Senin, 24 Februari 2014

Biografi Haji Mohammad Misbach – Penulis Api di “Ladang” Petani

8:41 AM


“Kita wajib membikin peraturan guna membongkar fitnah, tanpa memandang apa bangsa dan agamanya.”[1] – Mohammad Misbach

Misbach berseru kepada kaum Muslim untuk fisabillilah melawan penindasan. Rentang waktu antara bulan Desember 1918 hingga 7 Mei 1919, Misbach membikin tulisan-tulisan provokator, mencoba menggerakkan kaum Muslimin, dalam hal ini petani. Tulisannya mengajak massa petani bersatu-padu menggalang kekuatan lewat Insulinde, organisasi radikal lanjutan IP (Indische Partij), dengan memegang teguh hukum yang mampu merukunkan umat manusia, yaitu hukum Tuhan (Al-Quran). Untuk selanjutnya bergerak bersama-sama menantang penindasan melawan pemerintah.

Tulisan Api, Menyulut Petani

Haji Mohammad Misbach terkenal dengan tulisannya yang berapi-api. Hingga sepercik api yang disulutnya mampu melecut bara semangat di dada petani, kaumnya para kromo. Tekanan-tekanan yang diberikan pihak penguasa terhadap rakyat Hindia sangat berat. Misbach yang merasa batinnya terpanggil, ingin melihat sesamanya mendapatkan kebebasan. Tidak digencet pihak manapun.

Setelah aktif di kancah perpolitikan, dengan mendirikan IJB (Indlandsche Journalist Bond) pada 1914 bersama Marco Kartodikromo, Misbach mulai melontarkan pikiran-pikirannya lewat tulisan. Apalagi usai mendirikan koran pertamanya, Islam Bergerak, pada 1915.

Walaupun dikenal sebagai tokoh islam yang mubaligh, Misbach juga dikenal sebagai orang yang getol mensinkretismekan Islam dengan Komunis. Dua ideologi yang sama sekali berlainan itu menjadi kekuatan yang menyatu di tangan Misbach. Itu sebabnya, tulisan-tulisannya kerap diwarnai warna Islam. Bahkan gaya penulisannya hampir-hampir mirip dengan gaya seorang mubaligh.

Salah satu petilan tulisan api, dimuat di Islam Bergerak pada 10 Maret 1919, yang dipakainya dan bertujuan mengajak petani melawan bisa kita lihat di bawah ini:

Nah! Sekarang telah nyatalah perintah Tuhan, kita orang diwajibkan menolong kepada siapa saja yang dapat penindasan, hingga mana kita berwajib perang juga jika penindasan itu belum dihentikannya.

Ini tulisan dimuat dalam Islam Bergerak. Perintah berperang ini lantas disambung dengan perintah kepada para petani untuk berbaris rapi demi menggalang kekuatan. Memegang wet (hukum) yang mesti terpakai oleh sekalian manusia di atas hidupnya. Adalah hukum manusia yang didasarkan pada perintah Tuhan, Al-Quran.[2] Jalan yang bisa ditempuhnya, coba dijelaskan oleh Misbach pada 1918, ketika dia menuliskan kata-kata apinya di Medan Moeslimin.

Politik yang dilakukan di Hindia pada waktu ini, amat tidak mengertikan orang, sifatnya Agama Islam di Hindia kalang kabut, geraknya suara pers dan pergerakan di tanah Jawa amat bertambah-tambah serunya...” kemudian dia menyambung, “Medan Moeslimin... tempat berdiskusi yang aloes... cuma saja suara kita sekarang terpaksa tidak bisa halus bagai talingan Regeering... sedang adanja penindasan malah bertambah banjak dan berat.” Dan, seolah-olah sedang bertabligh, dia melanjutkan kata-kata apinya, “...jikalau Bumiputra bersatu, Agama Islam sudah tentu menjadi kuat. Dan tidak mudah dihisap darahnya. Dari itu, yang anti kita lantas akan membikin akal buat menipu daya supaya Bumiputra jangan satu Agama Islam.

Agar mendapat keabsahan dan menguatkan kata-katanya, tak urung pula dinukil ayat-ayat Al-Quran.

Benarkanlah barang yang benar, kelirukanlah barang yang keliru, kendati orang yang keliru itu membenci kepadamu.

Kata-kata Misbach ini ada di dua artikelnya yang terkenal. Masing-masing berjudul, “Orang bodo djoega machloek Toehan, maka fikiran jang tinggi djoega bisa didalam otaknja” dan “Seroean kita”. Artikel tersebut merupakan buah refleksi kritis pemikiran Misbach, terkait kondisi kaum petani. Artikel itu usil menyentil para penghisap kapitalis, Residen Surakarta, Pakubuwono X, dan apa yang dia tuduh sebagai “Islam Lamisan”.

Misbach juga mengungkit omongan yang dikatakan regeering. Disebutnya omongan itu omong kosong. Karena katanya regeering itu mau memproteksi rakyat, tetapi tanpa sebuah bukti. Misbach menyebutkan, Pemerintah Kolonial hanya mau memproteksi kaum kapitalis, akan tetapi membiarkan para petani berkorban.

Dalam menyampaikan risalah, Misbach terkenal berapi-api. Semangat ini, yang barangkali saja benar, mampu menular kepada rakyat pada zaman itu. Memang benar Misbach memiliki ciri berbeda dengan seorang yang juga keras dalam masa pergerakan, Cipto Mangunkusumo, yang langsung mencucuk hidung Pemerintah Kolonal menunjukkan kesalahannya.

Ketika Misbach ingin menggoyang pemerintah, ia berupaya membawa serta petani. Menggugah kesadaran mereka lewat Islam. Petani-petani dibuat supaya melihat kondisi mereka. Setelah terjadi saling pengertian, pengaruh kata-kata Misbach meresap, kekuatan baru bisa dibangun. Kemudian dikumandangkanlah kata: Perlawanan!

Strategi Potong Kepala Ular

Tidak dapat dipungkiri memang bahwa Misbach memiliki kepandaian menggalang massa. Sebagai orang pergerakan, jurnalis dan propagandis, tokoh Islam satu ini tidak ngedon di dalam kamar saja. Memprovokasi petani tanpa tahu kondisinya, sama halnya berkata-kata kosong. Dengan dasar inilah, Misbach bergiat aktif di lapangan. Dalam catatan sejarah Indonesia, rentang enam bulan, Desember 1918 hingga 7 Mei 1919, Misbach memimpin sedikitnya sebelas rapat Insulinde di desa-desa Surakarta—Kartasura, Banyudono dan Ponggok. Di mana enam di antaranya merupakan rapat pengukuhan kring-kring Insulinde[3].

Kesempatan itu dipakai untuk mengumpulkan dan memobilisasi petani. Dia kerap menyebutkan kata-kata “Djangan Koeatir”. Dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran, dia menjabarkan contoh-contoh yang telah dilakukan Nabi Muhammad sekaligus menegaskan tujuan Insulinde, yaitu kebebasan negeri kita. Puncak semua itu terjadi tepat pada 23 Februari 1919, yang mana, hari ini, kuli-kuli kenceng Nglungge mengadakan mogok untuk menuntut tiga hal: pertama, wajib ronda dan patroli desa serta negara harus dikurangi; kerja wajib memelihara jalanan umum harus dibayar, dan meminta agar pejabat desa juga melakukan kerja wajib.

Awalnya aksi mogok ini dibiarkan berlalu begitu saja oleh pemerintah, seolah-olah tak merasa terganggu dengan itu semua. Namun, tiga bulan pasca pemogokan, tepatnya tanggal 19 April 1919, Residen Surakarta mengirim seorang controleur (pengawas) urusan pertanian dan regent polisi (kepala polisi) Klaten ke Nglungge. Punggawa-punggawa pemerintah tersebut memberikan peringatan kepada petani yang mogok, dan mengatakan bahwa tindakan mereka ilegal. Meskipun demikian, saat itu, tak seorangpun dari mereka digulung.

Selang beberapa hari kemudian, kenyataannya berbalik, enam orang pemimpin kring yang didakwa melakukan aksi ilegal tersebut diciduk pemerintah setempat. Kejadian ini membuat Misbach tersulut. Pada 27 April 1919, dia menyerang penguasa yang telah menangkap para pemimpin kring kemudian menyuruh para petani terus mogok. Menghadapi serangan Misbach, pemerintah juga tak tinggal diam. Tiga hari kemudian, digelarlah serangkaian persidangan kasus enam para pemimpin kring. Persidangan ini dibuka di Landraad (Pengadilan Negeri) Klaten.

Ketika persidangan digelar, tak kurang dari 180 orang petani datang, dan menuntut pembebasan enam pemimpin mereka. Alih-alih berhasil, pihak berwenang kolonial malah menangkap empat orang petani yang memimpin 180 orang ini. Termasuk Soemoloekito—Ketua kring Gawok, dan putra Pak Ngabid. Kemudian para petani dibubarkan secara paksa. Usai peristiwa itu, pemogokan di Nglungge padam di pertengahan Mei 1919.

Pun demikian, bara dalam sekam tetap menyala dan membakar sekam bagian bawah. Pemogokan di Nglungge memang lenyap, namun itulah awal dari pemogokan-pemogokan selanjutnya yang menyebar ke lain tempat. Bahkan pemogokan-pemogokan ini mulai berani menyabotase prapat[4].

Kali ini Misbach turun tangan. Dia, untuk pertama kalinya, mendapat kepercayaan diri unjuk muka di depan massa. Dan terang-terangan menyatakan diri akan menyerang pemerintah pada 23 April 1919. Pada mulanya, propaganda yang dilakukan Misbach memang berlangsung “malu-malu” sehingga tidak menyinggung-nyinggung pranatan keraton yang mengharuskan kerja wajib bagi petani atau mengajak petani mogok. Setelah kejadian-kejadian yang sudah melebar, pada akhirnya Misbach harus menyinggung pranatan keraton ini, yang mana merupakan urat sensitif petani. Tersenggol urat sensitifnya, awal Mei 1919, massa 17 desa bergabung. Total massa mencapai angka 20.000 orang. Mereka ini yang kemudian mogok di Perkebunan Tegalgondo. Menuntut kenaikan glidig.

Tak ayal pemerintah kalang kabut menghadapi kondisi yang sudah tak mampu dikendalikan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus memakai taktik potong kepala ular. Dengan taktik potong kepala ular, tubuh ular akan mati. Pada 7 Mei 1919, Residen A.J.W. Harloff mengadakan sidang darurat dengan Asisten Residen Surakara dan Boyolali, controleur urusan pertanian, dan regent polisi untuk membicarakan langkah yang tepat mengatasi pemogokan petani.

Sidang darurat yang diadakan Residen A.J.W. Harloff, menyimpulkan bahwa kepala dan otak pemogokan ini harus ditangkap. Pada hari yang sama pula Misbach, Darsosasmita, Gatoet Sastrodihardjo (Sekretaris Insulinde Surakarta) bersama 80 orang pemimpin dan anggota ditangkap. Tuduhannya mendalangi dan mengorganisir pemogokan secara sistematis.

Koesoen, seorang hofdredacteur (Pemimpin Redaksi) dan propagandis utama SATV, menulis pembelaannya terhadap Misbach di Islam Bergerak. “Mereka—Misbach, Darsosasmito, dan lainnya—dipenjara bukan karena merampok, mencuri, menodong, membunuh atau menipu, tetapi justru karena mereka melawan pihak yang bertindak sewenang-wenang atau tepatnya, bandit-bandit yang selalu mengganggu kesejahteraan umum,” demikian sebut Koesoen. Para aktivis SATV memang melihat Misbach sebagai mubaligh sejati yang mempropagandakan Islam tidak dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan perbuatan.

Penangkapan itu tak lama, tanggal 22 Oktober 1919, Misbach dibebaskan. Hal ini bermula saat Insulinde, yang sudah berganti nama lagi menjadi NIP-SH (Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia), mengadakan rapat umum pada 15 Oktober 1919. Rapat ini, dihadiri 2.000 orang di Surakarta, merupakan rapat pertama sejak Insulinde dilarang mengadakan perkumpulan bulan Juni 1919.

Di hari yang sama, saat sedang berlangsung rapat, Douwes Dekker dibebaskan Raad van Justitie (Dewan Pengadilan) Semarang. Alasan pembebasannya menjadi penting dan dipakai juga untuk membebaskan Misbach seminggu setelahnya. Dekker dituntut lantaran sudah menyulut aksi-aksi kriminal di Polanhardjo berdasarkan pasal 102 hukum pidana Hindia. Raad van Justitie menyatakan, pasal tersebut tidak berlaku di daerah Voorstenlanden. Dan Surakarta termasuk empat dari daerah vorstenlanden yang ada di Jawa.

Pesta sambutan untuk merayakan kebebasan Misbach, digelar NIP-SH Surakarta dari malam ke malam. Banyak orang hadir dalam pesta meriah ini. Tak lama sesudah pembebasannya. Misbach menggantikan Ny. Vogel sebagai pemimpin NIP-SH Surakarta. Meski berhasil dibebaskan, toh pada akhirnya karir politik Miscbah harus tamat juga. Memang beberapa waktu ke depan pasca pembebasan ini ia masih bisa bergiat dalam panggung politik Hindia Belanda. Gayanya masih sama, meminjam istilah Remy Silado, Mbeling.

Gara-gara ke-mbeling-an ini, ia kerap bolak-balik masuk penjara dan dianggap sebagai pengganggu keamanan dan ketertiban. Pungkasnya terjadi, tanggal 20 Oktober 1923. Pemerintah yang gerah menuduhkan padanya tuduhan-tuduhan yang lebih berat ketimbang hanya sebagai pembuat onar, yaitu  keterlibatannya dalam sejumlah aksi revolusioner (pembakaran bangsal, penggulingan keretapi dan pemboman).

Beberapa aksi spektakuler yang merebak di sejumlah kota pertengahan Oktober 1923, ialah untuk kali pertamanya, ijazah-ijazah Sekolah Bumiputera Ongko Loro dibakari; bulan Mei 1923 Gubernur Jenderal yang datang ke Yogyakarta naik kereta dilempari bom; banyak orang memberanikan diri melempar kotoran ke kantor-kantor pemerintah, mencopoti potret Ratu Wilhelmina dan melumurinya dengan kotoran dan kalimat celaan.[5] Kejadian-kejadiannya sendiri meningkat drastis menjelang peringatan ulangtahun Ratu Wilhelmina akhir Agustus dan awal September.

Di kota-kota Jawa Tengah dan Timur juga banyak merebak kekisruhan. Di Yogyakarta, bulan Juli 1923 sebuah keretapi tergelincir dari relnya. Di Madiun, akhir Agustus 1923 seorang aktivis Sarekat Ra'jat (SR) dan bekas buruh keretapi pemerintah ditemukan mati dan lainnya terluka, ketika bom buatan mereka meledak tiba-tiba. Di Semarang, dari Agustus sampai September sedikitnya delapan bom telah dilemparkan di muka publik. Di Surakarta, pertengahan Oktober 1923, menjelang dan sesudah perayaan Sekaten, sejumlah rumah dibakar. Bangsal perayaan sekatenan dirobohkan orang. Di pedesaan, tempat pengeringan tembakau dibakar.

Darma Kanda, media yang menyuarakan aspirasi kaum ningrat mengingatkan bahaya "zaman Tjipto" (Tjipto Mangunkusumo). Para pangeran kasunanan dan pejabat tinggi ketakutan pada "komunis-komunis" mulai menebar cerita dan mengatakan Haji Mohammad Misbach berada di balik serangkaian kejadian itu. Misbach disebut-sebut telah membangun "pasukan sabotase", melatih prajurit untuk melakukan pengeboman, pembakaran rumah, perampokan, penggelinciran kereta api, dan aksi teror lainnya. Pada awal Oktober pamflet stensilan dengan simbol palu dan arit di atas gambar tengkorak manusia disebarluaskan orang-orang tak dikenal. Pamflet itu isinya mengingatkan orang agar tidak menghadiri perayaan sekaten.[6]

Serangkaian kejadian yang terjadi di Jawa itu menjadi sebuah alasan yang cukup kuat bagi pemerintah untuk mengkambing-hitamkan Misbach. Gerak Misbach memang harus dipatahkan agar borok masyarakat tidak menguar kemana-mana. Dan strategi potong kepala ular rupanya cukup ampuh untuk mematahkan gerak Misbach selanjutnya.

Bagi tokoh pejuang Indonesia, hal yang paling menakutkan adalah hukuman buang. Sebab, hukuman ini akan memutus hubungan antara kerabat-kerabat yang dikenal, tersiksa ketika menjalaninya dan juga kerentanan penyakit. Seperti sewaktu Soekarno harus menjalani hukuman buang ke Ende, Flores.[7]

Dan tampaknya hal yang paling belakangan yang sungguh menakutkan bagi Misbach. Ketika divonis harus menjalani hukuman buang di Manokwari, Papua, ia dijangkiti malaria—penyakit yang menjadi momok bagi penduduk Hindia Belanda saat itu, karena kotornya tempat-tempat hunian manusia. Di sanalah biografi tokoh Haji Mohammad Misbach berakhir. Kesan yang dapat ditangkap adalah bahwa seorang yang mampu menggoyang pemerintah kolonial tetap harus melakoni takdirnya sebagai seorang manusia biasa.

Sekelumit tentang Biografi Tokoh Nasional Misbach

Pengetahuan kita tentang biografi tokoh Indonesia satu ini sangat amat terbatas. Data-data yang berhasil dicatat dan disajikan hanyalah sebuah potret kecil dari hidupnya yang demikian besar. Haji Mohammad Misbach dilahirkan pada 1876 di Kauman, Surakarta, dari keluarga pedagang batik sukses. Namanya waktu kecil Achmad. Namanya waktu menikah Darmodiprono. Dan namanya setelah naik haji Mohammad Misbach.

Dia bukan dari kalangan keluarga Islam kuat – tentunya juga bukan berasal dari tokoh Islam dunia. Hanya saja lingkungan tempat tinggalnya yang berada di lingkungan pejabat keagamaan kraton, mendorong Misbach masuk ke dalam dunia pesantren. Dia hampir-hampir tak tersentuh pendidikan barat. Sekolah bentukan Belanda yang sempat dikeyamnya saja hanya sampai Sekolah Bumiputera Pemerintah Ongko Loro. Itu pun cuma kuat dilakoni delapan bulan.

Dunia dagang menjadi pelabuhan hati pertama dalam mencari sesuap nasi. Begitu mengenal politik dan masuk SI (Sarekat Islam) dan IJB (Inlandsche Journalisten Bond)[8] sebagai Sekretaris, ia langsung kesengsem. Karena berbakat, namanya bisa cepat mencuat. Terutama setelah aktif di organisasi TKNM (Tentara Kanjeng Nabi Muhammad) sebagai salah seorang donatur. Dia pula yang mempelopori pendirian SATV (Sidik Amanah Tablig Vatonah) dan sekolah Ze School Met Der Qur’an.

Pada masa pergerakan, suratkabar-suratkabar mulai tumbuh bak cendewan di musim hujan. Seakan tak mau ketinggalan, Misbach turut menerbitkan suratkabar, Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917). Yang pada awalnya didirikan digunakan untuk merespon suratkabar Kristen Mardi Raharjo, namun dalam perkembangan selanjutnya menjadi salahsatu media massa berpengaruh. Media inilah yang dipakai Misbach meracik pikiran-pikirannya dalam menentang Belanda.

Dan kekerasan hati yang dimilikinya membuat segan kawan dan lawan. Misbach adalah sesosok manusia yang sudah dengan berani menentang kekuasaan kolonial dengan cara dan kekuatan yang dipunyainya. Jauh sebelum meninggalnya, Tjipto, pernah melukiskan keberanian itu dalam sebuah artikel, dimuat di suratkabar Panggoegah 12 Mei 1919. Sebagai seorang ksatria sejati (Misbach) mengorbankan hidupnya demi pergeliatan pergerakan Bumiputera. Ia pejuang yang semata-mata berjuang karena terpanggil memenuhi kewajibannya sebagai makhluk Tuhan.

Marco Kartodikromo, kawan seperjuangan Misbach pernah pula menggambarkannya. Misbach adalah tokoh yang senantiasa membumi. Dia dapat berbaur dengan kalangan anak muda, di samping juga tidak suka membeda-bedakan siapapun, baik itu kupu-kupu malam, pencuri, orang berpangkat maupun orang-orang dari seluruh kalangan. Pun demikian sosoknya tetap memiliki wibawa tinggi. “Misbach seperti harimau di dalem kalangannya binatang-binatang kecil. Karena dia tidak takut lagi mencela kelakuannya orang-orang yang sama mengaku Islam tetapi selalu menghisap darah teman hidup bersama,” kata Marco.

Dua Jalan Menyatu: Islam-Komunis

Dua mata tombak yang seringkali disinggung-singgung Misbach dalam tulisan-tulisannya adalah Islam dan Komunisme. Bagi Misbach, Islam dan Komunisme adalah harmonisasi yang ideal. Islam tak selalu harus dipertentangan dengan Komunis. Malah sebaliknya, melalui Komunis-lah, Islam menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Menurut Nor Hiqmah, pertentangan kedua terminologi ideologi itu terjadi pada tataran politis. Selanjutnya serangkaian peristiwa menguatkan argumen tersebut. Bahkan lebih jauh dipertentangkan dalam hal penghayatan tentang ketuhanan, yang kemudian dipersempit dengan terminologi “agama”[9] hingga sekarang.

Dan sintesis tentang Islam-Komunis itu kemudian dijelentrehkan Misbach dalam artikel yang diberinya judul “Islam dan Komunisme”. Artikel ini sekaligus merupakan pembelaan Misbach demi menangkis serangan kaum putihan, yang memandang bahwa Komunisme bertentangan dengan agama. Berikut potongan artikel tersebut:

Hai Saoedara-saoedara ketahoei! Saja saorang jang mengakoe setia pada Agama dan djoega masoek dalam lapang pergerakan kommunist dan saja mengakoe djoega bahoea tambah terboekanja fikiran saja di lapang kabenaran atas perintah agama Islam itoe, tidak lain jalan dari sasoedah saja mempelajari ilmoe komminisme, hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoea kaloetnja kesalamatan doenia ini tidak lain hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme jang berboedi boeas itu sahadja, boekannja kesalamatan dan kemerdekaan kita hidoep dalam doenia ini sadja, hingga kepertjajaan kita hal agama poen beroesaha djoega olehnja.[10]

Misbach berkeyakinan total bahwa agama dan politk memiliki benang merah yang mengikat. Dalam agama, manusia diperintahkan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, di mana hal tersebut hanya dapat diwujudkan lewat politik. Karena itulah, siapa saja yang ingin berjuang menegakkan agama, harus masuk dalam pergerakan dan melawan sistem busuk yaitu kapitalisme. Bagi Misbach, dan bagi kalangan komunis, sistem kapitalisme memakan sifat-sifat alamiah manusia. Sistem itu pula yang menindas manusia, penghambaan manusia terhadap materi, dan akhirnya menjauhkannya dari agama.

Sementara, dalam pandangan Misbach, Komunis betul-betul memperjuangkan masyarakat kelas bawah (kromo). Islam sendiri memerintahkan untuk menolong kepada yang lemah, dalam hal ini yang tertindas (masyarakat bawah). Dan baginya, partai atau orang yang mengaku-aku Islam tetapi menghalang-halangi rakyat untuk masuk dalam politik sama halnya dengan munafik, atau dalam istilah Misbach sendiri, Islam lamisan.

Catatan kaki
[1] “Semprong Wasiat: Partijdisciplin SI Tjokroaminoto Mendjadi Ratjoen Pergerakan Rak’jat Hindia,” Medan Moeslimin, September 1923. Baca Nor Hiqmah, H. M. Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000, h. 9.
[2] Takashi Shirashi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, h. 201.
[3] Takashi Shirashi, Ibid., h. 204.
[4] Prapat adalah lembaga tradisional untuk menengahi pertikaian antar kepentingan di pedesaan Surakarta, terutama antara pihak petani dan perkebunan, sekaligus untuk menunjukkan kekuasaan negara. Takashi Shirashi, Ibid., h. 231.
[5] Iqbal Setyarso, Majalah Panji Pustaka, No. 09 Tahun IV - 21 Juni 2000.
[6] Ibid.
[7] Untuk keterangan ini baca di Reni Nuryanti, Biografi Inggit Ganarsih, Yogyakarta: Ombak, 2006. Khususnya di bab pembuangan di Ende, Flores.
[8] IJB didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo pada 1914. Organisasi jurnalistik se-Hindia Belanda ini sempat vakum selama lima tahun. Dan diaktifkan kembali pada 8 Maret 1919. Susunan pengurusnya waktu itu adalah Dr. Cipto Mangunkusumo (ketua), H. Mohammad Misbach (sekretaris), Hardjasoemitra (bendahara), Sosrokardono, Semaoen, H. Agoes Salim, Darnakoesoemah sebagai komisaris. Baca: Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Franz Fanon  Foundation, tt, hlm. 46-47.
[9] Nor Hiqmah, H.M. Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000, hlm. 36-40. Khususnya: bab 3: Islam dan Komunisme Menurut H.M. Misbach di sub bab 3: Islam Versus Komunisme.
[01] Ibid., hlm. 41-42.

***

Referensi

I. Buku

Nor Hiqmah, H. M. Misbach; Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000.
Takashi Shirashi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
Taufik Rahzen, dkk., Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: I-BOEKOE, 2007.
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Franz Fanon  Foundation, tt.

II. Internet 

batarahutagalung.blogspot.com 

http://www.dbiografi.com/2014/02/biografi-haji-mohammad-misbach.html?m=1

0 komentar:

Posting Komentar