Rabu, 22 November 2017

Trimo Saat di Buru


Harry S. Waluyo | Nov 22, 2017


Pakde Trimo. Foto: Koleksi pribadi

Ini adalah cerita beberapa waktu lalu saat saya mengunjungi rumah Nenek di Cilacap, Jawa Tengah. Liburan ini mulanya terasa seperti biasa: main ke pantai, wisata kuliner, dan mengunjungi banyak saudara yang kadang saya tak ingat lagi namanya dan kadang pula terasa canggung saat bertemu.

Seperti biasa saat liburan, beberapa hari tak terasa sudah berlalu. Kedua nenek saya, dari keluarga Ibu dan Bapak, kebetulan tinggal berdekatan, jadi tiap malam tiba saya bisa istirahat di mana pun saya suka. Liburan satu minggu liburan memang saya rencanakan untuk bermalam di rumah kedua nenek dan beberapa saudara yang sangat senang bercerita.

Malam itu saya memutuskan untuk tidur di rumah Nenek, ibu dari ayah saya, dan saya teringat Bapak yang pernah bercerita pengalaman hidup ibunya mungkin akan membuat saya betah berlama-lama mendengar ceritanya; pengalaman hidup saat peristiwa 30 September 1965 terjadi.

Sebelumnya saat bertemu, saya tidak pernah menanyai Nenek tentang cerita hidupnya ketika G30S terjadi. Malam saya menginap di rumah Nenek, ditemani teh hangat dan keripik pisang, akhirnya saya mulai bertanya-tanya mengenai pengalaman Nenek pada periode waktu itu.

Nenek dulunya sinden keroncong dan punya usaha cuci pakaian. Sebelum tragedi G30S, Nenek sering sekali tampil di acara besar dan kecil di kampungnya. Nenek bercerita bagaimana kondisi hidupnya serba mewah karena banyaknya jadwal tampil dan usaha cuci pakaian yang laris manis.

Sesudah peristiwa G30S, Nenek memutuskan untuk berhenti tampil sebagai sinden dan pindah dari Banyumas ke Cilacap karena banyak orang di sekitarnya saat itu yang tewas dibunuh atau hilang tak nampak lagi.

Dengan trauma yang jelas terlihat di wajahnya, Nenek bercerita bahwa lingkungan tempat tinggal barunya di Cilacap pun sepi karena para penghuninya ternyata juga banyak yang hilang dan rumah mereka dibiarkan kosong hingga sekarang.


Nenek. Foto: Koleksi pribadi

Sesekali Nenek mengelus tangan karena merinding ketika mengingat peristiwa itu, kemudian ia balik bertanya untuk apa saya bertanya-tanya. Ia juga terkadang terlihat takut untuk sekedar menyebut “PKI”.

Kudune kowe dolan nggone Trimo keh nang Jatilawang (harusnya kamu main ke tempat Trimo di Jatilawang),“ katanya saat saya terus bertanya. Nenek tampak ketakutan dan enggan untuk lebih banyak menguak cerita sejarah hidupnya.

Keesokan harinya, saya memutuskan untuk menolak tawaran pergi memancing dan memilih untuk pergi ke Jatilawang bersama orang tua dan beberapa saudara dengan sepeda motor.

Setelah sampai di Jatilawang, suguhan kopi dan kue manis dari banyak saudara malah membuat saya ingin segera menemui Trimo, yang ternyata menurut paman dan bapak saya, adalah pakde dari keluarga Bapak.

Nenek sempat bercerita bahwa Pakde Trimo pernah ditangkap dan kembali setelah belasan tahun, tetapi ketakutan dan trauma yang tampak pada diri Nenek membuat saya berhenti menanyakan kisah selanjutnya dan memutuskan untuk langsung menemui Pakde Trimo.

Kebetulan di Jatilawang saya punya banyak saudara yang memang hendak saya kunjungi juga. Saya berjalan kaki mengunjungi setiap rumah saudara dan hanya berbincang sebentar agar saya bisa berlama-lama di rumah Pakde. Saat saya tiba di rumah Pakde Trimo yang sederhana dan akhirnya berjumpa dengan beliau, Pakde sibuk ingin membuatkan es dawet dagangannya, sambil bertanya kabar saya dan ingin tahu saya sibuk mengerjakan apa sekarang.

Ada alasan kenapa saya penasaran akan peristiwa-peristiwa sejarah ini, termasuk cerita Nenek dan Pakde, yang selama ini terasa disembunyikan.

Saya lahir di Bandung pada bulan dan tahun ketika Uni Soviet resmi dibubarkan. Pelajaran sejarah yang saya dapat di sekolah adalah pelajaran sejarah masa Orde Baru dan era reformasi. Tidak mengherankan saya merasa aneh ketika melihat kakak yang sedang menjalani kuliah kesulitan mendapatkan buku-buku sejarah yang ditulis berdasarkan perspektif lain.

Buku yang membahas korban kebiadaban rezim kala itu hanya dijumpai di toko buku kecil dan seringkali disembunyikan. Buku-buku semacam ini tidak jarang diberangus demi langgengnya kekuasaan rezim saat itu.

Kembali ke cerita Pakde, ternyata Pakde ditangkap saat masih remaja. Karena Pakde hobi menggambar, ia diajak kawannya untuk masuk anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia. Saat itu memang banyak kawan Pakde yang menjadi anggota organisasi itu.

Sampai satu waktu ketika sedang menggambar di pasar, Pakde diajak untuk berkumpul di kelurahan oleh tentara bersenjata tanpa tahu untuk apa. Ternyata dari kelurahan Pakde dibawa ke penjara Banyuwangi. Ia masih tak mengerti apa salahnya, hanya bisa merasa takut dan terus berdoa supaya bisa cepat pulang.

Hampir tiap malam di penjara Banyumas, satu per satu para tahanan dipanggil namanya kemudian dinaikkan ke truk. Hampir semua tidak ada yang kembali.

Dari Banyumas, Pakde dibawa pergi dengan truk militer entah ke mana. Ia kemudian diturunkan di perkebunan dengan kondisi babak belur, dihajar saat di penjara. Mereka dibariskan dengan tangan terikat di belakang, pisau di leher, dan moncong laras panjang di dada.

“Kamu tahu apa itu dewan revolusi? Disuruh apa kamu? Kamu tahu dewan jendral?”

Pakde bingung mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Belum selesai Pakde memikirkan jawabannya, tentara itu bicara lagi.

“Kamu bilang tidak tahu atau kamu tahu pun, kamu akan saya tembak.”

Saat itu Pakde pasrah dan berdoa tanpa henti, sampai akhirnya ia memberikan jawaban yang ternyata dianggap jawaban yang benar oleh tentara, sekalipun Pakde sendiri tidak paham apa maksud jawaban itu.

“Ya, saya disuruh dewan revolusi, tapi saya tidak mau.”

Sesudah itu, Pakde dipisahkan dan dibawa kembali ke penjara. Truk saat itu hanya berisikan beberapa orang.

Dari penjara Banyumas, Pakde dipindahkan lagi. Semula ia berharap akan dipulangkan, tapi yang terjadi ternyata ia diasingkan ke Pulau Buru. Hutan belantara dengan alang-alang tinggi dan tajam menjadi temannya selain beberapa kawan sesama pengasingan. Pakde masuk camp 5, tahanan politik golongan B.

Penyiksaan terus-menerus dilakukan tanpa alasan yang jelas. Hanya ada sedikit makanan yang didapatkan dan dibuat untuk dibagikan. Itu pun sering diambil dan disisakan hanya keraknya. Pemukulan terhadap tahanan sudah menjadi hal yang biasa, tanpa sebab dan biadab. Sekali waktu karena kekesalan yang sudah memuncak, tahanan memukuli petugas di tengah hutan, sampai akhirnya tertangkap basah. Sebagai hukuman, seluruh tahanan direndam di dalam air sehari penuh dan dihadapkan pada berondongan peluru. Yang tak menyelam atau tak kuat menahan nafas, kepala taruhannya.

Saat bulan puasa tiba, penderitaan mereka menjadi lebih berat. Pekerjaan yang berat, makan sahur yang sering sekali hanya air putih, dan hukuman yang tidak manusiawi mendera pada tahanan.

Suatu waktu, Pakde bersama tahanan lain disuruh untuk meratakan alang-alang tinggi menggunakan punggung mereka. Sekujur tubuh para tahanan dipenuhi darah tersayat ilalang tajam dan penyiksaan ini baru berhenti saat buka puasa. Guyon saat itu di antara mereka, “Kita hari ini buka puasa sama kecap!” Tentu bukan kecap kedelai, tetapi darah yang menghitam dicampur tanah di sekujur tubuh.

Selain cerita tragis masa penahanan, Pakde juga mengungkapkan keinginannya untuk menulis buku. Sayangnya, menurutnya ia tak pandai menulis. Ia berharap generasi muda saat ini terus berjuang melawan propaganda Orde Baru. “Kebiadaban rezim Orba harus dibongkar, angger ora(kalau tidak) ya rakyatnya akan terus bodoh, miskin, dan gak makmur,” ujarnya.

Tanpa saya sadari hari mulai larut. Akhirnya kami pamit dan berjanji akan segera kembali mengunjungi Pakde. Sambil mengantar kami keluar, Pakde menunjuk ke arah kebun rindang di belakang rumahnya. Di Jatilawang masih ada banyak kebun pisang dan pohon rindang. Pakde kemudian berujar, “Itu juga tempat eksekusi. Kemarin dibongkar, ada belasan orang dikubur di situ.”


Cerita Pakde hanyalah satu cerita dari serangkaian sejarah kelam tragedi kemanusiaan di Indonesia. Saat mengakhiri perjumpaan, sambil memeluk saya, Pakde berpesan, “Teruslah bicara tentang kebenaran, jangan pernah takut, berjuang terus.”

Banyumas, kali pertama berjumpa, masih menyimpan banyak tanda tanya.


Sumber: Medium.Com 

0 komentar:

Posting Komentar