Fathimah Fildzah Izzati
POGROM ’65 bukan hanya sekedar menghancurkan gerakan massa yang kuat, lebih dari itu adalah dihancurkannya karakter kebangsaan yang penuh dengan harga diri. Suatu karakter kebangsaan yang menempatkan nilai-nilai solidaritas, kesetaran, keadilan sosial sampai dengan kemandirian dalam kesadaran normatif masyarakatnya. Tidak heran, jika pasca ’65 Indonesia hampir bisa dikatakan kehilangan jati dirinya. Dominasi kapitalisme dan imperialisme yang difasilitasi oleh rezim otoritarian Orde Baru, begitu mengakar dalam keseluruhan kehidupan masyarakatnya. Implikasi dari struktur ekonomi politik ini pada akhirnya membuat bangsa ini begitu sulit untuk melakukan identifikasi serta pembangunan kesadaran kebangsaan yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia itu sendiri.
Martin Aleida adalah salah seorang saksi mata sejarah yang merasakan secara langsung bagaimana proses penghancuran sistematis atas karakter bangsa melalui peristiwa ’65 tersebut. Sebagai sastrawan yang harus menjadi korban dari pogrom ’65 karena banyak terlibat dalam LEKRA, pogrom ’65 adalah peristiwa yang harus selalu dikabarkan sebagai kepada khalayak ramai Indonesia. Dalam hal ini, sastra dapat berperan dalam upaya pengabaran akan pengalaman korban ’65. Bentuk sastra seperti ini bukan sekedar untuk mengharapkan rasa iba agar dikasihani oleh orang-orang, tetapi lebih daripada itu presentasi sastra seperti ini adalah bagian untuk mengungkapkan satu kebenaran mengenai sikap kita dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa tindakan untuk membunuh dan menghabisi saudara sebangsanya sendiri adalah tindakan yang, pada akhirnya, akan menghancurkan kesadaran akan nilai kebangsaan itu sendiri, nilai yang diraih dalam perjuangan bersama untuk menghilangkan kolonialisme serta imperialisme bangsa asing. Berikut petikan wawancara Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) dengan Martin Aleida:
Sejak kapan Anda mulai tertarik menulis karya-karya sastra?
Saya mulai menulis ketika masih di Sekolah Menengah Atas (SMA), kalau tak salah ingat, ketika saya duduk di kelas dua. Saya lahir dan sekolahnya tuh kan di Tanjung Balai, tapi bukan Tanjung Balai Karimun ya, tapi Tanjung Balai Asahan, selatan Medan. Tulisan-tulisan tersebut kemudian saya kirim ke koran di Medan, Indonesia Baru, dan juga ke Jakarta, Harian Rakjat, karena dua koran ini yang memuat cerita pendek setiap hari. Sekarang ini nggak ada media yang seperti itu. Tetapi, terutama Harian Rakjat tiap hari Sabtu dia punya rubrik kebudayaan, dimana ada cerita pendek atau puisi atau artikel lain melalui proses seleksi yang lebih ketat. Waktu itu, Harian Rakjat bisa memuat cerita pendek yang dimuat sekaligus dalam satu penerbitan, kalau ceritanya lebih panjang bisa diterbitkan dua-tiga hari berturut-turut, mungkin juga empat hari.
Siapa orang dan karya yang menginspirasi Anda sehingga menjadi seorang sastrawan?
Kalau Anda tanyakan siapa yang mempengaruhi, sulit saya katakan. Tapi saya terutama membaca Hamka, dan, tentu saja, Pram. Marah Rusli, ya, tapi Marah Rusli kan sangat terbatas. Saya juga membaca Motinggo Busye. Adapun penulis luar yang saya ikuti dengan cermat adalah Ernest Hemingway. Kalau Hamka kan ada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, apalagi Pram, karyanya lebih banyak lagi. Saya membaca karya-karya itu terkadang sampai membawanya ke dalam kelambu, pakai senter bacanya. Namun, walaupun cerita-cerita mereka itu sangat memikat, tapi kalau terpengaruh betul sih tidak. Kalau dari segi gaya menulis, saya kira saya tidak begitu terpengaruh. Sementara untuk karya luar negeri, saya baca terutama Ernest Hemingway. Juga Jack London. The Call of the Wild karya London saya baca berulang kali. Belakangan, saya juga membaca Tuesday With Morrie karya Mitch Albom. Anda sudah baca? Judulnya itu tidak diterjemahkan oleh kelompok Kompas, tapi ceritanya diterjemahkan. Saya baca dalam bahasa Inggris, kosa-katanya tidak terlalu sulit, jadi jarang sekali saya membuka kamus. Kalau Anda ada waktu, bacalah yang Bahasa Inggris. Itu karya bagus, ditulis oleh seorang wartawan olah raga, berdarah Yahudi. Saya lihat bukunya ada di toko buku di Kemang, di toko yang konon dimiliki oleh novelis Laksmi Pamuntjak. Tetapi, buku seperti Pamuk (Orhan Pamuk, red), saya nggak selesai membacanya. Dulu saya diminta menerjemahkannya, saya sudah terjemahkan 1 Bab, tapi kemudian manajemennya kacau gitu ya, jadi saya nggak jadi. Novel Pamuk agak ruwet. Dan seingat saya, saya nggak pernah menulis puisi. Cerita pendek saja. Hanya cerita pendek, selain dua novel.
Dalam karya-karya Anda,sering sekali Anda mengangkat persoalan mengenai tragedi ’65. Bisa diceritakan mengenai hal ini?
Itu karena saya mengalami sendiri peristiwanya. Sesuatu yang sangat dekat dengan hidup saya. Waktu peristiwa itu meledak, saya berumur 22 tahun. Pekerjaan saya ketika itu sebagai wartwan di Harian Rakjat, milik Partai Komunis Indonesia (PKI), dan liputan terakhir saya adalah kegiatan Bung Karno. Antara, kira-kira dari Januari-an ‘65 sampai sekitar Juli atau Agustus ’65 ya.[1] Nah, itu sangat membekas buat saya, karena dia bagian dari diri saya. Dan karena dia begitu dekat dengan diri saya, apapun percikan-percikan kecil yang menyangkut peristiwa itu, memberikan kesempatan pada saya untuk membangun sebuah cerita, sebuah fiksi yang membela korban. Saya menulis dari segi korbannya. Dalam banyak kesempatan saya selalu mengatakan bahwa takdir sastra adalah membela korban. Karya yang besar tidak harus besar dalam volumenya. Dia bisa sekecil catatan harian. Menurut saya karya terbesar yang dihasilkan Perang Dunia II adalah Catatan Harian Anne Frank, gadis belasan tahun yang menjadi korban keganasan Nazi. Sebagai penulis saya merasa ditakdirkan untuk mengagungkan korban yang diperlakukan sewenang-wenang oleh kekuasaan dalam kurun waktu tertentu, dalam hal ini Pasca-peristiwa 1965.
Salah satu cerita pendek saya berkisah tentang orang yang saling jatuh cinta, kemudian menikah, tetapi sepanjang perkawinan merekansaling menyembunyikan indentitas diri. Inilah dampak paling keji dari stigma yang berhasil dibangun rezim militer Suharto. Jadi, stigma waktu itu begitu mematikan, sehingga orang mau melupakan sejarah dirinya, sejarah keluarganya. Judul cerita itu Leontin Dewangga. Si perempuan juga menyembunyikan identitas dirinya. Tapi pertemuan mereka sebetulnya ya romantisme biasa. Jatuh cinta pada pandangan pertama, terus seneng, lalu jatuh cinta, dan kemudian menikah. Nah, dalam perjalanan menikah itu rahasia yang ditutup rapat tersebut muncul. Si perempuan ini melihat bahwa si laki-lakinya kok pergaulannya ternyata tidak seperti dahulu mula-mula ketika dia kenal. Si laki-laki ini kan ceritanya tuh ditangkep tentara, sesudah lepas dia menggelandang, tapi dia sebetulnya kepingin menjadi aktor. Dia sudah sempat membintangi beberapa film, sebagai figuran. Dia dikejar-kejar tentara karena ikut dalam organisasi yang dilarang tentara. Sesudah bebas dari tahanan tentara, dia menjadi buruh tukang angkat barang ibu-ibu kalau habis dari pasar, kuli pangggul namanya. Lalu kebetulan ada seorang ibu yang senang melihat dia karena kelakuannya baik dan tampangnya ok, ya dia kan aktor kan, nah akhirnya dibawa ke rumahnya, dan dikenalkan dengan anak gadis ibu yang jadi langganannya itu.
Tetapi dalam perjalanan pernikahan mereka itu, si perempuan yang mengenal suaminya sebagai gelandangan, kok tiba-tiba sekarang ada orang yang menelepon. Orang yang tidak biasaan bagi seorang eks gelandangan yang berprofesi tukang angkat belanjaan ibu-ibu di pasar. Nah, si perempuan ini merasa suaminya itu punya sesuatu yang disembunyikan. Suatu hari sang istri ini sakit parah dan dirawat rumah sakit, dan si laki ini ingin ngasih tahu pada perempuan itu, bahwa dia mau meminta maaf, supaya dia kuat, mau menerima pengakuan. Dia mencari waktu yang tepat dan perempuan itu mengatakan, ceritakan saja, ceritakan, saya siap. Lalu si lelaki ini menceritakan siapa dirinya sebetulnya. Tak disangka, si perempuan yang selama ini juga menyembunyikan identitasnya merasa ini saat yang tepat untuk mengatakan identitas dirinya yang sebenarnya. Pada saat sekarat itu dia mengatakan, kamu kan selama ini cuma terpesona oleh mata saya, mata yang kamu puja, tapi kamu tidak pernah melihat yang lain. Cobalah kamu lihat liontin saya, liontin itu bisa dibuka, pemberian bapak saya. Ketika saya berumur 17 tahun, bapak saya hilang dan kemudian tidak pernah kembali lagi. Bapaknya terlibat dalam organisasi tani yang berafiliasi dengan PKI, Barisan Tani Indonesia (BTI). Dia juga ditangkap dan bisa menikmati kebebasan karena dia menyerah pada nafsu iblis komandan yang memerkosa dia. Nah, kayak gitu. Ketika liontin itu dibukanya, tampak simbol dari BTI. Si lelaki ini jadi kaget dan cerita pendek itu berakhir di situ.
Jadi Peristiwa ’65 itu memang paling dekat dengan diri saya dan menurut saya, peristiwa itu merupakan bencana terbesar yang dialami oleh bangsa ini. Kalau peneliti luar mengatakan sekitar 500.000 yang mati, tidak diadili, dan ada juga yang mengatakan sampai tiga juta. Saya kira ini perlu terus diingatkan. Saya tidak punya pretensi untuk mengingatkan, tapi sebagai penulis, ini harus saya tulis. Dapatkah Anda katakan kepada saya karya yang besar yang tidak memihak pada korban?! Sastra, menurut anggapan saya, memang ditakdirkan untuk membela korban dan semua yang saya ceritakan itu adalah mereka yang jadi korban peristiwa ’65 tersebut. Agama-agama besar juga diturunkan untuk membela mereka yang menjadi korban dalam perjalanan waktu tertentu. Dan saya yakin permintaan atau doa yang mudah mendatangkan rahmat dari Tuhan adalah permohonan dari hambanya yang sedang ditindas, diperkosa, tidak sebagaimana Tuhan memperlakukannya dengan penuh kasih.
Saya terutama membaca Hamka, dan, tentu saja, Pram. Marah Rusli, ya, tapi Marah Rusli kan sangat terbatas. Saya juga membaca Motinggo Busye. Adapun penulis luar yang saya ikuti dengan cermat adalah Ernest Hemingway.
Apakah Anda pernah tergabung dalam LEKRA?
LEKRA itu punya media resmi, namanya Zaman Baru. Tapi terbitnya tidak teratur, tidak seperti Harian Rakjat. Dia bentuknya mula-mula tabloid dan kemudian pada tahun ‘63 akhir, kalau tidak salah ingat, saya disuruh menerbitkannya kembali dalam format majalah dan logonya juga berubah. Ketika majalah ini terbit 2 atau 3 nomer, saya dapat kerjaan sebagai wartawan. Ya sudah itu ditinggal, digantikan oleh yang lain, oleh A. Kohar Ibrahim dan Sutikno WS. Mungkin Anda kenal namanya A. Kohar Ibrahim? Dia sering muncul di internet, orang Betawi tapi udah meninggal di Belgia karena gak bisa pulang ke Indonesia. Tahun ’65 dia diundang untuk menghadiri ulang tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. 1 Oktober ’65, seperti Sobron Aidit, dll, ratusan orang saya kira, dia tinggal di Eropa, Belgia, kemudian menikah dengan orang Belgia. Ada anaknya saya kira. Ya saya sebagai staf redaksi di Zaman Baru. Pemimpin redaksinya adalah Rivai Apin, temannya Chairil Anwar, staf lainnya adalah S. Anantaguna, salah seorang anggota Pimpinan Pusat LEKRA.
Anda baca di harian Republika, dimana Ajip Rosidi menulis LEKRA itu PKI apa bukan? Di LEKRA itu nggak ada itu resmi pakai kartu anggota, di sana orang komunisnya ada, yang non-PKI juga ada, tapi LEKRA itu independen dari PKI. Memang di situ ada pimpinan PKI yang namanya Njoto, tapi Njoto ini orangnya juga independen. Independensi anggota ini yang nggak dimengerti oleh orang-orang Angkatan Darat dan orang-orang kepala batu itu. Sepertinya, mereka yang lebih tahu tentang diri orang lain.
Bagaimana rumusan LEKRA soal realisme sosialis di bidang kebudayaan?
Aduh saya nggak ikut campur. Saya berusaha agak menjauh dari masalah-masalah teoritis. Waktu itu bacaan sangat terbatas, tidak seperti sekarang. Saya nggak terlibat dalam perdebatan yang bersifat teoritis. Saya lebih aktif di masalah-masalah kreatif. Masalahnya adalah kepekaan intuitif pada kenyataan sosial. Dan dalam menulis, ketika saya menggunakan metode 1-5-1 itu adalah masalah yang otomatis, walaupun itu merupakan hasil formulasi dari para tokoh kebudayaan yang bernaung di bawah LEKRA. Pembelaan terhadap mereka yang disingkirkan dalam kehidupantumbuh dari dalam. Intuisi. Panggilan jiwa itu yang saya ikuti, tak perduli apakah saya akan menjadi korban kekerasan sebuah rezim di kemudian hari. Bahwa ada orang-orang analis sastra memberikan formulasi mengenai metode penciptaan, ya itu urusan dia, urusan lain, silahkan saja. Kita menulis berdasarkan apa kata hati. Kata hati lebih kuat dari kata-kata terpilih dari mereka yang merenungkan makna dari kata-kata. Kalau dikatakan itu realisme sosialis, juga tidak. Karena di sini kan tidak ada tatanan sistem sosialis. Kalau, misalnya, Anda katakan realisme kerakyatan, mungkin betul. Kalau realisme sosialis seperti itu lho, pengarang Uni Soviet Maxim Gorky. Saya ingat novel Membangun Hari Kedua oleh Ilya Ehrenburg, ya, itu realisme sosialis, karena basis dimana cerita itu bermain adalah dia dalam tatanan masyarakat sosialis, juga visi dari cerita itu, di mana Anda akan dibawa ke sebuah tatanan social ekonomi yang lebih tinggi lagi. Ya, metaforanya adalah ‘hari kedua.’ Membangun Hari Kedua juga ditafsirkan sebagai tatanan lebih tinggi yang sedang dibangun Soviet waktu itu. Kita kan nggak. Rakyat masih melata, hendak bangkit dari kenistaan ekonomi maupun sosial. Kalau dikatakan realisme kerakyatan ya betul, karena kita kebanyakan juga menulis sastra yang berpihak kepada rakyat, apakah buruh, atau tani. Pokoknya mereka yang membutuhkan pembebasan dari belenggu yang melingkari kaki dan leher mereka.
Di LEKRA itu nggak ada itu resmi pakai kartu anggota, di sana orang komunisnya ada, yang non-PKI juga ada, tapi LEKRA itu independen dari PKI. Memang di situ ada pimpinan PKI yang namanya Njoto, tapi Njoto ini orangnya juga independen. Independensi anggota ini yang nggak dimengerti oleh orang-orang Angkatan Darat dan orang-orang kepala batu itu.
Mengenai perkubuan LEKRA-Manikebu, bagaimana Anda menempatkannya dalam konteks kebudayaan saat ini? Apakah masih relevan?
Ini cermin dari masyarakat kita ya. Budayawannya, kaum intelektualnya, kepala batu, tidak bersikap terbuka. Kalau Anda ikuti, misalnya, Goenawan Muhamad, dia lain lho. Saya kira Goenawan menganggap perdebatan itu tidak perlu lagi sekarang ini. Yang perlu sekarang adalah semacam solidaritas untuk mereka yang pernah dilarang, Manikebu yang dilarang dan PKI/LEKRA yang dilarang, ditumpas. Larang melarang ini, seperti kata Goenawan, menyebabkan bangsa ini nggak bakal maju-majunya. Perbedaaan atau kecenderungan pikiran yang berbeda seharusnya tidak menjadi tembok yang memisahkan, menjauhkan manusia dari kodrat mereka yang seharusnya bisa berada dalam komunitas besar, dengan berbagai cita-cita hidup yang mungkin berbeda. Namun bagi beberapa orang, seperti yang Anda tahu, Ajip Rosidi atau Taufiq Ismail yang kepala batu itu, larang-melarang itu tetap melekat dalam benak mereka, membatu! Diskusi buku mereka tebas, padahal, meraka, katanya, setuju demokrasi. Sehingga kadang-kadang dia tersungkur sendiri. Menjilat kembali ludah sendiri. Menghujat orang baru meninggal. Setelah terbentur pada kenyataan yang tak terelakkan, sumpah serapah berubah menjadi permintaan ampun!
Sikap kepala batu Ajip Rosidi itu, misalnya, begini: ketika AS Sidartha, salah seorang pendiri dan sekretaris umum pertama LEKRA meninggal, Ajip Rosidi menulis ‘In Memoriam’ yang mengatakan bahwa orang ini (AS Dharta) tidak bakal diterima Tuhan karena dia ateis. Kebetulan saya baca tulisan itu di Pikiran Rakyat. Saya kemudian membuat tulisan yang mengatakan Anda kok bisa berkata begitu? Darimana Anda tahu kalau dia ateis? Kalau anda baca buku biografi Lenin yang ditulis oleh wartawan Amerika, dia sangat religius. Tulisan saya itu kemudian dibaca oleh seorang sohib Ajip yang mengatakan bahwa pengetahuan Ajip mengenai Dharta salah, maka dia harus menulis kedua kali mengenai AS Dharta. Kalau Anda beli buku Ajip Rosidi judulnya Mengenang Hidup Orang Lain yang diterbitkan KPG, di situ Anda akan menemukan dari puluhan orang yang meninggal yang dia tulis, AS Dharta dia tulis dua kali. Pertama, ketika dia dizalimi; yang kedua kali dia tulis karena ada temennya yang ngasih tahu ’tuh anak yang menulis mengenai Dharta itu (Martin Aleida, red.) benar, dan saya tahu Dharta 50 tahun lebih dan keluarga dia itu tidak seperti yang kau pikirkan, kata sohib itu. Dan akhirnya dia minta maaf, minta ampun kepada keluarga AS Dharta.
Jadi memang, ya masyarakat kita keadaannya seperti begitu. Menurut saya, orang boleh saja punya kecenderungan politik ideologi ke sana ke mari, gak masalah, tapi kalau sikap ngotot dan tanpa dasar seperti itu ya ngawur. Seperti, misalnya, Ajip itu mengatakan bahwa Njoto pacaran dengan perempuan Rusia, penerjemahnya. Itu menjadi desas-desus luar biasa untuk menjatuhkan Njoto. Masih menurut Ajip ini, Njoto dan Aidit pernah bicara berjam-jam sehingga pada akhirnya, katanya, Njoto mengatakan bahwa dia akan memilih istri. Darimana dia tahu? Apakah dia hadir di dalam pertemuan itu? Kan enggak. Apakah dia kepingin menelan ludahnya sendiri lagi. Dan lagi…Dan itu kan masalah-masalah pribadi ya. Itu yang kadang-kadang saya nggak ngerti ya. Orang bermain di tataran pandangan hidup, kemudian bercampur baur dengan sikap-sikap pribadi yang tidak berdasar.
Nah apakah masalah LEKRA atau Manikebu itu masih relevan atau tidak, saya katakan tidak. Saya kira dia sudah tidak zamannya. Ini kan zamannya sudah lain. Zaman punya dialektikanya sendiri. Tahun 1986, Arswendo Atmowiloto menulis novel Pengkhiatan G30S/PKI (berdasarkan film dengan judul sama sutradara Arifin C. Noer) yang dijadikan bahan kampanye untuk melikuidasi mereka yang dituduh komunis dan samasekali tidak berbicara mengenai korban pasca-1965. Sekarang Arswendo memberikan apresiasi yang tinggi pada cerita-cerita pendek saya yang mengagungkan para korban. Bagaimana kita memaknai perubahan yang disodorkan waktu sekarang ini, itulah masalah budaya kita yang paling penting. Hanya kepala batu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehendak zaman. Dengan jalan pintas, mereka menyalahgunakan lembaga yang berada di tangan mereka untuk melikuidasi kecenderungan tertentu dengan sewenang-wenang. Perlajarilah baik-baik apa yang terjadi dengan Akademi Jakarta belakangan. Saya terlibat, maka sebaiknya saya berhenti berbicara sampai di sini. Penggunaan gadget ini, misalnya, apakah kaum kepala batu itu bisa mengikutinya? Saya ragu. Saya kenal salah seorang di antara mereka. Wong mengirim e-mail saja tidak bisa lho. Orang-orang begini ini mereka gak mau tahu. Di Facebook itu kalau saya lihat, 90 persen yang nulis statusnya itu kecederungannya Kiri, karena itu pernah ada seminar kecil gitu di LIPI, diorganisir oleh Amin Mudzakir, yang temanya kalau tak salah ‘Facebook dan Kecenderungan Kiri.’ Jadi karena ada peraturan-peraturan yang melarang komunisme, LEKRA, itu ada, maka ketololan berlindung di balik ketentuan pemerintah yang sudah kadaluwarsa tersebut tetap lestari.
Sama seperti kejadian belum lama berselang, saya yang kabarnya semestinya dapat hadiah Akademi Jakarta tetapi dianulir. Dengan sewenang-wenang mereka melanggar kehormatan juri yang mereka angkat sendiri, hanya untuk menjatuhkan seseorang yang dikabarkan sebagai LEKRA. Tempo hari ketika saya mengritik tulisannya mengenai Dharta, Ajip juga bilang saya kritik tulisannya itu karena saya tidak suka padanya, karena saya LEKRA. Dia bilang saya jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta karena dia yang usul. Kalau sejak semula saya tahu, lebih baik saya jadi gelandangan saja dari pada direkomendasikan orang dengan karakter seperti itu.Benar, saya tidak tahu kalau dia mengusulkan itu. Yang lebih penting buat saya adalah dia tidak jujur mengatakan mengapa di antara saya dan dia itu terjadi ketegangan. Dia nggak menceritakan mengapa dia menjilat ludah dia sendiri ketika menulis tentang AS Dharta. Itu soalnya. Kalau nggak, hubungan saya dengan dia baik lho. Dia datang ke rumah saya, saya datang ke rumah dia. Tapi dia tidak menceritakan itu. Jadi nggak jujur, gitu lho. Menurut Goenawan, sebagai anggota Akademi Jakarta, dalam kasus saya itu, Akademi Jakarta melakukan hal yang tidak patut.
Jadi akademi ini tiap tahun memberikan hadiah gitu ya, semacam Lifetime Achievement Award dengan cara membentuk juri, juri inilah yang memilih. Tak ada lagi yang di atas juri. Tetapi, sekarang keputusan juri ditolak. Tapi, menurut berbagai laporan, juri bilang tidak atas penolakan itu kalau yang menang bukan yang mereka rekomendasikan. Kalau bukan Martin, mereka tidak mau, mereka mengundurkan diri. Jurinya mengundurkan diri. Itu kan aneh, jadi konyol-konyol gitu. Kalau misalnya mau menelikung saya, carilah jalan yang manis, gitu. Ya Akademi Jakarta itu tidak seperti Komite Nobel. Tapi Komite Nobel itu kan banyak yang mau bermain politik, bagaimana supaya Sartre tidak dapat nobel, itu kan ada permainan yang sangat bagus. Walau kemudian kebobolan juga, kerana Pablo Neruda muncul sebagai pemenang. Sementara yang dilakukan Akademi Jakarta ini sangat kasar, saya kira. Tapi sekarang persoalannnya sudah lain dan semakin banyak orang-orang yang terpelajar, dan celakanya yang kepala batu ini tidak mau ngerti jika pertumbuhan generasi sekarang itu sudah lain. Anda tidak bisa menutup akses mereka. Membungkam mereka, apalagi terhadap bacaan-bacaan yang diharamkan. Sekarang di internet mau akses apa saja ada, ini yang mereka nggak mau ngerti. Kalau Goenawan dia bagus sekali. Serangan-serangan kasar terhadap dia tidak diladeninya, tapi serangan-serangan yang sangat bagus yang ditulis oleh Martin Suryajaya, misalnya, dia jawab baik-baik, berbudaya, berakhlak terpuji.
‘Saya tidak menyesal. Saya hanya menyesal kalau saya tidak bisa bersuara untuk mereka yang dibuat tak bisa berbicara puluhan tahun. Bayangkanlah, di negeri kita ini mati dengan baik-baik, diiringi selenting doa saja tak mungkin.’
Apa Anda melihat pentingnya politik kebudayaan saat ini ditengah-tengah gempuran kapitalisme neoliberal yang begitu hegemonik?
Saya nggak ngerti menjelaskannya ya, mengapa kita sebagai bangsa tidak punya karakter yang kuat. Kenapa itu? Saya nggak tahu menjelaskannya. Kita dengan mudah dipengaruhi oleh, katakanlah yang terakhir ini, seni budaya Korea, dipuja-puja, saya heran. Kita memuja apa yang memukau dari luar, okelah, tetapi kekayaan kita sendiri, kita tidak pupuk, kita tidak hargai. Kalau kita lihat Jepang, misalnya, mereka hargai apa yang bagus dari luar, mereka main golf, tapi sumo tetap ada. Jadi diri dia itu tetap ada. Tetapi kita ini, kayak air gitu lho, Anda kasih warna ijo jadi, warna merah jadi, saya nggak ngerti itu kenapa. Tapi pastilah itu ada kaitannya dengan pendidikan, apakah anak-anak sekolah, apakah di dalam rumah tangga, apakah di dalam masyarakat, kita lemah. Apakah karena alam kita yang membuat kita mudah sekali berpindah-pindah karena tetap bisa hidup mudah, saya nggak tahu.
Jadi pendidikan, termasuk pendidikan bahasa, kesusasteraan, itu sangat perlu. Memperhalus budi orang ya. Cuma, ini masalahnya, pendidikan sastra di sekolah itu ada yang nggak benar, yaitu pelajaran meringkas. Jadi, nggak tau ya angkatan kalian itu masih ada atau nggak. Siti Nurbaya diringkas, jadi kalian menghadapi tugas itu tidak membaca roman Siti Nurbaya yang utuh, tetapi ringkasan. Hal yang sama terjadi ketika orang dibuat sedemikian rupa tidak membaca Atheis karya Achdiat Karta Miharja secara utuh, tapi hanya disuruh membaca ringkasan Atheis. Meringkas itu nggak baik, karena fantasia kita, tidak muncul di dalam ringkasan itu. Yang tidak dilakukan oleh Indonesia sekarang itu adalah apa yang dilakukan di luar, seperti di Amerika, misalnya. Di sana itu ada banyak novel-novel atau buku yang sangat monumental, misalnya novel The Call of the Wind, yang ditulis kembali untuk anak-anak SMP. Jadi pemilihan kata, alur cerita, disesuaikan dengan bahasa murid sekolah menengah pertama, sehingga secara psikologis daya tangkap mereka sama seperti kita orang dewasa yang membaca novel tersebut. Itu yang tidak pernah dilakukan di sini. Diringkas-ringkas itu sama sekali salah. Ya pendidikan sangat perlu saya kira. Tapi itu juga tentu sangat dipengaruhi oleh pilihan kebijakan ekonomi kita. Kalau kebijakan ekonomi kita tetap seperti ini, ya kita tidak bisa jadi dewasa. Kita tidak bisa berdiri di atas kaki kita sendiri dan jangan mimpi kita menjadi kuat. Ekonomi kita sangat tergantung pada luar, sehingga itu gampang sekali goyah.
Dalam buku Langit Pertama, Langit Kedua yang baru saja diterbitkan, Anda meletakkan karya-karya fiksi sebagai ‘Langit Pertama’ dan karya-karya non-fiksi sebagai ‘Langit Kedua.’ Bisa diceritakan bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini?
Langit pertamanya dilihat dari luar angkasa. Ya karena bagaimanapun juga yang tertinggi itu tetap fiksi. Bagi saya, kritik dan esai itu sekunder. Kalau misalnya tidak ada yang primer tadi tidak mungkin ada yang sekunder. Tentu saja kritik dan esai itu akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan fiksi. Tapi fiksilah yang menjadi utama, karena ada fiksi itulah maka ada kritik dan esai. Fiksi menempati posisi yang lebih penting karena ia adalah hasil kreasi, hasil imajinasi. Seperti pernah saya umpamakan kritik itu seperti benalu, tetapi di antara benalu ada benalu yang bermanfaat untuk penyakit tertentu, seperti tumor dan kanker.
Bagaimana pandangan Anda terhadap berbagai penghargaan serta kritik yang diberikan kepada para penulis sastra? Apakah hal itu penting bagi para sastrawan?
Penghargaan ya penting, untuk memotivasi penulis menulis lebih banyak lagi. Yang di Langit Pertama, Langit Kedua itu, saya mencoba mengatakan bahwa kritik itu tidak mesti serius. Tidak meti berhalaman-halaman. Jadi orang nyeletuk atau apa pun kan itu juga kritik, sebagai masukan. Jadi ada yang memberikan kritik atau saran atau tanggapan itu melalui e-mail, ada yang melalui sms, ada juga yang memberikan uraian, malah mengadaptasi cerita saya menjadi puisi yang panjang. Saya nggak mau kalau itu tinggal sms, lantas saya masukkan di buku ini. Ada orang yang memberikan interpretasi yang lebih panjang dari cerita pendeknya sendiri. Ada juga yang mengirim sms bertanya ‘ini ditulis pake kertas A4 berapa halaman?’ Itu kan lucu ya, tapi nggak apa-apa, kita bisa melihat tingkat manfaatnya dan itu yang menjadi bunga dalam hidup kita sebagai pengarang. Ada juga yang bertanya ‘pohon Hariara itu apa?’ Sebetulnya kalau lihat di kamus, dia akan tahu. Tujuan saya juga supaya orang lihat di kamus. Sebab saya, sebagai penulis, tidak hanya menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan, tapi juga mencoba agar pembaca dapat memperkaya kosakata diri dia yang bisa dia lihat sendiri di kamus. Kadang-kadang ada juga komentar yang menanyakan maksud kata-kata yang mereka tidak mengerti. Jadi saya masukkan saja sekalian. Mungkin itu belum pernah dilakukan orang. Itu yang dikatakan oleh Arswendo Atmowiloto, yaitu saya menjadikan gosip menjadi narasi sastra. Jadi selama ini kan hanya digosip-gosipkan dan kini saya tulis. Kritik sastra diperlukan iya, karena ini memberi masukan kepada penulisnya dan memberikan penjelasan kepada khalayak, ini yang baik, kekurangan tulisan ini begini, dll. Itu fungsi kritik sastra dan esai, menurut saya. Penghargaan juga sama pentingnya. Artinya, penghargaan itu juga bisa diterima sebagai kritik dan juga sebagai apresiasi.
Apa yang membuat Anda tetap bertahan sebagai seorang penulis hingga saat ini?
Menulis itu mengasyikkan, karena kadang-kadang orang menafsirkannya secara lain dan sering kita nggak duga bahwa tulisan itu akan seperti itu tafsirannya. Saya nggak ngerti bahwa orang bisa menafsirkan sedemikian rupa tulisan saya. Itu satu keasyikan tertentu dalam dunia penulisan. Ada contohnya, tapi saya lupa, jadi dia itu memberikan penafsiran yang saya sendiri kaget, kok bisa ditafsirkan begitu ya. Tapi menulis itu menderita juga, itu saya akui. Karena begitu Anda menuliskan, Anda harus memikirkan, bagaimana Anda menulis kalimat pertama, pilihan katanya bagaimana, paragraf pertama bagaimana, itu sangat menyiksa. Dan saya tidak seperti Anda yang bisa menulis sambil duduk lantas jadi. Saya nggak. Kalau buntu, saya jalan. Oleh karena itu, sering saya kalau di rumah itu nggak bisa nulis. Di depan rumah saya itu kan banyak pohon, jadi kalau saya lihat ada daun kering jatuh di beranda itu, saya nyapu. Akhirnya saya nggak nulis. Karena itu kebanyakan tulisan itu saya tulis di Taman Ismail Marzki (TIM) sini, terutama di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Selain karena sepi, ruangannya begitu luas dan pengunjungnya sehari rata-rata hanya 2-3 orang. Buku ada di sana. Saya tidak bisa cepat menulis. Tapi dorongan dari dalam bahwa ada sesuatu yang harus saya katakan keluar dari diri saya itu yang membuat saya bertahan. Jadi apa yang saya alami, apa yang saya ketahui. bahwa ada orang yang tak bisa menerima, itu tidak jadi masalah.
Saya dituduh mendendam. Apa benar? Soalnya saya menggugat kematian dari beribu orang sebagai korban kesewenang-wenangan. Apakah itu dendam. Baiklah, soalnya apakah saya menulis dendam itu dengan membangkitkan dendam palsu sebagaimana rezim militer Suharto lakukan terhadap mereka yang dituduh komunis? Baiklah kalau saya dituduh mendendam lantaran saya mengingatkan melalui cerita-cerita saya, sementara mereka menyurukkan kepala ke dalam pasir untuk melupakan banjir darah yang ikut mereka tumpahkan sehingga membikin cacat yang tak sembuh-sembuhnya di tubuh bangsa ini! Saya tidak menyesal. Saya hanya menyesal kalau saya tidak bisa bersuara untuk mereka yang dibuat tak bisa berbicara puluhan tahun. Bayangkanlah, di negeri kita ini mati dengan baik-baik, diiringi selenting doa saja tak mungkin, karena ribuan yang dibinasakan sebelum mereka sempat meminta izin kepada suami atau istri, anak atau ayah, sesama kekasih untuk berangkat lebih dulu menemui Tuhan mereka Yang Maha Pengasih.
Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia kesusasteraan Indonesia sekarang?
Bagini ya, saya kan banyak menulis cerita pendek. Pertumbuhan cerita pendek sekarang ini, dari segi kuantitas atau bentuk itu negatif. Ambil contoh Kompas itu, dan diikuti oleh media lain, dia membatasi. Jadi kapital itu sudah begitu berkuasa sehingga sastra pun terpuruk. Kompas itu, dia akan dengan gampang mengembalikan tulisan anda kalau lebih dari 10.000 karakter, weak spaces. Kecuali yang mengirim itu orang yang punya nama seperti Seno Gumira atau Budhi Dharma. Itu kelihatan betul bahwa kuasa kapital itu kuat sekali. Padahal kan bisa bersambung ke halaman lain. Tapi sebetulnya juga dia tidak konsisten. Ada berita di Kompas itu yang masih bersambung. Tapi untuk cerita sastra tidak. Ini perkembangan yang tidak bagus. Kompas itu juga, dan ini anehnya, memberikan ruang yang terlalu istimewa buat ilustrasi cerita. Jadi pernah ya salah satu cerita saya yang judulnya Tidak Darah di Lamarera yang sulit dipahami orang kayaknya. Lalu redakturnya bilang, Martin ini yang bikin ilustrasi anak ITB, anak perempuan, tolong dong potong 2.000 karakter. Itu permintaan yang sulit sekali. Saya potong 2.000 karakter dan begitu dimuat, kalau margin kanan kiri dari ilustrator itu dirapatkan, masuk. Itu sebabnya, hampir semua cerita pendek saya selalu ada dua versi, karena itu tadi, harus sesuai dengan jumlah karakter yang ditentukan. Tapi kalau kata-kata itu dibuang kan sayang sekali, karena kata-kata itu kan mengandung unsur musikal, jadi cemplang gitu. Mungkin pengarang yang lain juga mengalami hal yang sama. Tapi kalau ada batasan-batasan seperti itu saya kira tidak baik, sebab Anda mengungkapkan perasaan dan pikiran itu harus ada penampung yang tidak terbatas. Tidak bisa anda batasi.
Bagaimana pendapat Anda terkait dengan proyeksi politik kebudayaan Kiri Indonesia pasca LEKRA? Apakah dimungkinkan untuk dimunculkan sekarang ini?
Sebetulnya orang-orang Kiri, sebagaimana yang ditulis oleh Asep Samboja, mereka tetap menulis. Tapi mereka tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan kesusasteraan sekarang. Jadi, sikap dogmatis itu selalu muncul. Jadi kritik saya yang paling serius dan orang tidak suka adalah ketika saya mengatakan bahwa orang-orang yang tidak bisa pulang dari luar itu, mereka ini salah. Salahnya adalah, dia selalu menulis mengenai Indonesia, yang jauh dari dirinya. Dia dapat info tentang Indonesia itu dari e-mail, dari tangan ketiga atau keempat. Makanya kalau Anda lihat bagiaman Agam Wispi, misalnya, ketika menulis puisi mengenai Kedung Ombo, gak bagus. Dia mungkin duduk di Cafe di Belanda, menghadapi kopi dan cokelat, tapi dia tidak melihat langsung, sehingga jadinya tidak bagus.
Begitu juga Sobron Aidit. Sobron itu menghasilkan sesuatu yang bermakna buat hidup dia. Saya satu kos sama dia dulu di sini, di Gondangdia. Dia diundang menjadi guru di Beijing, lantas, ada revolusi kebudayaan, di sana mereka semua harus mengangkat kotoran manusia, dpaksa oleh Partai Komunis. Yang gaya hidupnya borjuis, dipaksa masuk ke daerah-daerah pertanian. Nah ketika RRT itu, menurut saya licik, membuka pasar ke Indonesia, kira-kira yang saya lihat ya Pak Harto maunya buka hubungan diplomatik, nah Sobron dan ratusan orang itu diusir oleh RRT, mereka mengembara. Belasan tahun di RRT, mereka buka restoran. Sobron itu orang tuanya haji. Dia khatam Quran berkali-kali dan empat tahun sebelum dia meninggal, dia masuk Kristen. Dan dia untuk menghadapi masalah bahwa dia ingin diri dia ada di Belitung, ada di Beijing, ada di Amsterdam, dan ada di Paris, lalu dia berkenalan dengan seorang Buddhis di Perancis, dan memutuskan agar jenazahnya dikremasi. Anda seorang Islam, kemudian masuk Kristen, lalu memutuskan untuk dikremasi. Itu kan kalau ditulis luar biasa. Itu tidak ada. Makanya kalau Anda lihat nanti di endorsement dari Gung Ayu Ratih, dia menulis dengan baik mengenai Sobron yang Sobron sendiri tidak menuliskannya dan sangat disesalkan. Jadi, Sobron ini aktif di e-mail, mengritik pemerintahan di sini. Tapi mengenai diri dia sendiri, tidak. Keberadaan mereka di luar jadinya tidak memberikan sumbangan yang berarti untuk sastra Indonesia. Kecuali ada satu yang bertahan, dia penulis tahun 1950an, Supriyadi Tomodiharjo. Dia bertahan, termasuk gaya menulis dia. Di antara penulis-penulis LEKRA itu ada yang bisa bertahan dengan keadaan dan ada yang tidak. Karena itu, penulis-penulis sekarang kalau membaca tulisan mereka, yang terkesan adalah mereka tuh sangat bombastis, ke kiri-kirian.
Untuk yang pasca LEKRA, dia muncul sebetulnya, seperti JAKER, lalu ada kelompok-kelompok Jogja seperti Bumipoetra. Masalahnya adalah tidak ada tokoh yang bisa menghimpun penulis atau pemikir yang lebih banyak ke dalam kelompok mereka. Kalau dulu zaman LEKRA ada orang seperti Njoto, dia sangat kharismatik. Dia bisa menghimpun orang, dia bisa main alat musik tertentu. Di Istana itu kalau Bung Karno habis pidato, tim kesenian itu maju dan Njoto termasuk dalam tim itu. Dia berteman baik dengan Jack Lesmana dan Bing Slamet. Orang-orang seperti itu yang sekarang ini tidak ada, yang disegani oleh orang-orang yang kecenderungan politiknya berbeda. Kan kalau kecenderungan politiknya sama dia bertahan. Nah sekarang ini tidak ada. Jadi kelompok-kelompok seperti Jaker atau Bumipoetra itu belum ya. Kita lihat lah nanti, mungkin ada penulis-penulis yang bagus seperti Martin Suryajaya. Kalau tambah banyak lagi penulis seperti Martin Suryajaya, hebat gerakan.
https://indoprogress.com/2014/02/martin-aleida-takdir-sastra-adalah-membela-korban/
0 komentar:
Posting Komentar