant maupun yuridiksi internasional. Desakan ini disampaikan Bedjo Untung langsung dengan membacakan surat pernyataan tertulis.

Alasan krussial yang dikemukakan YPKP 65 bahwa pemerintah dinilai telah gagal dalam upaya penyelesaian tuntas tragedi 65 yang sangat diharapkan oleh para korban. Tragedi yang masuk kategori genosida politik 1965 sekaligus menandai awal kekuasaan orba dimana telah terbukti adanya kospirasi penggulingan Soekarno sebagaimana disinyalemenkan paska deklasifikasi arsip rahasia diplomatik AS.

Meski telah berlalu selama 53 tahun, namun pemerintah tak melakukan tindakan signifikan bagi penyelesaian yang berkeadilan. Alih-alih penegakan hukum, bahkan dalam realitasnya terkesan membiarkan terus berlanjutnya stigmatisasi, diskriminasi dan persekusi terhadap para korban kejahatan genosida dalam segala bentuknya. Impunitas para pelaku kejahatan genosida ini  tak tersentuh hukum hingga hari ini.


PBB Harus Ambil-alih                 

YPKP 65 juga mendesak agar Komisi Tinggi HAM PBB mengambil-alih guna memulai penyelesaian kasus kejahatan kemanusiaan dan genosida 65 di Indonesia. Hal ini karena pemerintah RI dinilai tak ada kemampuan (ability) dan tak ada kemauan (willingness) serta tanpa keseriusan. Maka sesuai mekanisme hukum internasional, PBB harus mengambil alih dengan terlebih dulu membentuk tim investigasi independent.

Badan dunia ini juga harus memeriksa dengan mendengarkan kesaksian para korban, memanggil perpetrator (pelaku), melakukan penggalian kerangka para korban pembantaian massal (exhumation), sekaligus uji forensik guna mendapatkan bukti material serta memorialisasi agar kejahatan kemanusiaan serupa tak terulang di masa yang akan datang.

Dalam surat pernyataan YPKP 65 yang disampaikan langsung kepada Zeid Ra'ad Al Hussein, juga dilampirkan data 162 tempat pembantaian dan lokasi kuburan massal yang dipastikan akan terus bertambah jumlahnya. Ihwal penambahan ini berkaitan dengan penelitian yang masih terus berlanjut.
Menanggapi desakan YPKP 65, Zeid yang berkantor di Jenewa, Swiss; menyampaikan apresiasi yang tinggi dan berjanji akan membawa ke dalam agenda rapat-rapat Komisi Tinggi HAM PBB.
“Never lose hope..”, pesannya singkat.
Secara terpisah, saat dipertanyakan pada Staf UNCHR yang menyertai Zeid Ra’ad al Hussein berjanji akan menyampaikan usulan dan desakan YPKP 65 kepada presiden Joko Widodo.
“Yes, I will, I will ….. “, janjinya
Hadir pula dalam pertemuan ini wakil-wakil dari berbagai NGO: Yati Adriyani (KontraS), Usman Hamid (Amnesty Internasional Indonesia), Andreas Harsono (HRW), Sumarsih (JSKK), Suciwati Munir, Rafendy Djamin (HRWG), Bonnie Setiawan (Forum 65), Zaenal Mutaqien (IKOHI) dan lainnya. [bun]

0 komentar:

Posting Komentar