Jumat, 28 September 2018

Peta Jalan Penyelesaian Korban Peristiwa 1965


29.09.2018 | Aris Santoso

Bagaimana memahami peristiwa 1965 sehingga serangkaian persekusi terhadap orang-orang yang dituduh kiri terus terjadi? Bagaimana pula harus bersikap terhadap korban 1965? Opini Aris Santoso.


Penyelesaian kasus pelanggaran HAM Peristiwa 1965 ibarat lorong gelap bagi setiap rezim, termasuk rezim Jokowi sekarang. Hal itu bisa terjadi, selain jumlah korbannya terbilang besar, dari segi ideologi juga sensitif.
Pemerintah selalu menghadapi dilema, semisal ketika akan memberi sedikit ruang bagi para korban, langsung akan mengundang reaksi dari ormas vigilante.

Bisa jadi ormas-ormas tersebut kurang paham juga bagaimana kejadian sebenarnya Peristiwa 1965dahulu, sebagaimana elemen masyarakat lainnya, yang mereka terima hanyalah sejarah versi propaganda rezim Orde Baru.

Penulis: Aris Santoso

Mengingat tidak ada narasi pembanding, sehingga sejarah versi propaganda direproduksi terus, walaupun jalan ceritanya sebagian (besar) tidak nalar. 

Pemahaman yang rancu atas Peristiwa 1965 berdampak pada tindakan yang "ganjil” pada para korban, seperti yang terjadi tepat tahun 2017 di halaman kantor YLBHI, sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi bagi warga kurang mampu. 

Dari media sosial dan media elektronik, kita bisa menyaksikan, betapa emosionalnya para anggota ormas (vigilante) dalam bertindak terhadap korban yang rata-rata adalah manula.

Selain tidak mengenal sopan-santun, tindakan mereka juga tidak beradab, bagaimana mungkin mereka bisa berlaku bak orang kesurupan seperti itu.

Beda antara Jakarta dan daerah

Bagian paling sulit dalam memahami Peristiwa 1965 adalah, adanya peristiwa yang berjalan sendiri-sendiri antara Jakarta dan daerah, namun kemudian dipaksakan bahwa keduanya merupakan peristiwa linier.
Apa yang terjadi di Jakarta, tepat pada hari peralihan bulan, September ke Oktober, sulit untuk tidak disebut sebagai upaya kudeta pihak militer, dengan skenario yang teramat canggih, sungguh di luar imajinasi rakyat kebanyakan, sehingga secara sepintas tidak tampak sebagai kudeta.

Jauh di kemudian hari, publik baru sadar, bahwa itu sebenarnya sebuah kudeta (biasa), sesuatu yang umum dilakukan pihak militer di negara lain. Itupun setelah ada input dari indonesianist terkemuka seperti Benedict Anderson.

Sebuah konspirasi tingkat tinggi berhasil menggeser figur Soekarno, dengan memunculkan figur Mayjen Soeharto, Pangkostrad saat itu. Sampai kini belum jelas benar, apakah konspirasi itu di bawah kendali Soeharto sepenuhnya, atau Soeharto sekadar mengambil keuntungan dari situasi chaos saat itu.

Wacana ini masih akan terus berkembang, seiring fakta-fakta baru yang muncul kemudian. Bila pemahaman publik masih buram apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di daerah, khususnya di Jateng dan Jatim.

Apa yang terjadi di pelosok negeri begitu terang benderang, yakni serangkaian persekusi terhadap orang-orang yang dituduh kiri, sebagai dampak distorsi opini yang disebarkan dari Jakarta.

Begitu kerasnya benturan di "arus bawah”, sampai sebuah majalah nasional terkemuka, pernah mengemukakan fakta yang membuat kita tercengang.

Bagaimana ada sebagian warga, yang merasa dirinya kiri, rela antri untuk "menyerahkan” lehernya. Mereka berbaris rapi di tepi lubang, tempat dirinya nanti dikubur secara massal usai dieksekusi.

Tindakan orang (yang menyerahkan lehernya) itu, mengingatkan kita pada peristiwa baru-baru ini terjadi pada mantan Menteri Sosial Idrus Marham, yang sudah menyatakan dirinya "tersangka”, sebelum ada pernyataan resmi dari KPK.

Kita bisa membayangkan, tindakan persekusi dan kriminalisasi demikian masifnya, sebuah fenomena abad pertengahan (di Eropa) namun baru terjadi di negeri ini pada abad 20.

Demikian juga dengan orang-orang itu, mereka telah memvonis dirinya sendiri bersalah, tanpa pernah mereka tahu pasti apa kesalahan mereka.
Kita akan sulit memastikan, pihak mana yang bersalah dalam kasus seperti itu, kelompok yang dengan sukarela menyerahkan lehernya, atau kelompok yang bersiap "menerima leher”, yang bisa jadi itu adalah leher kerabat atau tetangganya.

Kita bisa saja  menyebut konyol pada pihak yang dengan sukarela menyerahkan lehernya, mengapa mereka tidak kabur saja, pergi ke tempat yang jauh, dengan mengaburkan identitas.

Yang bisa kita lakukan hanyalah memberi penilaian (sementara) atas hari-hari gelap tersebut, tampaknya situasinya memang begitu chaos. Sehingga pilihan bagi wong cilik menjadi sangat terbatas.

Meragukan genosida

Saat masih menjadi Menkopolhukam (2015-2016), Luhut B Panjaitan sempat meragukan bahwa genosida itu memang sunguh terjadi.

Luhut kemudian menghimbau pihak-pihak (terutama NGO di bidang advokasi HAM), yang sekiranya memiliki data atas kasus kasus tersebut, untuk menyerahkan data tersebut pada lembaga yang dipimpin Luhut.

Sungguh sebuah logika terbalik, bagaimana mungkin lembaga negara (dalam hal ini Kemenkopolhukam) justru minta bantuan pada NGO, yang kapasitas dan sumberdayanya lebih terbatas.

Keraguan Luhut atas adanya genosida pada penggal terakhir tahun 1965, bisa jadi merupakan representasi aparatus negara pada umumnya yang tidak ingin berurusan dengan masalah seputar tragedi 1965.

Kalau itu memang sudah menjadi kehendak sebagian elite politik negeri ini, tentu tidak ada kekuatan lain yang bisa melarangnya, kecuali nurani mereka sendiri.

Dengan meragukan adanya genosida, setidaknya bangsa ini telah menohok saudara sebangsanya sendiri sebanyak tiga kali.

Pertama, menuduh para korban (utamanya yang dieksekusi) terlibat dalam peristiwa G30S, tanpa bukti pendukung yang valid.

Kedua, melakukan persekusi dan kriminalisasi secara masif, dan sebagian dieksekusi. Dan terakhir, ketika duduk perkara masih belum jelas, kasus persekusi, kriminalisasi dan genosida tersebut, diragukan peristiwanya.

Bagaimana dengan para pelaku genosida?

Dari segi jumlah tentu juga sama banyaknya, dan lintas sektoral. Inilah yang disebut anomali sebuah zaman, ketika antara pelaku dan korban tidak jelas batasnya, soal siapa yang benar, siapa yang salah. Situasinya demikian anarkis dan berlarut.

Aparatus negeri ini kurang memahami makna sebuah tragedi. Semua tragedi kemanusiaan, terlebih dengan skala besar, akan selalu diingat, peristiwa itu sudah masuk dalam memori publik, dan terus diwariskan dari generasi-generasi.

Di belahan bumi lain, sebuah tragedi selalu diperingati sebagai ruang memelihara nilai kemanusiaan. Singkatnya, upaya melupakan sebuah tragedi, di kawasan mana pun, akan sia-sia belaka

Dibanding kasus yang lain, penyelesaian pelanggaran HAM terkait tragedi 1965, sebenarnya relatif mudah. Elemen penguasa sendiri yang menjadikan ini seolah kasus rumit.

Meringankan negara

Dari pengamatan saya secara acak terhadap aspirasi para penyintas (survivor), sejatinya mereka tidak berharap apa-apa lagi terhadap negara, bahkan sekadar maaf sekalipun. Para korban dari segi usia umumnya sudah tua. Mereka sudah pasrah menjalani hidup, sembari menunggu hari menuju keabadian.

Bedakan antara sikap korban dengan kajian sejarah terkait peristiwa tersebut. Bila kajian kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir, sementara bagi korban, peristiwa itu sudah selesai.

Kini bola ada di tangan rezim Jokowi, bagaimana harus bersikap terhadap korban 1965, seandainya tidak melakukan tindakan apa-apa, para korban juga tidak mempermasalahkan. Dalam kasus ini, negara sungguh diringankan.

Masalahnya negara sendiri juga tidak pernah melakukan observasi pada para korban, soal bagaimana aspirasi subjektif korban secara detail, menjadi tidak tertangkap.

Sulit dinalar memang, untuk urusan sesederhana ini, negara lebih merujuk pada opini para "broker”,yakni ormas garis keras yang biasa memainkan isu korban 1965. Kalau suara kelompok ini yang lebih didengar, kita tidak akan pernah tahu dimana ujungnya, mengingat mereka biasa numpang hidup dari komodifikasi kasus-kasus seperti ini.

Aris Santoso, adalah penulis yang sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

Sumber: DW.Com 

0 komentar:

Posting Komentar