Kamis, 09 November 2017

9 November 1989: Sarwo Edhie, "King Maker" yang Disingkirkan Soeharto

Oleh: Petrik Matanasi - 9 November 2017

lustrasi Sarwo Edhie Wibowo. tirto.id/Gery

Sarwo Edhie Wibowo adalah komandan RPKAD di tahun 1965 yang besar jasanya bagi Soeharto. Namun, jabatan militer mentereng tak pernah ia dapatkan.
Sudah belasan tahun Sarwo Edhie Wibowo jadi tentara. Namun, perwira kelahiran Purworejo ini belum pernah ditempatkan dalam sebuah pasukan elit macam Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Sebagai Letnan Kolonel, ketika pertama kali berdinas di RPKAD, Sarwo langsung menjabat Komandan Sekolah Para Komando pada 1962. Kala itu, RPKAD sudah jadi pasukan jago tempur. Perwira jago tempur terkenal di resimen itu salah satunya adalah Mayor Benny Moerdani—peraih Bintang Sakti berkat keberaniannya di Operasi Trikora. 

Ketika itu, Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) juga dipegang sesama orang Bagelen (Purworejo), yakni Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mereka berdua sama-sama pernah jadi perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) zaman Jepang dan menjalin hubungan persahabatan yang akrab. 

Tak lama kemudian, pada 1964, Sarwo diangkat sebagai Komandan RPKAD. Padahal ada perwira yang lebih senior di satuan elit itu, Letnan Kolonel Widjojo Soejono. Benny termasuk orang yang menentang pengangkatan Sarwo, karena dianggap orang baru. Benny pun akhirnya dikeluarkan dari RPKAD dan dimutasi ke Kostrad. Sementara Sarwo tetap di korps baret merah hingga 1967. 

Pada waktu kawan lamanya, Ahmad Yani, terbunuh dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S), Sarwo sedang berada di puncak karir sebagai komandan pasukan elit.

Komandan Pembantaian Pasca-G30S

Pagi buta 1 Oktober 1965, menurut Julius Pour dalam G30S: Fakta dan Rekayasa(2013), rumah Sarwo di Cijantung didatangi dua ajudan Menpangad. Dua ajudan itu melapor kepada Sarwo soal Yani yang mengenaskan. Tak tunggu lama, Sarwo Edhi segera menghubungi Komandan Batalyon I RPKAD, Mayor Chalimi Iman Santoso. Setelah tahu pasukan Mayor Santoso di Senayan, Sarwo beri perintah: “Tarik semua, kembalikan segera ke Cijantung [markas RPKAD].” 

Kebetulan, di Cijantung ada pasukan RPKAD dari Kandang Menjangan, Solo. Salah satu kompinya dipimpin Letnan Satu Feisal Tanjung yang di dalamnya terdapat peleton yang dikomandani Letnan Dua Sintong Pandjaitan. Sedianya, pasukan Kandang Menjangan akan dikirim ke Kalimantan dalam rangka operasi ganyang Malaysia. Hari itu, pasukan tersebut ikut serta di bawah komando Sarwo. Mereka dilibatkan dalam pembersihan G30S. Peleton pimpinan Sintong bahkan merebut RRI. 

Setelah 1 Oktober itu, Sarwo bersama pasukannya bergerak ke arah pangkalan udara Halim Perdanakusumah. “Kolonel Sarwo Edhie Wibowo masuk pertigaan HEK dengan menumpang APC FV603 Saracen Kompi B Kostrad yang berstatus B/P pada RPKAD,” aku Sintong dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) yang disusun Hendro Subroto. Ketika bergerak maju, pasukan ini terlibat baku tembak dengan lawannya. 

Seperti diungkap dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 (1999), semacam buku putih TNI AU atas peristiwa G30S, “Sementara pertempuran sedang berlangsung dengan gencar, Kolonel Sarwo Edhie mengamati jalannya pertempuran dari atas panser Saracen.” Setelah melewati baku tembak dengan sekompi pasukan G30S dari 454/Banteng Raider, Sarwo berhasil mencapai Halim untuk melapor pada Presiden Sukarno. Namun, Sukarno sudah bergerak ke Istana Bogor. 

Sarwo kala itu memperkirakan Soeharto akan berangkat menemui Sukarno. Karena itu, sebelum Soeharto menghadap Presiden, Sarwo merasa harus menemuinya terlebih dahulu. Beberapa perwira tinggi AURI yang ada di situ, seperti Marsekal Madya Sri Mulyono Herlambang dan Komodor Ignatius Dewanto, meyakini Soeharto sudah berangkat ke Bogor. Sarwo pun segera ke sana menumpang helikopter Sikorsky S-16 yang diterbangkan Kolonel Kardjono. Kepergiannya ke Bogor kemudian menjadi tafsir buruk Soeharto tentang Sarwo. 

Setelah Jakarta dibersihkan dari PKI, Sarwo memimpin pergerakan pasukan ke Jawa Tengah dalam bulan Oktober 1965 untuk memburu anggota PKI. Menurut Laporan Direktur Intel AURI (seperti tertulis dalam dokumen rahasia Kedubes AS bernomor RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 4 pol 23-9 September 30th Mvt November 1-9, 1965), sekitar 23 Oktober 1965, Sarwo berada di Solo—salah satu basis PKI di Jawa Tengah. 
“Pada tanggal 23 Oktober (1965) telah dibentuk staf gabungan keamanan yang terdiri dari AD/RPKAD, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI), yang dipimpin oleh Kolonel Infanteri Sarwo Edhi Wibowo, dengan tugas keamanan dan ketertiban umum dalam wilayah Surakarta dengan waktu yang secepat mungkin,” sebut laporan itu. 
Di bulan-bulan penuh pembantaian itu, yang menyibukkan Sarwo sebagai komandan pasukan elit Angkatan Darat, banyak orang-orang yang dituduh komunis terbunuh. Banyak orang mengingat, Sarwo pernah menyebut bahwa 3 juta orang jadi korban terkait pembersihan PKI sekitar 1965-1966. Kesibukan Sarwo di bulan-bulan tersebut tentunya memperkuat posisi Soeharto selaku petinggi Angkatan Darat yang tersisa dan punya kekuatan. 

Bagaimana pun, Sarwo bertindak atas nama Angkatan Darat dan loyal kepada perintah Soeharto. Tapi, setelah posisi Soeharto menguat dan perlahan Sukarno melemah di sisi lain, Sarwo justru jauh dari Soeharto. 


Pemegang Wangsit yang Disingkirkan Penguasa

Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(2016), nasib Sarwo senaas dua "king maker" (sosok yang membuat orang lain jadi raja) lainnya, yakni Letnan Jenderal Kemal Idris dan Mayor Jenderal HR Dharsono. 
“Cerita yang beredar waktu itu adalah bahwa dalam penyingkiran Sarwo, Ali Moertopo memainkan peranan besar,” tulis Salim. 
Infografik sarwo edhie wibowo


Salim mengaku dia pernah didatangi Sarwo yang baru saja menyambangi Soeharto di Cendana. Salim dapat cerita: 

Sarwo, yang ketika itu jadi Panglima Kodam Bukit Barisan (1967-1968), diisukan hendak mengkudeta Soeharto. Sarwo yang menemui Soeharto pun mengelak dan bertanya: “Pak Harto, apakah soal itu sudah dicek?” Tak ada jawaban yang keluar dari mulut sang presiden kecuali senyuman. Salim menyebut, isu itu berasal dari Ali Moertopo yang dikenal sebagai intel Soeharto. 

Ketidaksukaan Soeharto kepada Sarwo juga terkait dengan dunia klenik. "Prabu" Soeharto punya pandangan tersendiri tentang sosok Sarwo. Bekas Komandan RPKAD ini dianggap memiliki wangsit untuk jadi penguasa dan berpotensi menggantikannya. Surya kembar semacam itu tentu saja tak disukai Presiden. Hingga karier Sarwo di militer pun macet. 
Salim mencatat dua versi cerita mengapa Soeharto tak suka pada Sarwo. Pertama, berdasarkan versi yang dikisahkan Sunarti, istri Sarwo, “Pak Harto marah kepada Bapak (Sarwo) karena ke Bogor itu. Bapak dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto.” 
Kedua, berdasarkan versi lain yang dituturkan Daud Sinjal, bekas Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan. “Sarwo itu teman Yani, sementara itu Soeharto tidak suka Yani,” aku Daud. 
Menurut Said, setelah Yani terbunuh, Sarwo memang tidak langsung melapor ke Soeharto. Ia malah menghadap Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution. 

Setelah jadi Pangdam di Medan, Sarwo dikirim ke Papua untuk memimpin Kodam Cendrawasih—daerah yang rawan keamanan karena aktivitas Organisasi Papua Merdeka (OPM). Di situ Sarwo pernah nyaris terbunuh dalam sebuah perjalanan. Pada 1970, Sarwo dijadikan Gubernur Akabri, sebuah posisi tanpa pasukan tempur yang kuat. 

Setelah 1978, Sarwo "di-dubes-kan" ke Korea Selatan dan kemudian ditunjuk untuk menjabat Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri. Setelah itu, ia menjadi anggota DPR sebagai wakil Golkar. Posisi-posisi itu makin menjauhkannya dari pucuk kekuasaan Indonesia. Setelah dirinya meninggal, barulah salah satu menantunya, Susilo Bambang Yudhoyono, berhasil jadi Presiden pada 2004.

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar