Minggu, 05 November 2017

Jejak Pembantaian Massal Purwodadi [1]

Oleh: Tim Investigasi YPKP 65

TEGOWANU: Parit di tepian jalan raya antara jembatan Rowo hingga perempatan Daplang, menurut saksi sejarah, merupakan areal memanjang tempat pembuangan mayat-mayat korban Tragedi 1965. Pembantaian besar-besaran berlangsung, terutama melalui operasi militer "Sapu Jagat" yang baru berhenti pada 1969, menjelang kunjungan utusan PBB, Poncke Princen [Foto: Humas YPKP'65]
Pada akhir Oktober 2017 Tim YPKP 65 menelusuri sebagian dari 21 titik kuburan massal (mass-graves) yang tersebar di “basis merah” seputar Purwodadi Grobogan, Jawa Tengah. Kuburan korban Tragedi 65 dan tempat-tempat pembantaian massal ini merupakan “temuan spektakuler” YPKP 65, yang awalnya, berdasarkan laporan dan verifikasi permulaan; hanya ada 3 lokasi yang merupakan bagian dari temuan 122 titik kuburan massal.
Ternyata ditemukan lagi ada 18 titik kuburan massal sebagai jejak kasus pembantaian massal Purwodadi yang dilakukan rezim orba Soeharto sejak Oktober 1965 hingga April 1969. Berikut adalah laporan tim yang dibuat menjadi beberapa seri reportase..
***

“Saya mendengar berita tentang pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak kemanusiaan,”

Prof Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara; 2007

Cerita mengenai pembantaian massal orang-orang PKI, mereka yang diduga maupun “disangkutkan” komunis di Purwodadi, memang pantas diduga sebagai terbesar di Jawa Tengah. Pembantaian massal sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ini berlangsung hingga 1969 (Poncke, 1969), meski sejak April 1969 tak ada lagi pembantaian “resmi” disana. Namun kejahatan terhadap kemanusiaan itu terus berlangsung. Disenyapkannya pembantaian massal Purwodadi ini menandai “double-succes” operasi militer yang dikenal sebagai operasi Sapu Jagat kala itu.
Atas pertimbangan kemanusiaan, tragedi ini pernah dibongkar Poncke Princen. Princen dalam kapasitas sebagai utusan khusus PBB mendapat dukungan Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara dan koleganya Wertheim [Historia, 2011]. Operasi Sapu Jagat ini bukan saja telah melenyapkan nyawa tak terhitung jumlahnya, dimana ribuan orang “dibon” dari kamp-kamp Tapol 65 di seputar Tegowanu, Kuwu, Wirosari, Purwodadi, Grobogan dan sekitarnya, untuk dihabisi dan dikubur massal di beberapa lokasi. Namun operasi militer ini juga berhasil disenyapkan di akhir ceritanya pada 1969.
Akan tetapi narasi tragis ini jelas membekas dan memberkas begitu dalam pada ingatan orang-orang Purwodadi, terlebih bagi mereka yang memang mengetahui, melihat atau bahkan mengalaminya sendiri.
“Di Kradenan, kami, pernah memandikan jenazah hingga 40-50 mayat pada suatu pagi yang sama”, ucap seorang saksi sejarah.
Saksi mata yang mengalami bagaimana mayat-mayat baru ini “ditumpahkan” pada pagi buta dari truk militer yang membawanya entah dari lokasi pembantaian mana; untuk kemudian dimandikan dan dikubur secara massal. Seputar waduk Langon dan lainnya waduk Simo menjadi alternatif kuburan massal kala itu.
Masih ada belasan titik kuburan massal lainnya di Purwodadi. Meski sulit menghitung pastinya jumlah korban yang dibantai kala itu, tetapi dapat diprediksi antara 900 hingga ribuan jumlahnya, hanya di satu lokasi Langon dan Simo saja.
“Hitung saja, jika rata-rata tiap pagi ada 10 mayat maka selama tiga bulan dapat diperkirakan”, ujar saksi sambil menambahkan bahwa di malam tertentu jumlah mayat yang dikirim berlipat banyaknya.
Anehnya, beberapa diantara mayat-mayat yang dibunuh dengan berbagai cara ini, kebanyakan ditembak; ada yang masih dalam keadaan sekarat. Bahkan salah satunya ternyata masih hidup. Namanya Yusuf. Yusuf lolos dari pembantaian maut lantaran dia berpura-pura mati saat dieksekusi. Belakangan diketahui orang ini telah wafat setelah sejak paska tragedi 1965 itu ia pindah bermukim di Palembang.

Tragedi Yang Disenyapkan
Tak ada yang tahu bagaimana kekejian tingkat dewa seperti ini dibiarkan begitu saja berlalu. Sangat sulit dimaklumi bagaimana orang membunuhi begitu banyak orang lainnya dalam suatu masa, bahkan dengan alasan balas dendam atau “perang suci” sekalipun. Tak ada perang suci di dunia, sebab ia –perang itu- bukan kepentingan agama suci maupun kemanusiaan yang hakiki.
Dalam Laporan Sidang International People’s Tribunal 1965 yang putusan akhirnya dibacakan hakim ketua Zak Yacoobpembasmian seperti ini, dilihat dari motivasi, model, spektrum serta intensitasnya; memang layak disebut genosida. Ini kejahatan kemanusiaan ke 10 dari 9 kejahatan kemanusiaan yang terbukti terjadi di Indonesia paska Oktober 1965 dan masa-masa setelahnya. Video [Putusan akhir IPT 65]
Yang terjadi di Purwodadi dan sekitarnya pada rentang 1965-1969, sebagaimana terjadi di berbagai daerah lainnya;  bukan lah eksekusi atas putusan hukum. Manuver militeristik ini disebut pembasmian PKI tetapi faktanya, yang menjadi korban pembasmian itu bukan hanya orang-orang PKI saja.
Dari hasil penelusuran tim diketahui ada 21 titik lokasi pembantaian dan kuburan massal di wilayah Grobogan saja. Jejak kekejian orde baru Soeharto ini pernah diungkap utusan khusus PBB, Poncke Princen pada tahun 1969. Hasil investigasinya muncul menggegerkan dunia dan jadi polemik berbulan-bulan karena pihak militer mengingkarinya. Sehingga di ujung polemik 3 bulan (Januari-Maret ’69) militer menutup sama sekali segala akses riset dan media ke sana… [bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar