Rabu, 07 Februari 2018

7 Februari 1989: Mengenang Pembantaian Umat di Talangsari

Reporter: Petrik Matanasi | 07 Februari, 2018
Kelompok Warsidi ingin mendirikan kampung Islam, tapi dianggap sesat dan membangkang pemerintah

Ilustrasi Desa Talangsari dan Militer. tirto.id/Gery
Baris jemaah. 
Hujan panah di tengah 
panasnya timah.

Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyetujui usulan Pemerintah Orde Baru untuk memberlakukan UU Nomor 3/1985 pada 19 Februari 1985. Undang-undang itu mengharuskan semua partai politik di Indonesia untuk berasas tunggal pancasila. Undang-undang itu menggantikan UU Nomor 3/1975 yang membolehkan partai mengusung azas lain selain pancasila.

Selain Pancasila, asas lain adalah haram sejak 19 Februari 1985. Tidak hanya partai politik, seluruh organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia juga diwajibkan mengusung Pancasila sebagai azas tunggal. Keharusan itu, menurut Faisal Ismail dalam Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila (1999), didasarkan pada keluarnya Undang-undang Nomor 8/1985 pada 17 Juni 1985 (hlm. 206-207).

Ormas besar dan berpengaruh macam Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU) juga diharuskan mendukung dua UU yang disahkan tahun 1985 itu. NU, sebelum UU tadi disahkan, juga telah menyatakan diri menerima Pancasila secara resmi pada Muktamar NU ke-27 yang berlangsung pada Desember 1984 di Situbondo.
Muhammadiyah baru menerima Pancasila dalam Muktamar 1985. Ketua Muhammadiyah waktu itu, A.R. Fachruddin, sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010), mengibaratkan Pancasila sebagai "helm yang harus dipakai supaya Muhammadiyah bisa tetap berjalan dan berdakwah secara aman ketika berhadapan dengan pemerintah." 

Pemerintahan Soeharto, yang mulai memperkuat diri sejak 1970-an, berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara, termasuk dengan mewajibkan Pancasila pada semua golongan. Bagi Orde Baru, semua harus serba Pancasila. Artinya, semua orang dipaksa untuk jadi orang yang berpancasila. Lain tidak boleh.

Basis agama pun tidak mampu menjadi kekuatan politik lagi seperti di zaman Sukarno. Partai-partai Islam telah disatukan dalam satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Agama sebagai basis ideologi mulai dihancurkan pemerintah Orde Baru.

Kelanjutan Gerakan Usroh

Satu kelompok Islam kecil bernama Gerakan Usroh, yang dipimpin Abdullah Sungkar, dijadikan contoh oleh Orde Baru sebagai gerakan politik yang tidak sesuai dengan ideologi pemerintah. Gerakan yang kebetulan berada di teritorial Kodam Diponegoro (Jawa Tengah) itu dihancurkan Mayor Jenderal Harsudiono Hartas.

Dalam Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (2001), Abdul Syukur mencatat bahwa seorang petani asal Banaran, Kulonprogo, bernama Tubagus Muhamad Jiddan adalah orang pertama dari Gerakan Usroh yang ditangkap. Dia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara pada Februari 1986. Beberapa aktivis Gerakan Usroh lain pun ditangkap oleh aparat Orde Baru. Mereka yang ditangkap adalah Muhamad Sobirin Syukur, Margono Syafii, Slamet Riyanto, Darussalam, Siradjudin Abbas, Marsidi, Sarjoko, Rusdi, Nurfalah, Mualif,  Lukman Suratman, Wahyono Syafii, Wiyono alias Mohamad Shodiq, Suyud bin Rahmat, dan Sujiman (hlm. 53-55). 

Tidak lama setelah Tubagus Muhamad Jiddan tertangkap, Fadillah yang juga berasal dari Banaran melarikan diri dari Jawa Tengah. Dia menghindari aksi pengganyangan Kodam Diponegoro terhadap gerakannya. Fadillah tidak sendiri, dia lari bersama Muslimah, muridnya. Mereka akhirnya tiba di Lampung dan ditampung oleh Darhari, seorang petani penganut Islam yang saleh.

Melalui Darhari, Fadillah mengenal Warsidi, seorang guru mengaji. Mereka segera akrab dan saling melindungi. Warsidi menampung pelarian Gerakan Usroh dari Jawa Tengah itu di rumahnya. Selain mereka, Warsidi juga menampung pelarian yang lain seperti Beny, Umar, dan Sholeh. Di Lampung, kehidupan si pelarian itu dibantu Warsidi yang membantu memberikan pencaharian sebagai petani. 

Warsidi adalah tipe guru mengaji yang suka membahas masalah agama dalam sebuah kelompok kecil daripada berceramah di hadapan banyak orang. Sedikit tapi efektif. 

Bersama para pelarian yang diuber Kodam Diponegoro itulah Warsidi berniat membangun sebuah pesantren di Cihideung. Lokasi tersebut dipilih karena seorang muridnya bernama Jayus mewakafkan tanah seluas 5 hektar di sana. Warsidi pun menjadi orang berpengaruh di Cihideung, Sidorejo, Banjar Agung, dan sekitarnya.

Selain gerakan Usroh, ada juga kelompok pengajian pimpinan Nur Hidayat yang cukup memiliki pengaruh. Nur Hidayat termasuk orang yang kecewa dengan "politik akomodatif" ala PPP, NU, dan Muhammadiyah yang menerima UU nomor 3 1985. Bagi Nur Hidayat dan pengikutnya, menerima UU itu sama saja melampaui wahyu dari Allah, mengesampingkan Islam, dan menomor satukan asas Pancasila yang baginya adalah produk sekuler. 
Nur Hidayat adalah bagian dari gerakan usroh Abdullah Sungkar yang paling dicari aparat Orde Baru. Mereka berambisi membangun kampung Islam agar dapat menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bekerja sama dengan kelompok pengajian Warsidi untuk menggabungkan program kerja membangun kampung Islam dan berencana sama-sama mendirikan pondok pesantren di Cihideung. 

Kesepakatan kerjasama tercapai pada 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat. Sejak Januari 1989, anggota kelompok pengajian Nur Hidayat hijrah ke Umbul Cihideung (hlm. 54-59). 

Pembantaian Talangsari

Eksodus orang-orang ke Lampung yang dilindungi Warsidi lalu menjadi masalah. Keberadaan mereka dicurigai pemerintah sebagai gerakan subversif. Pemerintah berdalih bahwa kelompok Warsidi mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya. Padahal sedari awal mereka memang hanya ingin membangun kampung yang bisa dengan leluasa menerapkan ajaran atau syariat Islam yang diyakini.   

Camat Way Jepara Zulkifli Malik menulis laporan yang ditujukan kepada Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara Kapten Sutiman. Pada 28 Januari 1989, turun perintah dari Kapten Sutiman agar Warsidi menghadap. Kepala Desa tempat Warsidi tinggal pun kebagian tugas dari Sutiman mengawasi gerak-gerik Warsidi.

Tanggal 1 Februari 1989, ada laporan dari kepala desa setempat bahwa kelompok Warsidi mengadakan ceramah bernada ekstrem, mengumpulkan botol untuk bom molotov, dan mengadakan latihan beladiri. Tanggal 4 Februari 1989, laporan dari kepala desa itu diteruskan Sutiman ke Kodim Lampung Tengah. Selanjutnya, Mayor E.O. Sinaga turun tangan. Tidak lupa, Kapten Sutiman mengirim beberapa anggotanya untuk mengintai pengajian Warsidi. 

Pukul 23.00 malam 5 Februari 1989, rupanya pengintai yang dikirim Sutiman juga melakukan penculikan pada beberapa pengikut Warsidi. Anggoto kelompok Warsidi pun mengadakan rapat mendadak. 

Tanggal 6 Februari 1989, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer, mendatangi kelompok Warsidi di Umbul Cideung. Setiba di tempat kelompok Warsidi, rombongan itu langsung diserang karena dikira akan menangkap Warsidi. Dalam bentrokan itu, Kapten Sutiman tewas. Tidak lama setelah itu, di tempat lain, Prajurit Satu Budi dibunuh Riyanto, pengikut Warsidi, yang kesal dengan kedatangan pejabat lokal yang datang.

Tengah malam menjelang 7 Februari 1989, tepat hari ini 29 tahun lalu, Kolonel Hendropriyono memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo edisi 18 Februari 1989, sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menurunkan laporan terperinci yang berjudul Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan. Laporan itu menyebutkan pasukan yang dipimpin Hendropriyono dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. 

Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk menyelamatkan diri, mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya.

Ibu Saudah, salah seorang saksi mata dari kelompok Warsidi yang masih hidup, memberi kesaksian bahwa pada pagi hari ia sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan di sana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 pagi. 

Setelah dikumpulkan, sekitar dua puluh ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki aparat: “Ini istri-istri PKI." Di depan jemaah, seorang tentara mengatakan, “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”. 

Masih menurut investigasi KontraS, seorang bocah lelaki dari kelompok Warsidi, Ahmad (10 tahun), dipaksa menyiramkan bensin ke arah pondok-pondok dan membakarnya. Di bawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren, dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang. Bayi, anak-anak, ibu-ibu (banyak di antaranya yang sedang hamil), remaja, dan orang tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya. 

Berakhirlah hasrat kelompok Warsidi untuk hidup secara Islami dalam sebuah kampung yang eksklusif. 
Mengenang Pembantaian Umat di Talangsari


Memberangus Mereka yang Menolak Pancasila

Warsidi dan teman-temannya oleh pihak militer dituduh melakukan kegiatan subversif yang hendak menggulingkan pemerintah Soeharto agar bisa mendirikan negara Islam. Tuduhan ini sangat berlebihan. Warsidi dan teman-temannya hanyalah kelompok kecil. Sumber daya manusianya sedikit dan rendah. Sebagian besar bahkan hanyalah tamatan Sekolah Dasar. 

Selain tidak punya kemampuan untuk memberontak, mereka juga tidak punya niatan untuk mendirikan negara Islam. Kegiatan mereka di Cihideung adalah untuk membangun sebuah perkampungan yang menjamin para warganya menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Peristiwa Talangsari, sebagaimana peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Haur Koneng (1993), tak terlepas dari usaha Soeharto secara umum untuk memastikan tidak ada satu pun kelompok berbahaya yang bisa mengganggu pemerintahannya. Dengan dalih menyelamatkan Pancasila, setiap kelompok ekstrem, baik kanan maupun kiri, dicurigai.

Jenderal Soemitro, salah satu orang yang pernah menjadi kepercayaan Soeharto, menuliskan dengan jelas kecurigaan Orde Baru kepada kelompok Islam. 

Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrem kiri PKI—yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis menaikkan pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). 

Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal, Angkatan Darat menyadari ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit ekstremisme yang amat potensial. Sehingga, kebijakan umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrem kiri PKI dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Sukarno pada umumnya, “sambil amat berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam” (Heru Cahyono, Pangkopkamtib Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974, 1998, hlm. 46).   

Soeharto pernah mengatakan: “Prajurit ABRI dan setiap purnawirawan adalah warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Ini berarti bahwa kita tidak akan membiarkan Pancasila diselewengkan” (Himpunan Pidato Presiden RI, Triwulan ke-II th. 1977, hlm. 201-203).
Dan Sang Jenderal Besar ini tidak ragu untuk menghalalkan segala cara. Pada 27 Maret 1980, ia mengatakan: ”Oleh karena ABRI sudah menghendaki tidak ingin perobahan dan kalau ada perobahan wajib menggunakan senjata [...] dari pada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 45 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang daripada dua pertiga yang ingin mengadakan perobahan.”

Kelompok Warsidi adalah salah satu dari sedikit saja korban kekejaman Soeharto. Meski Soeharto kemudian terlihat lebih melunak kepada Islam politik, hal itu tidak seharusnya membuat publik lupa pada kekejaman yang pernah dilakukan. Toh, setelah mendirikan ICMI pada 1990 atau naik haji pada 1991, kekejaman Orde Baru tidak dengan sendirinya menyurut. 

Operasi militer ke Aceh terus berlanjut dengan dampak pelanggaran HAM yang massif, bukan hanya pada para pejuang GAM melainkan juga rakyat sipil. Belum lagi penculikan dan penghilangan para aktivis menjelang kejatuhannya.  

Dan kepada umat Islam, kekejaman itu juga tidak sepenuhnya hilang. Pada 1993, dua tahun setelah Soeharto menunaikan haji, terjadilah Tragedi Haur Koneng di Majalengka. Sekelompok warga yang hidup berkelompok, dan ingin menerapkan hidup secara syariat Islam, menjadi korban kebrutalan aparat Orde Baru. 
Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar