Sabtu, 29 September 2018

Geger “Gendjer-gendjer”


2018/09/29

Lirik lagu "Gendjer-gendjer" asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.

Lagu berjudul “Gendjer–gendjer” menjadi salah satu lagu populer saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) terutama tahun 1965. Ternyata lagu ini ciptaan orang Banyuwangi. Penciptanya bernama Sjamsul Arifin.

Lagu ini diciptakan tahun 1942 saat zaman pendudukan penjajah Jepang. Sjamsul adalah tentara yang bertugas di Pemerintah Militer O.D.M. Buduran, Sidoarjo dengan pangkat sersan. Ia menjabat sebagai Kepala Pera/Masjarakat.

Selama aktif di militer, namanya adalah Sjamsul Arifin. Setelah keluar dari militer dan aktif di PKI, berganti nama menjadi Mohamad Arif dan biasa dipanggil Arif. Istri Arif, Suyekti, mengatakan lagu “Gendjer-gendjer” ciptaan suaminya itu terinspirasi dengan kondisi masyarakat yang miskin dan dirundung kelaparan saat dijajah Jepang tahun 1942.

Karena terbatasnya persediaan pangan, rakyat kecil waktu itu memanfaatkan tanaman genjer sebagai lauk pauk. Genjer merupakan salah satu jenis sayuran yang tumbuh liar di persawahan. Sebelumnya, genjer hanya dijadikan makanan itik namun karena dalam kondisi darurat, genjer dimakan sebagai lauk pauk.

Melihat realitas ini, Arif terinspirasi menciptakan lagu untuk memberi semangat agar rakyat tidak putus asa dan bekerja giat.
“Dia mengingat-ingat waktu itu dia dan teman-temannya miskin,” tutur Suyekti semasa hidupnya, Oktober 2006. “Untuk memperingati rakyatku yang mlarat  (miskin) agar semangat. Ayo sama-sama bekerja,” ujarnya menirukan perkataan suaminya.
Suyekti lahir di Malang tahun 1927. Lalu ikut pamannya di Banyuwangi dan bertemu Arif. Januari 2007 Suyekti meninggal dunia.

Suyekti

Lirik lagu “Gendjer-gendjer” sebenarnya menceritakan bagaimana rakyat yang memungut genjer di sawah untuk dimakan sebagai sayuran.
“Waktu itu zaman Jepang dimana rakyat kelaparan. Bapak, ibu dan teman-teman bapak mengalami sendiri bagaimana menderitanya,” kata putra tunggal Arif, Sinar Samsi.
Menurut pria kelahiran 25 Juni 1953 itu, kondisi mengenaskan juga dialami keluarganya. Lagu ini akhirnya populer di kalangan massa PKI. Saking populernya lagu ini, Arif menjadi tokoh penting PKI dan selama tahun 1965 pernah diundang Presiden pertama RI Soekarno sebanyak tiga kali. Bahkan pernah diundang ke RRC untuk pentas seni.

Lirik lagu “Gendjer-gendjer” asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.

Inilah lirik lagu “Gendjer-gendjer” berbahasa Banyuwangi (Osing) karya Arif yang dikutip dari buku kumpulan lagu Arif dan kami terjemahkan dalam bahasa Indonesia:

Gendjer-gendjer nong kedokan pating keleler (Genjer-genjer bertebaran di pematang sawah)
Emak’e thole teko-teko muputi gendjer (Para ibu berdatangan mengambil genjer)
Oleh sak tenong mungkur sedot sing toleh-toleh (Memperoleh satu bak, lalu langsung balik badan tanpa lihat-lihat di sekeliling)
Gendjer-gendjer saiki wis digowo mulih (Sekarang genjer-genjer sudah dibawa pulang)
Gendjer-gendjer esuk-esuk didol ring pasar (Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar)
Didjejer-djedjer diuntingi podo didasar (Ditata berbaris, diikat dan dijajakan)
Emak’e djebeng podo tuku nggowo welasah (Ibu-ibu berbondong-bondong membeli dengan membawa bak)
Gendjer-gendjer saiki arep diolah (Genjer-genjer sekarang akan dimasak)
Gendjer-gendjer mlebu pendil wedang gemulak (Genjer-genjer dimasukkan tungku yang berisi air mendidih)
Setengah mateng dientasi wong dienggo iwak (Dimasak setengah matang dan ditiris, dijadikan lauk pauk)
Sego rong piring sambel djerok nong pelontjo (Dimakan dengan nasi dua piring dan sambal jeruk di atas meja)
Gendjer-gendjer dipangan musuhe sego (Genjer-genjer sekarang siap dimakan dengan nasi)

Menurut Samsi, lirik lagu ini kemudian ada yang mengubahnya. Namun ia tidak hafal dengan gubahan lagu tersebut. Samsi hanya hafal gubahan kalimat pertama dalam bait pertama. Kalimat “Gendjer-gendjer ono nang kedokan pating keleler” diubah menjadi “Gendjer-gendjer, dewan jendral pating keleler” yang artinya “Gendjer-gendjer, dewan jendral mati bergelimpangan“.

Gubahan lirik lagu itu pun jadi kontroversi karena dianggap menghina para jendral yang dibunuh dalam pemberontakan PKI tahun 1965.

Samsi menunjukkan buku tulisan tangan berisi lagu, sajak, dan puisi ciptaan Arif.

Meskipun aktif di militer, Arif berjiwa seni yang tinggi. Samsi menunjukkan buku koleksi sajak, puisi, dan lagu karya ayahnya yang mencapai 60 lebih dalam bahasa Osing dan Indonesia ejaan lama. Rumah Arif dulu terletak di Temenggungan, Banyuwangi. Setelah penumpasan G30S/PKI, keluarga Arif pindah ke Singotrunan, Banyuwangi.

Setelah bertugas di Sidoarjo, sekitar awal 1950 Arif ditarik ke Markas Militer di Banyuwangi yang sekarang menjadi markas Kodim 0825 Banyuwangi. Namun tiba-tiba ia mengundurkan diri 30 Maret 1950 berdasarkan Surat Tanda Pemberhentian No.303/Adm./Duc./Bdr./50 yang saat ini masih disimpan Samsi.

Arif lebih memilih ke jalur politik dan masuk PKI. Arif sempat menjadi Anggota DPRD Banyuwangi tahun 1963-1965. Menurut teman dekat Arif yang juga seniman lagu, Basir Noerdian, selama duduk di DPRD tersebut Arif tidak memperoleh gaji.
“Selama tiga tahun di DPRD itu nggak menerima gaji, berbeda dengan DPR sekarang yang gajinya jutaan,” tutur Basir. Hal ini dibenarkan istri Arif, Suyekti. “Di DPRD nggak ada yang bayar,” kata Suyekti.
Selain aktif di PKI, Arif juga aktif dalam bidang kesenian. Arif dipercaya menjadi Kordinator Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri Muda). Berbeda dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), Sri Muda tidak memiliki garis kordinasi langsung dengan PKI. Tapi Sri Muda mendukung aktivitas PKI.

Saat terjadi penumpasan G30S/PKI, Arif ditangkap dan dijebloskan di Markas CPM yang terletak di Sukowidi, Banyuwangi. Hingga akhirnya Arif dibawa ke sebuah markas militer di Malang. Setelah itu nasibnya tidak diketahui lagi. (*)

0 komentar:

Posting Komentar