Rabu, 15 November 2017

Penyintas Tragedi 1965 Laporkan Temuan Lokasi Kuburan Massal Baru


Ismira Lutfia Tisnadibrata , Jakarta - 2017-11-15

Gerakan Pemuda Anti Komunis mengancam Komnas HAM agar tak memproses laporan YPKP 65.

Ketua Gepak, Rahmat Imran (tengah) dan Ade Selon, Ketua Gerakan Pemuda Jakarta (di atas mobil) berorasi di depan gedung Komnas HAM di Jakarta, 15 November 2016.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung mengungkapkan pihaknya telah mendapatkan data penemuan baru kuburan massal korban pembantaian yang diduga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa itu.

Bedjo mengatakan kepada wartawan di gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu, 15 November 2017, bahwa ada 16 lokasi kuburan massal di kawasan Purwodadi, Jawa Tengah, yang belum lama ini sudah didatanginya.

Dengan penemuan baru tersebut, Bedjo mengatakan saat ini sudah ada 138 lokasi kuburan massal korban tragedi 1965 di Indonesia yang telah diserahkan ke Komnas HAM.
“Masih ada lagi, saya belum catat. Ada juga di Bali dan di Nusa Tenggara Timur. Paling sedikit yang saya catat ada 138 dan masih banyak lagi yang lain,” ujarnya seusai melaporkan temuannya kepada Komnas HAM.
Menurut Bedjo, diperkirakan ada setidaknya 5.000 jenazah yang dikuburkan di kuburan massal di Purwodadi tersebut.

Angka tersebut didapatnya berdasarkan perhitungan bahwa saat itu ada setidaknya 50 tahanan politik yang diculik dari tahanan setiap hari selama tiga bulan di satu lokasi.

Bedjo menambahkan, mayat-mayat di kuburan massal yang menyebar di beberapa titik di Purwodadi juga kemungkinan berasal dari lokasi-lokasi lain karena menurutnya kondisi geografis lokasi yang menjadi tempat kuburan massal tersebut adalah wilayah hutan dan berada di kemiringan yang curam.

Bedjo menyimpulkan bahwa saat itu, siapa saja yang dicurigai atau dianggap ikut PKI akan ditangkap tanpa pandang bulu terlepas mereka tokoh atau bukan.
“Orang yang hanya ikut-ikutan saja juga ditangkap, atau namanya disebut, langsung ditangkap. Saya kebetulan hidup karena selamat saja,” ujarnya.
Bedjo mengatakan dia dan para korban atau penyintas tragedi 1965 diterima oleh salah seorang komisioner Komnas HAM, Amiruddin al-Rahab, salah satu dari tujuh komisioner yang baru dilantik untuk masa tugas 2017 – 2022 dan mulai bertugas sejak awal minggu ini.
“Kami memandang penting untuk mengkomunikasikan secara terus menerus tragedi 1965 karena selama tidak ada penyelesaian tuntas dan berkeadilan bagi korban maka selamanya akan menjadi beban dan hutang sejarah kejahatan HAM masa lalu,” katanya.

Ditentang

Kedatangan Bedjo bersama rekan-rekan dan penyintas 1965 di Komnas HAM ditentang sekelompok pemuda yang menamakan Gerakan Pemuda Anti Komunis (Gepak).

Dalam orasinya di depan gedung Komnas HAM yang mendapat penjagaan ketat polisi, Ketua Gepak, Rahmat Imran, menyerukan Komnas HAM menolak dan tidak memproses laporan YPKP 65 karena mereka menilai kegiatan yayasan itu dikaitkan dengan kebangkitan komunisme di Indonesia.
“Apakah mereka mau menjadi LBH jilid dua?” ujarnya merujuk pada kasus pengepungan dan pengrusakan gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) 17-18 September lalu karena dianggap memfasilitasi kegiatan terkait tragedi 1965.
Demonstran yang jumlahnya hanya beberapa orang itu mengatakan akan “menggulingkan” para komisioner Komnas HAM dari jabatannya bila mereka memproses laporan YPKP 65.
“Laporan mereka memposisikan PKI sebagai korban sementara pemerintah atau negara diposisikan sebagai pelaku,” ujar Rahmat.
Seusai orasi, empat perwakilan Gepak memasuki ruangan pengaduan Komnas HAM dan ditemui Amiruddin.
“Kami tidak mau kelompok komunis berkembang,” ujar Ade Selon, ketua Gerakan Pemuda Jakarta yang menjadi bagian dari Gepak dan ikut menemui Amiruddin.
Amiruddin mengatakan bahwa Komnas HAM menerima siapapun yang datang untuk mengadu.
“Kalau ada pengaduan, kantor ini terbuka untuk siapa saja. Tidak ada janji apa-apa dengan siapa pun,” ujarnya menanggapi permintaan Gepak agar Komnas HAM tidak memproses laporan YPKP 65.

Momok

Pada April 2016, pemerintah sempat mengadakan simposium yang untuk pertama kalinya menghadirkan semua pihak terkait tragedi 1965, baik yang pro maupun kontra. Namun rekomendasi dari simposium tersebut tidak pernah dipublikasikan.

Rekonsiliasi terkait kasus pelanggaran HAM 1965 itu pun dinilai akan semakin panjang, menyusul digelarnya simposium “tandingan” anti-PKI (yang diprakarsai beberapa pensiunan jenderal dan organisasi masyarakat (Ormas), di Jakarta, pada Juni 2016.

Walaupun PKI telah dibubarkan sejak tahun 1966 dan paham komunisme telah dilarang di Indonesia, namun masyarakat masih melihat komunisme sebagai momok.
PKI dan komunisme banyak dijadikan sebagai kambing hitam oleh sejumlah pihak dalam mencapai kepentingan politik mereka.

Pertengahan Oktober lalu pemerintah Amerika Serikat merilis dokumen tentang tragedi berdarah 1965 yang dilaporkan sedikitnya menelan korban 500.000 jiwa itu.

Dokumen yang berisi informasi kredibel tersebut menepis apa yang selama ini diterima secara umum di Indonesia bahwa dalang dari peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal pada 30 September 1965 adalah PKI.

Dokumen tersebut menyebutkan bahwa pembunuhan massal yang terjadi setelah peristiwa berdarah itu diperintahkan oleh Suharto, jenderal yang kemudian berkuasa di Indonesia selama 32 tahun.

0 komentar:

Posting Komentar